Pesanku Sebelum Kamu Akhirnya Benar-Benar Pergi, Tolong Ajarilah Aku Memeluk Sepi

Pesan sebelum kamu pergi


Sebelum akhirnya benar-benar  pergi, ajarilah aku cara memeluk sepi. Agar saat kamu tiada, aku bisa melakukannya sendiri.


Advertisement

Malam itu kita masih sempat berdua di dalam mobil. aku yang posisi menyetir dan kamu di sampingku menemani. Kita melaju ke arah Tangerang dari Bekasi. seperti biasa, kamu dan aku bertukar cerita dan saling bertanya soal aktivitas akhir-akhir ini. Sambil menikmati musik dan deru jalanan, sesekali kamu mengganti lagu kesukaanmu yanng sungguh itu membuat luluh hati. Ya, lagu favoritmu dari negeri seberang sangat kamu hayati.

Secara perlahan, mulanya sayup-sayup kecil suaramu mengikuti alunan nada dan kamu bernyanyi. Aku yang disampingmu merlirik sesekali. Rasanya kamu masih suka bernyanyi lagu melow. Mungkin saja itu luapan hatimu  yang lagi galau. Atau, itu hanya kebiasaanmu yang setiap dengar lagu apapun, selalu ingin kamu iringi. Seakan memposisikan diri sebagai asli penyanyi.

Tanpa sadar, aku suka lagunya dan ikut bernyanyi. Suaraku yang tak beraturanpun bersatu padu dengan suaramu kala itu. Mengalunkan beberapa bait kalimat dari sebuah lagu. Aku buat asyik saja. Karena kebiasaan ini sudah lama kamu dan aku jalani. Bernyanyi di ruang yang sekiranya tampa orang lain banyak tahu. Karena malu suara kita yang sumbang dan tak bermutu.

Advertisement


Tiba saatnya bulir-bulir hujan jatuh di arah kemacetan menuju tempatmu. Aku dan kamu tak peduli, malah kita semakin menikmati, semakin menjadi, terus bernyanyi.


Aku yang malam itu bertugas mengantarkanmu ke kediamanmu, teringat sesuatu yang beberapa minggu lalu aku ucapkan kepadamu. tapi aku memilih diam agar kehangatan ini tak terganggu. Aku menahan kata-kata agar tak terucap saat bersamamu. Sebenarnya berat aku tahan, karena ini masalah rindu yang terbelenggu. Aku memilih diam agar kamu yang membuka pembahasannya. Benar, tiba-tiba kamu bertanya soal status hubungan kita.

Advertisement

Perlahan dan tetap jaga fokus, aku jelaskan kepadamu soal kenapa aku memilih pamit untuk pergi. Ya, karena aku pikir semuanya akan sia-sia jika tempa restu orang tua. Aku tak berani melanjutkan hubungan ini, jika ketakutanku tak bisa melupakanmu seutuhnya suatu saat nanti benar tejadi. Di dalam hatiku, hal yang sebenarnya terjadi, aku dilema atas keadaan ini. aku yang masih manaruh harap kepadamu.

Tetapi di sisi lain, aku takut akan kualat orang tua. bagiku, apapun yang nanti terjadi jika memang pada akhirnya restu itu ada untuk kita, aku sudah siap untuk datang bertandang ke rumah orang tuamu. Meminta izin untuk bisa bersamamu selamanya.

Sebagai solusi, kuputuskan jalan tengah untuk menyudahi dan memilih bersendiri .Menurutku, aku lebih baik fokus pengembangan diri. Skil dan tatanan usaha yang dulu sudah aku bangun saat masih bersamamu, aku perluas lagi. Terima kasih atas waktumu yang tidak sebentar itu. Aku tahu itu adalah kepetusan yang sangat berat. Sama beratnya ketika teringat akan kebersamaan yang dulu kita jaga, kita rawat, kita rasakan.

Banyak hal yang kecil tapi manfaatnya besar. banyak keputusan yang dulu telah kamu bantu. Pernah kan saat aku bingung beli rumah atau mobil terlebih dahulu. Kamu memintaku untuk beli rumah karena pertimbangan investasi. Akhirnya dua-duanya alhamdulillah terbeli. Terima kasih atas jasamu. Denganmu sebenarnya aku masih senang. Tapi maaf aku tak bisa melanjutkan lagi. Kita berteman saja ya, sampai pada waktunya jodoh dan restu itu tiba.

Aku di sini berdiam diri, menikmati hari dengan sepi. Tanpa kamu aku berlatih tidak patah hati. Aku percaya aku bisa, dan kamu pun pasti bisa. Tidak ada sesal dalam hidup ini, hanya saja sedikit terbelenggu akan rindu, sudah harus kujalani. Kita sepakat ikhlaskan semuanya, karena Tuhan sudah mengatur segalanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.