Hey Berlita, taukah kau, malam ini kekasihmu di rudung rindu teramat sangat. Ya, dia merindukanmu. Padahal masih beberapa jam yang lalu kau berpamitan. Ketika dirimu sudah duduk di bangku bus antar kota itu kau juga sempat mengirim pesan singkat : "Aku berangkat, hati-hati ya" Pesanmu pada kekasihmu itu. Senyum mengambang di bibirnya, hatinya mendo'akan perjalananmu, Berlita. Selanjutnya, kau tak mengabari lagi. Berlita, Taukah kau, sedari tadi kekasihmu tak kunjung reda resahnya. Alih-alih melupakan tentang rindu pun di upayakan, mendadak kekasihmu ingin mendaki gunung juga, di gunung yang lain, bukan di tempatmu mendirikan tenda saat ini. Setidaknya ia ingin merasakan ketentraman seperti yang pernah kau ceritakan. Melihat bintang di ketinggian, di temani dingin dan segelas kopi murahan, atau sekedar berbaring didalam tenda memandangi lampu redup yang terselip disana. Apa kau sedang menikmati malammu kini, Berlita? Apa kau sedang bercengkrama hangat dengan teman-teman seperjalananmu? Apa sudah ada yang menyiapkanmu makan malam? Atau apa sudah ada yang membuatkanmu kopi? Kekasihmu tahu, kau paling malas jika memasak di gunung. Kau selalu merepotkan. Tapi baginya, kau adalah penyemangat perjalanan setiap insan. Hey Berlita, ternyata gagal rencana kekasihmu. Hujan deras mengguyur Surabaya. Setengah jam, satu jam, dua jam, tiga jam, hujan tak kunjung reda. Empat jam kemudian, gerimis pun masih tersisa. Sudah jam satu malam sekarang, dan tak mungkin ia berangkat. Dari kota ke kaki gunung saja butuh tiga jam, belum juga mendakinya. Tak mungkin, bisa-bisa baru pagi ia akan sampai di lembah untuk mendirikan tenda. Tak mungkin juga ia mendapat momen melihat langit-langit malam seperti yang kau nikmati saat ini. Dia semakin resah, Berlita. Jalanan Surabaya lengang. Malam sudah sempurna. Apalagi gerimis. Tahukah kau, Berlita, di jalanan ini kekasihmu baru saja bertemu sapi-sapi liar. Sapi-sapi yang kau sukai itu. Sapi-sapi yang kerap membuat macet jalanan Surabaya Barat. Kekasihmu berhenti sebentar dari laju motornya, dia memotret gerombolan sapi yang memenuhi jalanan ini. Di atas trotoar, kekasihmu memilih-milih foto sapi terbaik di ponselnya, dan tentu ingin di kirim ka kamu lewat pesan WhatsApp seperti biasanya. Tapi baru sadar, kekasihmu lupa jika tak mungkin ada signal di gunung. Tak mungkin gambar sapi itu sampai di ponselmu. Hey Solfala, sudahkah kau tertidur? Tapi ia menabak, kau tak bakal bisa tidur jika dingin. Apakah demikian, Berlita? Walaupun jaket tebal dan Sleeping Bag membungkus tubuhmu, ia yakin kau tak akan bisa tidur. Kau hanya bisa tertidur saat gelap berganti dengan terang. Saat matahari cantik menyembul perlahan di ufuk timur, saat merah jingganya menerobos pohon-pohon pinus raksasa, baru saat itulah kau akan tidur. Persetan dengan sunrise, kau tak akan menghiraukanya, kan? Bagimu, menikmati proses perjalanan adalah yang utama. Keindahan, kecantikan, kemegahan, mungkin itu hanyalah sebuah bonus. Masih di atas trotoar ini kekasihmu membaca-baca pesan lama darimu di ponselnya. Di baca lagi personal massage di profil Blackberrymu yang bertuliskan nama kota tujuanmu. Menerawang lebih dalam ia, mengingat suasana pos pendakian, setiap jalur dan setiap jenis hutan. Kekasihmu ingat, karena dia juga pernah berdiri ditanah tinggi tempat kau berpijak sekarang. Di basahi rambutnya oleh sisa-sisa hujan, hayalanynya semakin melambung tinggi ingin menjemputmu di tengah belantara sana. "Berlita, lekaslah pulang" Kekasihmu bergeming dalam hati.
Surabaya, 22 Mei 2016
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.