Tidak ada yang pernah tahu, kehidupan akan mengarah kemana. Siapapun boleh bermimpi, setinggi langit dan sehebat dari apapun, tetapi tidak ada yang dapat melarikan diri dari kepastian yang harus dijalani. Sehingga ada saja yang takut untuk membangun mimpinya. Waspada, jika kelak tidak demikian pada akhirnya. Beruntung, aku tidak berpikir seperti mereka. Karena aku membangun mimpi-mimpi hebatku, dengan suatu keyakinan, seandainya kelak tidak kesampaian, aku tidak akan menyesal sebab setidaknya pernah memimpikannya. Daripada tidak sama sekali, maka bermimpi adalah oase yang menyejukkan hati dan pikiran.
Lagipula mimpi hebatku bukan imaji utopia. Aku sadar, sesadar-sadarnya Ketika memulai membangunnya. Sesuatu yang dapat kurengkuh, mesti aku tahu itu tidak mudah, bahkan mungkin sangat tidak mudah. Tetapi bukankah raihan yang diperoleh karena beragam rintangan dan tantangan itu memiliki arti yang sangat besar? Itu keyakinanku, itu yang memotivasiku, untuk terus bertahan pada jalur mimpi itu.
…
Berhari, minggu, bulan kutinggalkan tanah kelahiranku. Tempat orangtua menanam saudara lahirku, orang Jawa bilang, ari-ari. Tetapi bukan itu yang mengganggu pikiranku, melainkan sosok yang kini copyan senyumnya ada di buku yang setiap saat kubuka. Meneguhkan, meski itu akan membuatku semakin larut pada sebuah rasa yang tak kukenal sebelumnya. Rindu. Meski dia bukan bagian dari keluarga. Sosok asing yang kini mengisi hati dan kepalaku. Menempati satu ruang istimewa, yang sebelumnya belum ada penghuninya.
Selembar foto yang kuselipkan rapi pada buku harian, tempatku mencatat semua impian dan cerita-ceritaku, sangat membantuku menemukan senyum itu Kembali. Meski pemiliknya ada ratusan kilometer dari tempatku kini menatapnya lekat. Mungkin saja ia merasakan aku sedang menatapnya dan benar-benar tersenyum untukku dari kejauhan, atau barangkali ia telah terlelap, itu tidak terlalu penting bagiku. Aku hanya tahu, ia selalu memberikan senyumannya yang terindah. Itu yang selalu kulihat, tidak berubah dari sejak foto ini ia berikan padaku, hingga hari ini.
Seragam sekolahku bisa saja putih biru, Ketika perasaan aneh itu menyergapku. Memaksaku melihat secara berbeda seorang gadis adik kelasku. Tetapi seiring berjalannya waktu, Ketika sekolah menginstruksikan semua siswanya harus menggunakan putih abu-abu, rasa itu tidak juga lekang. Pesonanya benar-benar membekas. Gadis itu memang menawanku, anehnya aku bahagia dalam penjara hatinya.
Aku tahu, waktu bisa mengubah banyak hal. Melunturkan cinta atau menyembuhkan luka. Tetapi aku juga meyakini, bahwa waktu juga bisa menjadi bukti sebuah rasa menemukan pertahanannya. Impian menjadi kenyataan. Cita-cita menjadi fakta. Dan mungkin masih banyak yang bisa ditambahkan di sini.
….
“Kamu yakin mau berangkat sendiri?”
Aku hanya mengangguk. Keputusanku bulat, liburan kenaikan kelas, kugunakan kesempatan itu untuk kembali ke kampung halaman yang memberiku banyak kenangan itu. Meski, ini adalah perjalanan panjangku pertama kali seorang diri. Butuh satu setengah hari perjalanan menggunakan bis antar kota antar propinsi.
Keragu-raguanku pupus ketika kulihat senyum itu kembali. Meski selama ini, tidak ada satu komunikasi pun antara aku dan sang pemilik senyuman itu. Mungkin senyuman itu masih sama mempesonanya, tetapi bukan untukku. Sungguh, kali ini aku tidak ingin berandai-andai.
…
Bau tanah gambut, khas, mulai terhirup hidungku. RBT yang kutumpangi mulai bertingkah seperti seekor kuda liar. Menghindari lubang, namun terperangkap lubang lain. Belum banyak berubah, jalanan masih saja berlubang, dan berlumpur.
“Sudah berapa lama pindah bang?”, tanya si abang penarik RBT
Seraya mengendalikan keretanya memilih jalanan yang layak dilewati. Meliuk kekanan dan kekiri, hanya diterangi sorot lampu kereta yang sedikit redup. Sementara kegelapan malam mulai tampak lebih pekat. Tidak ada lampu jalanan yang menyala, karena memang tidak ada.
“Dua tahun.”, ku jawab di antara antukan mulutku di punggungnya sesekali.
“Saya juga pengin pindah bang, cuma belum tahu kemana. Abang lihat sendiri kan, tidak ada perubahan di sini? Begini-begini saja.”
Aku jelas menyanggah pernyataan itu, meski tidak kuutarakan padanya, hanya di hatiku. Bagiku di tempat inilah harapan itu berada. Masa depan menemukan jalannya.
…
Aku tidak salah melihat, dia adalah pemilik pesona itu. Tetapi kali ini, dia tidak tampak tersenyum. Bahkan ia berusaha tidak menatapku. Aku hanya sempat berbasa basi dengan pria yang membonceng dirinya disepedanya. Sahabatku. Kami sangat karib dulu.
“Iya mas, mereka memang pacaran.”
Itu yang kudengar dari Tias anak pemilik rumah yang kutempati selama aku di kampung ini. Dadaku bergemuruh, berdegup liar, tetapi tidak nyaman untuk dinikmati. Beda rasa dengan Ketika aku melihatnya dulu dari jendela kelas. Gemuruhnya selalu kunantikan. Kali ini gemuruhnya menyakitkan.
Aku tidak punya agenda apa apa lagi di kampung tercinta ini. Mungkin ini jalan hidupku, tetapi aku tidak pernah menyesal membangun imaji atas pesona itu. Bagaimanapun ia menempati satu ruang khusus dihatiku. Entah sebagai apa, karena ketika aku pergi tidak ada proklamasi apa-apa tentang kami. Aku hanya tahu aku mencintainya, dan dia pun selalu memberikan senyum terindahnya untukku. Sebatas itu.
…
Selembar foto yang kuselipkan rapi pada buku harian, tempatku mencatat semua impian dan cerita-ceritaku, sangat membantuku menemukan senyum itu Kembali. Meski pemiliknya ada ratusan kilometer dari tempatku kini menatapnya lekat. Mungkin saja ia merasakan aku sedang menatapnya dan benar-benar tersenyum untukku dari kejauhan, atau barangkali ia telah terlelap, itu tidak terlalu penting bagiku. Aku hanya tahu, ia selalu memberikan senyumannya yang terindah. Itu yang selalu kulihat, tidak berubah dari sejak foto ini ia berikan padaku, hingga hari ini.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”