Ujian sekolah kadang menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian murid. Bagaimana tidak? Bagus atau tidaknya nilai mereka di rapor akan bergantung pada hasil ujian tersebut. Selain nilai ujian, penilaian dari orang tua juga akan turut menghampiri mereka. Jika nilai hasil ujiannya bagus, bisa dipastikan orang tua akan bangga kepada mereka. Sebaliknya, jika nilai hasil ujian mereka kurang memuaskan, kemungkinan siswa tersebut akan menerima hukuman atau setidaknya mendapat keluhan dan nasihat dari orang tuanya.
Karena tidak mau menerima resiko tersebut, banyak murid yang melakukan segala cara agar nilai mereka tidak anjlok di buku rapor. Salah satu cara yang paling sering dilakukan adalah nyontek. Ya. Sebagai murid sekolah, nyontek adalah nama yang sangat tidak asing. Nyontek dilakukan ketika otak terasa buntu untuk berpikir saat ujian sedang berlangsung.
Nyontek memiliki banyak ragam. Mulai dari mengintip kertas ujian teman tanpa diketahui, menyiapkan catatan kecil yang kemudian disembunyikan di tempat yang tidak terlihat oleh guru pengawas ujian, sampai bekerja sama atau bertukar jawaban dengan teman yang lain. Bahkan ada yang sudah mem-‘booking’ teman yang pintar agar mau diajak kerja sama saat ujian.
Tapi dalam kenyataannya, tidak semua murid menyukai budaya yang sudah mengakar dengan kuat ini. Sebagian murid yang memiliki prinsip yang kuat, justru menganggap ujian adalah saat yang tepat untuk mengukur seberapa besar kemampuan diri. Dan murid yang berprinsip kuat ini rata-rata adalah murid yang dikenal pandai.
Tidak semua murid yang pandai mau dilibatkan dalam budaya nyontek ini. Alasannya adalah, mereka tidak mau usaha yang telah mereka lakukan untuk menghadapi ujian ‘dinikmati’ secara luas begitu saja oleh murid-murid yang lain. Tapi pada praktiknya, masih ada saja sebagian murid yang suka nyontek ini menganggap bahwa murid yang cerdas adalah ‘penyelamat’ mereka saat mereka sedang kesulitan menjawab soal-soal ujian. Padahal, mengerjakan ujian itu adalah tanggung jawab masing-masing murid, bukan?
Lantas apa gunanya belajar selama berbulan-bulan jika ujian yang hanya dilakukan beberapa hari saja harus dengan cara nyontek? Jika alasannya karena saat ujian tidak boleh open book (melihat buku), mengapa pada hari-hari sebelumnya tidak mempersiapkan mental dan bekal untuk ujian? Mengapa harus mengandalkan teman-teman yang pintar untuk ‘menyelamatkan’ satu-dua digit nilai?
Ini bukan soal tidak setia kawan atau semacamnya. Namun murid yang pintar dan sudah belajar dengan tekun pun terkadang masih suka kesulitan dalam ujiannya. Jika yang pintar saja masih kesulitan, apakah kita tega menambah beban mereka? Belum lagi jika yang suka menyontek ini cenderung maksa dan menggunakan ancaman, murid yang pintar dan rajin belajar akan merasa waktunya terbuang percuma untuk ‘membantu’ temannya yang mengemis jawaban.
Come on, mau sampai kapan budaya ini terus dilestarikan? Bukankah sebagian dari kalian ada yang pernah bilang kalau nilai tidak menjamin kesuksesan di masa depan? Lalu mengapa kalian ‘berkorban’ habis-habisan menyalin jawaban teman yang pintar demi nilai yang bagus di secarik kertas ujian? Bukankah semakin dewasa kalian bisa berpikir lebih matang dan mempersiapkan diri dengan baik?
Begitu banyak kesempatan yang bisa kalian manfaatkan sebelum ujian dilangsungkan. Seperti belajar dan bertanya dengan teman kalian yang pintar, membuat kelompok belajar, mengerjakan latihan soal dari kisi-kisi yang diberikan oleh guru, dan masih banyak lagi.
Terakhir, apakah saya boleh mengatakan bahwa: percuma jika kalian menghasilkan nilai yang bagus dari hasil nyontek, jika pada kenyataan di lapangan kalian sama sekali tidak bisa apa-apa? Â Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”