Akhir-akhir ini marak terjadi pemberitaan mengenai tindak perilaku kejahatan seksual, mirisnya hal itu dilakukan oleh kalangan tenaga pendidik generasi penerus bangsa. Bisakah sekelompok orang ini masih dikatakan mulia? Di mana etiket dan sikap profesionalitas yang mereka junjung tinggi?
Kemerosotan mutu tenaga pendidik di Indonesia benar-benar merupakan masalah kritis yang perlu ditangani bersama dengan serius, sudah tak terhitung berapa banyak kasus pelecehan seksual semacam ini yang terkuak dan kita masih belum mengetahui berapa banyak korban lagi di belakangnya. Kita tidak tahu derita yang dialami korban ketika tindakan itu terjadi, saat melapor kepada aparat hukum, trauma akibat perlakuan tidak menyenangkan dan intimidasi dari orang di sekelilingnya.
Berbagai hasil penanganan kasus kejahatan pelecehan seksual di Indonesia masih menunjukkan bahwa sistem penegakan hukum pidana bagi pelaku masih sangatlah lemah, bahkan kebanyakan justru merugikan korban yang seharusnya mendapatkan jaminan perlindungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan dengan jelas bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu permasalahan serius yang hingga kini masih menjadi masalah global di berbagai negara. Pelecehan seksual (sexual harassment) merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual yang merujuk pada perilaku abnormal, perilaku ini ditandai dengan adanya komentar-komentar seksual yang tidak pantas, percobaan perkosaan, pendekatan-pendekatan fisik berorientasi seksual, atau pemaksaan aktivitas-aktivitas seksual lain seperti yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau bahkan melukai korban yang dilakukan di berbagai tempat/situasi kerja apapun.
Masalah penegakan Hak Asasi Manusia yang tidak tegas menyebabkan kerap terjadinya tindakan kejahatan seksual, seperti tindak pelecehan seksual di ruang publik yang sulit untuk dipidanakan karena tidak adanya aturan yang secara tegas dan mutlak untuk mengatur persoalan tersebut.
Seperti kasus yang baru saja terjadi, dugaan kasus pelecehan ini dialami oleh salah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau seusai bimbingan proposal skripsinya, di mana kronologi kejadian korban jabarkan di platform media sosial Twitter yang menuai banyak reaksi dan komentar dari warganet. Sebelum kasus ini, hal serupa juga pernah menimpa dua mahasiswi asal Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang pelakunya merupakan Presiden Mahasiswa (Presma) atau Ketua BEM Universitas itu sendiri.
Melihat banyaknya kasus serupa, bukankah kasus pelecehan seksual ini merupakan bentuk kelalaian dari pihak kampus terkait? Menanggapi kasus semacam ini, pihak kampus umumnya selalu memilih jalur internal daripada jalur hukum, menyelesaikannya dengan jalur kekeluargaan tanpa melihat dampak yang dirasakan korban sehingga bukan tak mungkin banyak penyintas yang memilih diam tanpa melapor daripada akhirnya ditekan dan dibungkam.
Meninjau dari masalah ini, Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Terlepas banyak pro maupun kontra yang membayangi, permendikbud baru ini sebenarnya sangat memberikan perlindungan kepada mahasiswa dan bisa menjadi salah satu alat pengendali predator seksual di lingkungan pendidikan sehingga para pelaku dapat dijerat hukuman dengan pasal yang jelas tanpa embel-embel ‘penyelesaian kekeluargaan’.
Hal ini secara tidak langsung juga mematahkan stereotip gender tentang perempuan berdandan dengan tujuan untuk menarik perhatian lawan jenis atau seharusnya perempuan berpakaian tertutup, pantas, sopan, dan tidak berpakaian ketat jika tidak ingin diganggu ataupun stereotip lain yang sering disangkutpautkan dengan alasan ini. Tidak jarang, perempuan korban objek kekerasan dan pelecehan seksual malah seringkali menjadi pihak yang justru disalahkan.
Banyak dalil yang mengatasnamakan agama bahwa perempuan mengundang maksiat melalui tubuhnya, sehingga harus ditutupi rapat-rapat, tidak boleh keluar dan harus tinggal di rumah untuk alasan keamanannya. Faktanya, banyak juga terjadi pelecehan seksual di mana pelakunya merupakan orang terdekat korban sendiri baik itu suami, ayah, paman, kakek maupun anggota keluarga lain. Banyak anak kecil di bawah umur, perempuan berhijab dan bercadar mengalami pelecehan seksual juga. Lantas dimana sebenarnya ruang aman bagi perempuan? Perempuan juga manusia, bukan sebuah objek benda yang bernilai ataupun hak milik seseorang yang bisa berpindah tangan kapan saja.
Perempuan memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Standar pakaian yang sangat tertutup pun tidak bisa menjamin bahwa kaum perempuan akan terbebas dari tindak kejahatan seksual. Jadi, adakah ruang aman bagi perempuan? Untuk itu kita harus membangunnya, menciptakan ruang aman itu bersama semua wanita, semua penyintas yang ingin mewujudkan sebuah ruang atau dunia yang aman bagi kaum perempuan tanpa adanya tindakan kekerasan dan pelecehan seksual.
Dalam kasus ini, mengenai adanya Permen PPKS sangat menolong upaya-upaya para penyintas mewujudkan keinginan terbesar mereka. Berikut beberapa poin penting yang dapat diketahui mengapa Permen PPKS ini sangat membantu bagi para korban tindak kejahatan seksual, diantaranya: (1) mencegah dan menangani terjadinya tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus yang dilakukan civitas akademika, (2) menciptakan ruang aman bagi mereka di lingkungan kampus, (3) memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi penyintas di lembaga perguruan tinggi dalam kasus yang mereka alami, (4) mencegah dosen/pejabat kampus menyalahgunakan kewenangannya untuk keuntungan seksual pribadi, (5) mencegah penyintas kekerasan dan pelecehan seksual dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran baik, dan (6) mencegah pihak kampus menutup-nutupi kasus pelecehan seksual dengan embel-embel untuk menjaga citra dan nama baik kampus.
Mengenai masalah dalam peraturan ini di mana salah satu poin, yakni mengenai persoalan kekhawatiran akan terjadinya pelegalan zina dan seks bebas yang menjadi perdebatan banyak orang, di mana sebenarnya sudah ada peraturan yang mengatur soal perbuatan asusila yang tercantum di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi, stop tindakan kekerasan dan pelecehan seksual dan menormalisasi para pelaku dengan alasan stereotip gender.
Kita hidup dalam negara hukum yang demokratis dengan adanya rule of law, sebuah prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum harus memerintah sebuah negara dan bukan diperintah oleh keputusan-keputusan pejabat secara individual. Pelaku kejahatan seksual harus diberantas dengan bantuan aturan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 untuk menjeratnya. Namun hal itu tergantung atau kembali lagi kepada masing-masing individu, bagaimana cara mereka memandangnya dari berbagai sisi sudut pandang dan mempertimbangkannya dengan realitas yang sudah ada.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”