Orang-orang yang kalau makan lumayan cepat selesai biasanya akan merasa sangat gemas saat melihat temannya atau saudaranya yang makan cukup lambat. Pada momen serupa pun tak jarang saya menanyakan pada mereka, “Kok kamu bisa, sih, makan lama?,” atau berkomentar, “Kok nggak selesai-selesai, sih?” Tapi di samping itu, yang makan paling cepat juga sering dilempari pertanyaan bagaimana bisa makan secepat itu. Seperti yang saya dulu sering alami karena saya termasuk orang yang paling cepat selesai makan di antara lainnya ketika makan bersama.
Karena momen serupa sering terjadi, tak hanya di lingkup pertemanan pun keluarga, pada suatu hari saya cukup ke-trigger dan akhirnya mencoba untuk memperlambat durasi makan saya. Saya masih mengingat jelas makanan yang pertama kali saya santap secara perlahan adalah Mangut Lele Mbah Marto asli Sewon. Contoh hasil nyata lainnya, saya kalau makan nasi gudeg mercon porsi normal, biasanya 10 sampai 15 menit bisa selesai. Kalau sekarang butuh waktu lebih lama, 16-25 menit, sambil diselingi minum soalnya kan pedas. Rasa areh, sambal krecek, dan nangkanya sekarang bisa terasa 99 kali lebih enak. Atau mungkin yang lebih realistis seperti makan mi instan. Dulu sekitar 6 menit piring sudah bersih, sekarang saya butuh waktu 10-15 menit. Iya, sih, kesannya buang-buang waktu tapi benar-benar senikmat itu, lho, kalau mi instan disantap pelan-pelan.
Gambarannya, kalau makan mi instan tergesa-gesa saking enaknya, jadi terasa banget kan kalau cepat habis? Biasanya sih di dalam hati mbatin sedih, “Yah.. udah abis,” dan pengen banget minta tambah.
Nah, beda sekaligus keuntungan dari makan pelan-pelan itu, mi instan tidak cepat habis dan tidak boros. Selain tidak cepat habis, bumbu, saos bahkan kecapnya jadi sangat terasa. Rasa enaknya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Lidah tiba-tiba mampu dengan presisi membedakan komponen-komponen mi instan yang luar biasa itu.
Pokoknya jadi berkali-kali lipat nikmatnya, tuh. Tak hanya mi instan dan gudeg, makanan kaya rempah seperti rendang, Coto Makassar, rawon, bahkan sesimpel soto ayam juga bisa dipindai dengan lebih baik oleh lidah apabila kita makan dengan khidmat.
Berdasarkan pengalaman pribadi, berat badan saya pun menjadi cukup stabil sejak saya mengubah kebiasaan makan cepat menjadi agak diperlambat. Sesuai dengan yang saya rasakan, saat menyantap makan secara perlahan, saya menjadi lebih cepat kenyang.
Ini karena saya benar-benar mengunyah secara perlahan dan menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulut. Lebih jauh lagi, dalam artikel Harvard Health Publishing dikatakan bahwa makan dengan tergesa-gesa bisa mengakibatkan kelebihan berat badan dan obesitas. Makan dengan tergesa-gesa biasanya membuat kita susah untuk puas, merasa kurang sehingga berkeinginan untuk tanduk sampai kenyang baru berhenti.
“A process takes time to be done well..”
Untuk memperjelas, ini alasan kenapa kita bisa lebih lama untuk mencapai kenyang ketika makan cepat-cepat. Dari awal saat makanan dan minuman masuk ke dalam perut hingga akhirnya hormon nafsu makan mengirim pesan ‘kenyang’ ke otak, terjadi serangkaian proses yang tentunya tidak singkat. Proses ini membutuhkan waktu 20 menit bahkan lebih, sehingga memang para ahli kesehatan menganjurkan untuk setidaknya menyantap makanan selama 20 menit.
Bahkan Dr. Leslie Heinberg, Kepala Bagian Psikologi di Pusat Kesehatan Perilaku Departemen Psikiatri dan Psikologi Klinik Cleveland menyatakan bahwa oang yang makan paling lambat memiliki risiko obesitas terendah. Kemudian orang yang mengkategorikan diri sebagai pemakan sedang berisiko sedikit lebih tinggi. Meski begitu risiko tertinggi tetap ada pada kelompok yang menyantap makanan cepat saji.
Manfaat dari menyantap makanan pelan-pelan itu sebenarnya lebih banyak ketimbang mudaratnya. Mudaratnya mungkin ya sekedar terkesan buang-buang waktu bagi orang yang memang sedang tergesa-gesa, sih. Kontras dengan itu, mudarat makan tergesa-gesa justru banyak. Karena cepat-cepat, kita jadi rawan tersedak, kenyang lebih lama yang mengakibatkan ketidakpuasan dan berujung kelebihan berat badan. Tak hanya itu, kita jadi lebih boros dan rekening ATM yang justru berteriak, “Lapaaaaaar!”
Praktik makan pelan-pelan ini sebenarnya lebih dikenal dalam dunia psikologi dengan nama mindful eating. Menerapkan praktik ini berarti ketika kita makan ya menikmatinya dengan perasaan bahagia, tidak ada gangguan apa pun bahkan tidak disambi mengerjakan paper di depan laptop atau menonton video di Tik Tok. Menurut Ashley Mason, asisten profesor di Departemen Psikiatri UCLA, praktik mindful eating ini juga bisa mengurangi keinginan kita untuk ngemil. Lumayan untuk mengurangi kolesterol dan lemak jahat.
Ketika lebih banyak lagi orang menerapkan mindful eating, saya pikir angka risiko penyakit seperti diabetes, kolesterol, hipertensi, atau komplikasi bisa menjadi lebih rendah. Efek dari memperlambat durasi makan pun sudah diteliti pada orang obesitas yang mengidap diabetes.
Dalam jurnal BMJ Open oleh Yumi Hurst dan Haruhisa Fukuda dikonklusikan bahwa perubahan kebiasaan makan dapat mempengaruhi obesitas, BMI, dan lingkar pinggang. Ini dapat terwujud karena orang-orang tidak akan rakus melahap makanan A, B, C, dan D dalam jangka waktu yang singkat. Banyak orang juga akan lebih menghargai setiap suap yang mereka santap. Praktik mindful eating ini sangat bersahabat bagi kalangan mahasiswa terutama mahasiswa indekos, anti boros~
Kepada orang-orang yang masih sering dikomentari teman-teman atau keluarganya karena makannya pelan, coba komunikasikan. Menurut saya justru itu bisa jadi momentum untuk mengedukasi mereka durasi makan yang benar, baik, dan lebih sehat. Tapi perlu diingat, makan pelan-pelan juga ada batasannya, ya. Jangan makan nasi padang selama dua jam waktu jam isitrahat kantor, nanti telat dan ditegur atasan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”