Pertemuan Antara Dua Hati yang Tak Selalu Terkoneksi

Aku mengenalmu di tengah teriknya mentari, kelamnya pelangi dan riuhnya deras tetes keringat dari pori besar yang enggan terkatup. Awal jumpa pertama, jangankan bersalaman, bertatap saja berat bagiku. Karena ketika itu, kau masih kau dan aku masih aku. Ketika itu, aku masih dengan hidupku dan kesepianku dan kau dengan pencarianmu dan 3 karmamu. Karena ketika itu, dukaku masih belum ingin bersapa dengan dukamu.

Advertisement

Berjalan dengan sepuluh langkah, aku yang mulai lelah hanya mampu memberikan gurauan kecil pada empat langkah di depan. Mencoba untuk mencairkan suasana dengan meletakkan diri sebagai periang yang penuh dengan kecuekan dan kejutekan yang teryata memancingmu untuk lebih mendekat pada batinku. Tak lama setelah itu, pergi, hilang, pisah dan tak bertemu. Bulan demi bulan berlalu, hari demi hari berganti, detik pamit tak bersuara, hingga pada suatu hari kita bertemu lagi pada puncak tertinggi dan pasir yang menyebarkan amis. Hatiku masih beku, mulai sedikit mencair namun belum seutuhnya dingin itu hilang hanya berkurang.

Ntah foto-foto perjalanan yang tertunda yang seolah menjadi umpan atas biang dari kedekatan kita sekarang. Masalah demi masalah datang dan seketika lisan mulai akur untuk menggandengkan kisahku dengan kisahmu. Perpustakaan yang awalnya coklat berubah menjadi biru keputihan. Nafsumu yang terkontrolkan seolah memanggilku untuk bersama-sama menjalin kontrol. Tatapan mata yang begitu dalam kala menjadi pengajar atas segala ketidakpahamanku akan materi tugas-tugas kuliah. Tawaran menemani dan tak ingin pisah, lipatan origami bentuk cinta, kiriman lagu english yang mendiktekan kode nyatamu, aku masih belum sadar terlebih peka..oh sudahlah itu tak ada.

Dalam setiap kisah dan perjalanan, aku meletakkan diri untuk tak melepas rasa padamu, karenaku sadar kau begitu sempurna, kaulah pujaan dari yang tercantik dan kaulah penantian dari yang terindah. Karenaku sadar aku hanya berada di baju yang usang, kisah yang kelabu, kelam masa lalu, waktu yang terjepit, impian yang tak rapi, kenangan yang berantakkan dan tangis bersarang di balik sandiwaranya senyuman. Karenaku hanya mampu berandai dan berpikir satu detik untuk melewatkan namamu di sela hati dan di lorong akalku yang tak pernah bertahan menjadi satu menit.

Advertisement

Namun, sore itu datang dengan tiba-tiba. Tak mengucap salam terlebih hanya sekadar sapaan, bukan tak berkenal hanya ingin datang sebagai penguji rasaku. Sore itu adalah titik pertama dimana sedih dan sesak sedikit mengikat dada dan panasnya telinga yang ntah itu mengapa. Ketika lidah lembutnya mengisahkan tentang kenyamananmu padanya dan tentang langkah dekatmu bersamanya via WA. Seolah sore itu perlahan aku mulai memikirkan sesuatu yang selama ini terlintas hanya dalam hitungan detik dan semua seolah menyatu pada sore itu juga, berkumpul..menuntut dan mendesak untuk mendapatkan jawaban serta kepastian atas segala prasangka yang membayang di barisan indra.

Sore berlalu, tibalah bulan dan bintang yang bertugas untuk menjaga bumi menjadi lebih indah bagi penghuninya. Dan tibanya malam menjadi saksi, atas ketidak pahaman dan ketakutanku di awal. Hati bertanya, atas segala bentuk perlakuannya yang membutakan rasa. Hati berbisik, aku ingin pulang. Tapi tak mungkin. Pertanyaan pun pada akhirnya ditautkan pada telingamu. Dengan mengucap merangkai bersama masa depan, senyumanku yang dulu hilang dan punah kini perlahan mulai membaik dan menjadi semakin tumbuh kembang semerbak, beranak pinak.

