Ya, begitu lah kira-kira kata yang tepat untuk menggambarkan hasil perjuangan kedua orang tua kami. Mungkin terdengar biasa saja, orang tua yang bisa menyekolahkan tiga anaknya hingga sarjana. Ya, itu terdengar biasa bagi keluarga yang mapan perekonomiannya. Tapi itu sangat luar biasa bagi kami yang perekonomiannya kurang. Kami berasal dari keluarga yang sangat sederhana.Â
Bagaimana tidak bangga, kami dapat bersekolah hingga sarjana dari hasil jerih payah kedua orang tua kami. Pekerjaan apapun mereka lakukan agar kami bisa sekolah. Tak kenal lelah, pagi hingga petang mereka terus bekerja. Kami tiga orang, perempuan semua. Di mana jarak usia kami begitu dekat. Anak pertama dengan ke dua terpaut 3 tahun, anak pertama dengan ke tiga terpaut 5 tahun, dan anak ke dua dengan ke tiga terpaut 2 tahun. Di mana anak pertama dan ke dua selalu bergantian masuk sekolahnya, bila anak pertama lulus SMP, maka anak ke dua masuk SMP, begitu seterusnya. Sehingga membuat keuangan sekolah kami tak pernah henti.
Pekerjaan ayah kami sebagai kuli bangunan, dan ibu kami seorang petani sayuran. Jika dipikir-pikir, tidak akan cukup penghasilan dari seorang kuli bangunan dan petani sayuran untuk membiayai sekolah tiga anaknya hingga Sarjana. Tapi rezeki untuk anak yang benar-benar niat sekokahnya pasti ada jalannya dan semangat orang tua untuk melihat anaknya pendapat pendidikan juga sebagai salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran rezeki.
Kami mulai merasakan betapa sulitnya kedua orang tua kami mencari pundi-pundi uang itu sewaktu anak pertama mulai masuk SMP. Dim ana setiap hari nya harus mengeluarkan uang untuk ongkos angkutan dan uang jajan nya, sedangkan dua anaknya lagi sedang bersekolah juga jenjang SD. Dari situ, ayah kami mulai lebih keras lagi bekerja, tak jarang ayah kami merantau untuk menambah penghasilan, di kala tidak ada tawaran bangunan di kampung.Â
Waktu terus berjalan, hingga anak pertama masuk SMA dan anak kedua juga masuk SMP di waktu yang bersamaan. Belum sempat lulus anak pertama dan kedua di jenjangnya,  anak ketiganya pun masuk SMP di tempat yang sama dengan anak kedua. Sehingga biaya yang di keluarkan pun bertambah. Kami bertiga sekolah di luar kecamatan, sehingga harus memakai angkutan umum untuk sampai ke sekokah.
Sudah banyak hal sulit yang dilewati, seperti di mana anak pertama membeli buku sekolah , anak kedua dan ketiga begitu juga. Jika mengambil rapor, terkadang orang tua kami sampai terlambat, karna harus ada tiga kelas yang didatangi di tempat yang berbeda. Belum lagi kami ikut les di salah satu tempat les terdekat di sekolah, yang jam pulangnya sekitar jam 6 sore, tak jarang angkutan umum sudah tak ada membuat ayah kami harus menjemput kami di sana.
Hingga tiba saatnya anak pertama lulus SMA, dan alhamdulillah dia lulus SBMPTN di salah satu Universitas yang ada di Banda Aceh. Berbarengan dengan anak kedua yang akan melanjutkan ke jenjang SMA, dan dia memilih untuk masuk ke Pondok Pesantren. Dan disusul anak ketiga yang masuk ke jenjang SMA. Pengeluaran begitu terasa berat, sampai membuat kedua orang tua kami harus berhutang kesana kemari. Tak sedikit juga orang yang mencibir kedua orang tua kami. Itu yang paling membuat kami merasa sedih, demi kesuksesan kami kelak mereka rela kelelahan dan menahan malu berhutang. Tetapi kedua orang tua kami sangat mengusahakan supaya biaya sekolah kami tercukupi apapun itu caranya.
Tak terasa, anak kedua lulus dari pondok Pesantren dan alhamdulillah lulus SNMPTN di salah satu Universitas di Lhokseumawe. Dua tahun berlalu, anak ketiga juga lulus dari SMA dan lulus UMPT-KIN di IAIN yang ada di Langsa. Mau tidak mau kami harus nge kos, karena kami tinggal di Langkat, Sumatera Utara
Tak sampai di situ, dalam perjalanan menuntut ilmu pasti ada saja halangannya. Ya, anak pertama yang seharusnya sudah lulus kuliah dan menjadi Sarjana, terhambat lulus tepat waktu dikarenakan perubahan kurikulum di Universitasnya. Sehingga membuatnya harus menambah tahun lagi untuk lulus dari kampusnya.
Biaya yang seharusnya sudah berkurang, kini malah bertambah karena ada tiga orang yang sedang berkuliah. Tapi apala daya, semua harus dilewati supaya kami bisa lulus menjadi Sarjana. Itu lah yang selalu menjadi pikiran kedua orang tua kami. Kuli bangunan, menanam cabai, pepaya, berjualan sayuran matang, semua sudah dilakukan orang tua kami demi memenuhi biaya kuliah kami. Bagi anak pertama, ini hal yang sangat sulit dan pasti nya membuat dirinya merasa bersalah. Karena dia  yang terlambat lulus kuliah, membuat biaya sekolah menjadi terasa semakin berat.
Setelah menunggu lama dan perjuangan yang begitu sulit, akhirnya anak pertama pun lulus kuliah di tahun ke 7 ia menjalani masa perkuliahan. Disusul anak kedua yang sudah memasuki semester ke 8 yang sudah di ujung kelulusan, dan sekarang anak ke tiga sudah memasuki semester 6 yang tak hampir satu tahun setengah lagi akan mengakhiri masa kuliahnya.Â
Kedua orang tua kami pun sudah merasa lega dengan sudah selesainya anak pertama dan sudah mendapat gelar Sarjana. Tinggal menunggu dua anak nya lagi yang sebentar lagi juga menyusul mendapat gelar Sarjananya. Ingin rasanya kami cepat-cepat mencari pekerjaan, ingin rasanya kami cepat-cepat meringankan beban orang tua. Melihat kedua orang tua kami mulai membungkuk, tangan nya yang dulu sehat kuat, sekarang perlahan mulai keriput dan lemah. Betapa sedih hati kami, karna kami lah mereka menjadi begini.
Bagi kami, tidak ada hal yang dapat membalas budi jasa kedua orang tua. Dengan apa yang sudah mereka lakukan dan korban kan untuk kami bisa meraih gerar sarjana. Tak jarang kami bertiga berkumpul hanya untuk bercerita satu sama lain sampai menangis. Kami harus bekerja, kami harus sukses, kami harus membahagiakan kedua orang tua kami. Ayah, ibu. Terima kasih atas segalanya
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”