Tak ada yang ingin kutuliskan malam ini. Otakku beku, imajinasiku tumpul. Meski ada begitu banyak hal yang bisa saja kutuliskan. Merangkai satu dua kata seperti biasanya, setelah itu semua akan mengalir dengan sendirinya. Seperti derasnya sungai Deli yang malam ini kudengar meluap lagi. Dari perbincangan teman di grup-grup WhatsApp yang kuikuti.
Bukan hanya sungai Deli, tetapi juga sungai Kualuh. Sungai yang namanya melekat tidak hanya di kepalaku, tapi juga menempel di lengan bajuku dulu, ketika aku masih unyu-unyu, dengan seragam putih merah, juga ketika putih biru. Nama sungai itu juga diabadikan menjadi nama kecamatan, tempat aku menghabiskan masa unyu-unyu seru itu.
…
Ada yang menggelitik pikiranku, membuka selaput yang selama ini menjadi tabir. Membuat beberapa bayangan itu kini tampak terang. Menyadarkan, bahwa aku memiliki masa lalu yang cukup membuatku hari ini penuh senyuman. Meski kala itu, bisa saja, itu semua membuatku meringis seharian. Menahan perih, bukan karena sayatan.
Pesona putih biru itu tiba-tiba berkelebat di kepalaku. Menggali kembali kisah bagaimana jantungku pernah berdegup liar. Tidak sewajarnya, hanya karena seseorang melintas di depan kelasku. Tetapi degupan itu membuatku menanti, dan menanti kembali rasa itu.
Bagai candu, degupan itu membuatku ketagihan. Tidak hanya berhenti sampai disitu, rasanya juga membuatku melambung. Membangun imaji, sesuatu yang rumit untuk kumengerti.
Pesona itu hanya melintas satu kali, tetapi berkali-kali aku dibuatnya nyaris tidak bernyali. Bersembunyi di balik imaji-imaji yang kubangun sendiri. Tanpa sang pemilik pesona itu tahu.
“Sampai kapan kamu akan menanggung rasa itu sendirian?” seorang teman pernah menanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama, dengan nalar sehatku.
“Kris, aku butuh bantuanmu!”
Kalimat itu kuingat pasti, permohonan pada seseorang yang selalu menjadi teman tawa dan mendengar beragam bualan-bualanku.
Dia tersenyum, memandangku penuh tanya. Ada selidik di matanya, mungkin saja ia tidak percaya dengan nama yang kusebutkan , apalagi ketika kujelaskan keinginanku. Mungkin saja di pikirannya aku sedang melukis langit. Atau mungkin saja, sedang memanggil-manggil bulan untuk menghampiri. Karena ia tahu pasti aku ini hanya seekor pungguk. Tetapi itu dugaan-dugaanku saja, membaca tatapan dan senyumnya. Ragu.
Aku nyaris tidak bisa tidur, membayangkan apa yang akan terjadi. Ingin rasanya menganulir semua yang kusampaikan pada sahabatku siang tadi. Aku takut kehilangan, meski anehnya untuk sesuatu yang belum kumiliki. Aku takut sang pemilik pesona itu tidak sudi lagi melintas di depan kelasku. Mensedekahkan semua keindahan yang Tuhan sudah berikan kepadanya. Tetapi itu tidak mungkin, yang kubisa hanya menunggu. Yang akan terjadi, biarlah terjadi.
Aku berdiri mematung. Jendela kelas, memungkinkanku tersamar ketika mengamati jalanan. Pada setiap jam yang sama. Degupan jantung itu membuatku terkoneksi dengan presisi waktu yang nyaris sempurna.
Kali ini, kulihat ia memandang pintu kelasku lebih lama. Tatapan itu kulihat mencari sesuatu, dan beberapa saat ia menggeser tatapan itu ke jendela. Ia menemukan tatapan rahasiaku, cesss, itu benar-benar membuatku membeku. Sialnya, kali ini dia tersenyum. Membuatku mati kutu. Aku lupa apakah membalas senyuman itu, atau justru menyeringai menakutkan.
“Awal yang bagus.”
“Trimakasih ya Kris.” Tanpa sahabatku ini, pemilik pesona itu tidak akan pernah tahu apa yang kurasakan. Kegelisahan itu akan menjadi milikku mungkin hingga selamanya.
Semua ini baru awal. Langkah pertama sudah kulakukan. Langkah-langkah selanjutnya hanya tinggal menunggu keberanianku.
…
Kulihat orangtuaku serius mengamati lembar demi lembar almanak. Tak lama kemudian mereka tersenyum, sepertinya menemukan apa yang mereka cari.
“ Ini alamatnya, sama seperti yang di surat tugas.”
Benar dugaanku, SK untuk penugasan bapakku sudah terbit. Itu artinya, kami harus meninggalkan kampung ini. Tempat aku dilahirkan, menghabiskan banyak tangis dan tawa, dan kini segala kegusaran di masa akil baligku. Di saat kegusaran itu sedang kunikmati setiap keindahan dan kegundahannya. Di saat aku merindukan untuk semuanya yang terjadi hari-hari ini, berulang dan berulang lagi. Di tempat yang sama, bukan di tempat yang lain.
Cinta tidak pernah keliru, hanya waktu dan keadaan yang tidak berpihak padaku. Belum lagi berkembang, kuncup itu harus menyimpan segala potensi keindahannya untuk waktu yang lebih lama. Mungkin saja nanti, tidak pernah benar-benar bisa menjadi kembang. Tetapi layu dan kemudian gugur, terbuang percuma.
Kali ini, kegelisanku berbeda, bukan sang pemilik pesona penyebabnya, tetapi surat tugas bapakku. Singkut – Jambi, jelas terbaca di sana. Sebuah tempat, dimana aku harus menahan semua rasa pada dia yang selalu membuat mimpi-mimpiku lebih indah dari sebelumnya. Karena senyumnya.
Hanya selembar foto yang kupunya untuk mengingat semua hal tentang dirinya. Belum terlalu banyak cerita kubuat bersamanya. Bahkan aku tidak pernah tahu apakah ia merasakan kesedihan seperti yang kurasakan ketika aku harus meninggalkannya. Tetapi yang kutahu, aku akan selalu merindukannya, karena bagiku dia adalah pembuka hatiku untuk setiap kisah manis di hidupku.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”