Puisi 1: Gadis Kecil Penyemat Doa
Hai, si manis dengan sejuta tawa
Kini, sudut itu hilang entah ke mana
Berganti dengan raut wajah penuh duka
Ditambah goresan luka yang menganga
Tak pernah sedikitpun kau berkata pada dunia
Yang kau tunjukan hanyalah mata yang berkaca-kaca
Mungkin, sebagian hanya ingin tahu dengan bertanya mengapa
Sementara yang lain, takkan peduli karena bukan urusan dia
Hai, si wajah lugu yang sedang bermuram durja
Sesekali kau teguk segelas susu untuk melepas dahaga
Lalu tertawa terbahak, seakan tak pernah terjadi apa-apa
Ya maklum saja, mungkin ini caramu untuk menghibur diri belaka
Baik, katamu kau tak suka berlama-lama dalam mengungkap segala rasa
Meski nyatanya cukup terbata-bata, namun rupanya kau terus saja berkata
Ibarat tumpukan sampah berhari-hari yang ingin dibuang oleh pemiliknya
Sementara, wajahmu kian pucat, lalu kau tersedu sejadi-jadinya
Tuturmu, kau telah lama mencari figur kasih dari dua orang dewasa
Yang sering mengaku bahwa mereka adalah orang tua
Namun praktiknya kini hanya dalam wujud raga
Tanpa pernah hadir dengan sepenuh jiwa
Hai, si hati murni yang telah lama mendamba cinta
Dalam ketetapan-Nya, kadang kita tidak bisa menuntut apa-apa
Selain memanjangkan sabar dan menguatkan doa dalam dada
Karena kita pun juga manusia yang sering salah dan lupa
Bagi dunia yang tak sempurna dan hanya sementara
Dan ingat, masih ada banyak hal yang dapat disyukuri karena nikmat-Nya tak terhingga
Lalu tanyamu, tapi mengapa di luar sana lebih banyak penyesalan yang tersisa?
Sementara jawabku, sebab waktu takkan pernah datang untuk kedua kalinya
Bagi mereka yang tak pandai menjaga dan cukup lapang dada oleh pemberian-Nya
Yang kelak akan menjadi penyemat doa
Setelah mereka lepas dari dunia
Puisi 2: Di Kediamanmu yang Membisu
Raga ini sering terpaku
Menjelang hari setelah Sabtu
Tatkala ingatan itu begitu jelas dalam benakku
Saat membersamai tubuhnya yang kian pucat dan kaku
Kadang, untuk berucap saja rasanya lidahku kelu
Apalagi untuk mengenang sesuatu yang membuat hati mudah pilu?
Mungkin, di satu sisi rasanya begitu sendu
Sementara di sisi lain, bisa jadi terasa candu
Sebab, saat bersamanya pun aku tak pernah jemu
Melewati berbagai tantangan hidup yang penuh liku
Sementara kini, yang tersisa hanyalah debu
Lalu, jika aku harus beradu dengan waktu
Bagaimana mungkin? Merayunya saja aku tak mampu
Apalagi harus memintanya untuk berpihak pada diri ini yang tak tahu malu?
Memang, kadang kadar cemburunya itu tak tahu suhu
Namun tuturnya selalu menenangkan dan menghempas ragu
Di saat orang-orang bergeming tak mau tahu
Untuk diri ini yang sering dianggap hanya angin lalu
Hai, jiwa yang di dalamnya pernah mengalir air susu
Betapapun keluhmu, kasihmu tak pernah layu
Meski kini, hadirmu hanya tinggal bayang semu
Sampai jumpa lagi di hari Minggu
Di kediamanmu, yang masih sunyi dan membisu
oleh Eva Rosana (ig: @evrosana)
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”