Tak terasa sudah mau setahun aku pergi meninggalkan kampung halamanku di Sulawesi. Ini waktu terlama yang kuhabiskan, meski aku sudah mendapat gelar ‘perantau’ sejak 5 tahun lalu. Ketika aku harus menyelesaikan pendikan sarjana strata 1. Waktu itu aku masih biasa pulang. Paling tidak setahun dua kali aku bisa pulang.
Jarak kampungku dengan tempat kuliah cukup jauh meski tetap berada di provinsi yang sama, sekitar 10 jam jika ditempuh melalui darat atau 30 menit dengan pesawat. Tapi aku tentu tak akan mau menghabiskan uang tiket yang harganya sama dengan tiket ke pulau Jawa.
Seperti yang kulakukan saat ini. Menahan rindu untuk pulang, dan memilih menuntaskan pilihanku hingga tuntas-setuntas-tuntasnya. Mengingat harga tiket pesawat yang sudah sama seperti biaya kos selama 4 bulan, membuatku mampu bertahan, hingga dua lebaran di kampung orang.
Aku dan mungkin juga kalian yang membaca artikel ini kebanyakan merupakan perantau. Bahkan mungkin kalian sudah bertahun-tahun tak pernah pulang dan bertemu keluarga. Tapi di sini aku tak akan membahas tentang bagaimana tips bertahan hidup ala anak rantau hingga akhir bulan, atau cara anak kosan tetap sehat, meski makan mie emang ada yah, atau berbagi kalimat ajaib ala anak rantau yang selalu keliatan happy. Tapi aku ingin berbagi beberapa pesan bijak seorang Ayah pada anak gadisnya yang merantau.
Ketika pertama kali memutuskan untuk berkuliah di luar kota, aku tak pernah menyangka dengan rela hati Bapak menyetujuinya. Maklum, selama aku dilahirkan hingga lulus SMA, aku tak pernah menginjakkan kaki ke luar kota. Jangankan ke luar kota, rute perjalanan yang paling banyak kuhabiskan di kampung halaman, hanya rumah dan sekolah.
Jika ada yang lebih jauh dari rute itu, paling jalan ke rumah keluarga saat lebaran. Cafe? Sayangnya aku bukan termasuk anak-anak hits, apalagi suka nongkrong kala itu. Sekarang? Lebih tepatnya mungkin anak yang suka jalan dan numpang rapat di cafe saat awal bulan, dan kembali ke taman kampus saat akhir bulan.
Selain itu, yang membuatku pesimis Bapak tak akan mengijinkanku adalah karena aku wanita. Tapi kenyataanya, wanita dan kesan ‘anak rumahan’ bukan menjadi penghalang. Malah, kemarin ketika baru menyelesaikan wisuda dan ingin kembali melanjutkan kuliah di Jawa, bapak cuman berkata, “ke luar (kampuung) saja, kamu tidak bisa berkembang di sini”.
Saat pertama kali ingin merantau, sejujurnya aku begitu takut. Pikiranku penuh dengan resiko. Terlebih aku jarang bersosialisasi, aku lebih banyak melihat orang-orang lewat layar kecil di rumah. Sehingga bayanganku tentang dunia luar yah seperti apa yang kutonton di televisi. Sempit sekalikan. Tapi nyatanya, kupikir aku akan mengalami struggle yang berat, namun tidak semengerikan itu.
Kenapa? Karena pesan Bapak.
Waktu akan pergi merantau, bapak berpesan padaku, untuk selalu menjadi anak baik dan tidak mudah mengikuti orang-orang. Pesan ini cukup mainstream sebenarnya di kalangan anak rantau. Tapi justru pesan itulah yang benar-benar mampu membuatku bisa bertahan dan berkembang di perantauan. Tidak mudah tentunya bagiku yang baru ke luar dari zona nyaman, sulit berbicara dengan orang-orang, egois dan individualis, lalu harus melangkah ke luar dari wilayah itu.
Tapi pesan Bapak selalu terngiang. Jadilah ketika merantau, bekal itu yang mampu membuatku beradapatasi dengan orang-orang dan tempat baru. Bahkan ketika merantau ke Jawa pun, dengan budayanya yang jelas berbeda denganku, pesan ini tak pernah kulepas.
Perjalananku merantau seorang diri, hidup nomaden dari satu kota ke kota lain dengan berbagai hal baru dan membuat aukward pastinya. Aku tak punya keluarga di kota-kota yang kukunjungi, tapi mereka menganggapku seperti keluarga yang baru datang dari jauh, karena kebaikan itu. “Kebaikan yang kamu lakukan akan kembali pada dirimu sendiri”. Seperti itulah makna dari pesan bapak.
Selain itu, pesan untuk tidak ikut-ikut orang juga memberi efek yang begitu besar selama perantauanku. Setidaknya aku lebih bisa memilih dan memilih mana yang menjadi kebutuhah dan keinginan, apalagi anak ‘rantau’ memang identik dengan kata hemat. Tapi beda lagi kalau bicara diskon yah, itu naluri wanita yang memang sulit dihilangkan. Setujukan girls?
Jika bicara tentang wanita, tentu juga bicara tentang perlindungan diri. Ketika merantau justru bapak tak berpesan apa-apa tentang hal itu. Namun justru itulah yang membuatku yakin aku harus menjaganya. Karena kutahu, bapak bukan tipekel orang yang lantang bebicara, “tak boleh pacaran”, atau “berteman saja”. Pesan itu tersirat lewat tindakannya selama ini. Bagaimana ia menjagaku ketika masih menjadi anak rumah.
Dan yang kutangkap dari sikap dan tatapannya saat melepas anak gadisnya, ia sudah percaya padaku, bahwa aku mampu menjaga diri sendiri. Secara tidak langsung pula, Bapak mengajarkanku untuk sadar, bahwa penjagaan diri adalah bentuk dari penghormatan seorang wanita pada dirinya sendiri.
Bapak itu memang selalu dingin, mungkin itu sebabnya di kalender tak ada hari ‘Bapak Sedunia’, karena akan terasa canggung saat merayakannya. Tapi, bagi anak-anak gadisnya, bapak selalu menjadi laki-laki terbaik yang tak akan tergantikan oleh siapapun.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”