Advertisement

Indahnya kita, semoga tetap indah, sampai selamanya tetap akur dan selamanya tetap di tonton orang dengan kepolosan kita yang mendapat julukan atas 1000 muka. Malam itu menjadi awal dari jalinan kisah kita sekarang. Dari yang tak bersapa malah saling berjuluk manja. Dari yang tak bersentuh menjadi saling jamah penuh canda. Dari yang enggan berpandang menjadi saling tatap penuh rasa. Dari yang tuli akan kode menjadi saling peka akan sandi. Dari yang buta tentang warna menjadi bertukar wacana seputar dunia. Itulah kita sekarang. Walau terkadang, getir dan ranjau bertebaran turut menjadi uji nyali dalam setiap perselisihan, kita baiknya mampu menentukan kesimpulan dengan musyawarah atas mufakat yang seimbang dan tidak berat sebelah. Meski terkadang masih ada rasa kaku pada lidah untuk mengutarakan kelamnya masalah, senyuman selalu menjadi tonggak atas segala penghibur dari jenakanya ragu yang candu.

Terkadang, memang kita menemukan satu titik di mana air dan api enggan untuk mengekspresikan diri, namun dengan alasan cinta yang tak bermodus klasik menjadi tonggak atas semua wacana yang tak terlalu menyiratkan faedah untuk diutarakan. Misi utama yang sedang ingin kita genggam erat-erat ialah sejarah tentang “kejujuran”. Akurnya kita selalu berprinsip untuk tak menuankan “bohong” meski hanya seujung jari kelingking. Positifnya kita untuk selalu mengoreksi satu sama pribadi bergantian untuk sekadar memberi skor kecil pada setiap perilaku, tutur kata, tabiat, kebiasaan dan keteledoran-keteledoran kecil yang selalu menjadi alasan utama mengapa manusia dipanggil sebagai makhluk penuh khilaf.

Sungguhnya kita, sama-sama tak pernah menjadikan ego sebagai tahta dalam pengambilan keputusan dan penentuan kesimpulan atas setiap perselisihan yang menyapa. Kita? Ia….aku dan kamu!. Kita cendrung tak mampu memisahkan antara bayangan dan mimpi, kita sama-sama sulit untuk mendefinisikan fatamorgana dan ilusi. Kita sama-sama memiliki kesulitan untuk dapat memisahkan antara permainan dan kenakalan. Terkadang, aku hanya sedikit merasa, apakah ini jalan terbaik yang harus kita pilih untuk pertahankan, apakah ini motto terbaik yang harus tetap kita pegang, atau haruskah ini visi misi pasangan yang harus tetap kita jalankan. Namun, batinku berkata “tidak!”.

Atas semua kelalaian dan kecerobohan kita dalam membina rasa ini. Mereka benar, mengenai rasa yang harus dituntun. Aku setuju pada pernyataan di mana cinta wajib dibimbing, atas kasih yang perlu dibina dan batin yang perlu dididik. Kita harus mulai terbiasa pada kebutuhan yang mesti dikontrol. Baik dalam suasana dan dalam keadaan apapun. Dan batinku berbisik, akhir indah dari keseluruhan cerita yang kita coba rajut dalam beberapa dekade ini hanya akan berakhir dengan sempurna bak cerita indah putri kayangan dan putri raja di atas singgasana ialah waktu dimana lisanmu berkata “Bissmillahhirrahmannirrahiim dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, ku pinang kau dengan penuh ikhlas dan sayang, atas tujuanku untuk menyempurnakan separuh agamaku, dan atas misiku untuk memilikimu seutuhnya dunia akhirat”.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Smile_Until_Die