Terkadang Ada Hal-hal yang Memang Harus Dipendam Sendiri. Tidak Perlu Diceritakan, Hanya Butuh untuk Dirasakan

hal yang harus dipendam sendiri

Berpura-pura untuk nampak baik-baik saja padahal jiwa terkoyak sepenuhnya adalah kenyataan yang menyakitkan. Terkadang, ada hal-hal yang memang harus dipendam sendiri. Tidak perlu diceritakan, hanya butuh untuk dirasakan, hingga tanpa sadar air mata turun membasahi pipi. Ada banyak hal yang harus dilalui, mau tidak mau mampu tidak mampu. Begitulah tangan Tuhan bekerja. Sebagai seorang hamba, hanya mampu menjalani dan menerima. 

Advertisement

Ada rasa yang berakhir menjadi kecewa dan luka. Atau bahkan, ada rasa yang berujung bahagia. Manusia berhak untuk memilih. Pantas untuk bergembira atas pilihannya. Lalu, bagaimana dengan ini? Sampai sekarang aku bahkan tak pernah menemukan jawabnya. Aku sudah mencari sampai di penghujung malam, terlebih hingga dini hari. Pikiranmu masih saja berkecamuk bagaimana memulihkan hati yang telah remuk. 

Ada ketidak siapan di sana. Ada sayu penuh ragu di dalamnya. Ini sulit dijelaskan. Sulit dicerna dalam pikiran. 

Rasa rasanya air mataku sudah hampir habis. Lelah, sudah pasti. Masih saja pertanyaan tentang mengapa tak henti menghantui. Mengapa terjadi? Mengapa seperti ini? Mengapa berakhir dengan air mata lagi? Seperti inikah semesta bekerja? 

Advertisement

Anganku masih saja terlempar dalam masa lalu. Untuk hari ini, perasaanku dipaksa untuk mengingat yang harusnya telah terlupa. Rasa sakitnya masih ada. Bekasnya belum kering. Lukanya belum sembuh. Ketakutanku semakin menjadi. Rasa kecewaku masih tersisa dalam diri.

Mengingat beberapa tahun silam, semuanya nampak kelam. Hanya saja, di pikiran dia nampak belum padam. Aku pernah menjadi begitu istimewa, dan dipaksa untuk tidak pernah hadir dalam hidupnya. Sakit. Berhari hari aku mengurung diri. Berbulan bulan rasa sakitnya masih menggerogoti. Butuh bertahun tahun untuk hati bisa melupa jika aku pernah terluka. Untuk membuka hati, aku bahkan belum siap untuk kecewa lagi.

Advertisement

Di cerita selanjutnya, aku pernah berusaha dengan tulus untuk menerima. Di akhir kisah cinta, akulah sosok yang disia-sia. Aku lelah dengan air mata. Lelah dengan segala luka dan rasa sakitnya. Ku buat tembok pertahananku sendiri. Ku tolak orang-orang yang mencoba mendekati. Seburuk itu aku dalam perihal patah hati. Apa aku tak pantas mencintai dan dicintai? 

Tertatih, aku berusaha untuk jatuh hati. Kamu yang begitu sederhana. Namun, terlampau istimewa. Memandang dari kejauhan cukup membuatku bahagia. Melihat senyummu sudah berhasil menghilangkan separuh warasku. Mungkin seperti ini jatuh cinta tanpa ingin balas didamba.

Rasanya, aku tak mungkin menggapaimu. Tahu diri, aku pasti bukan harapanmu. Kau terlalu sempurna, untuk aku yang biasa-biasa saja. Ada rasa tidak percaya diri untuk dicintai. Ada rasa ingin berhenti sebelum diri terluka karena harapan sendiri. Aku berusaha berhenti. Menghapus segala angan dan ingin untuk seiring.

Terkadang sebuah pengungkapan tidak membuat sesuatu nampak baik. Ungkapan perasaanmu membuatku tak punya daya untuk berbuat apa-apa. Terkadang ada ingin yang tak seiring dengan angan. Ada rindu yang tak bisa bertemu. Ada langkah yang tak bisa searah. Ada harap yang tak sejalan dengan derap. Ada rasa yang berujung dengan kecewa. 

Terlambat. Rasa kita memang tepat, hanya saja berada di waktu yang tak tepat. Kau ternyata diam diam menyimpan rasa yang sama. Dalam rentang waktu sekian lama, kita tak pernah sekali saja menyapa. Lalu, bagaimana aku tahu perihal perasaanmu? Patah. Remuk. Perih. Pedih. Hancur. Mungkin itu yang sama sama kita rasa. Kita mempunyai rasa yang sama. Prinsip hidup kita sama. Banyak kesamaan di antara kita. Sialnya, kita tidak mungkin bisa bersama. Kita yang saling, yang tidak mungkin bersanding. 


“Terkadang bisa sedekat mata kiri dan kanan, hanya saja tak pernah bisa saling memandang. Kadang ada sesuatu yang diciptakan hanya untuk memandang, bukan saling pandang,” katamu. 


Setiap malamnya aku mengutuki diri sendiri atas pilihanku. Aku takut terlalu mengecewakan banyak orang di sekelilingku. Aku bahkan mengorbankan bahagiaku. Aku melepas seseorang yang amat dicinta karena seorang pria. Melepas banyak impianku, hanya untuk sosok orang yang akan kusebut sebagai suamiku. 

Aku tak pernah menyangka akan sesakit ini. Masih saja sesak memenuhi dada jika mengingatnya. Egoiskah, jika di sisi lain aku tak rela kau bersama lainnya? Lalu, ajari aku untuk bisa melepas dengan ikhlas. Ajari aku untuk melupa. Ajari aku untuk mendewasa sebab rasa yang harus berakhir karena Tuhan yang menghendakinya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Just imperfect girl who loves to write her own story

Editor

une femme libre