“Dia hanya teman. Kami kenal sudah lama dan merajut pertemanan jauh sebelum aku bertemu kamu. Tapi dia bukan siapa-siapaku. Berhenti lah untuk curiga”. Itu, katamu!
Iya, sayang, aku mengerti. Dia hanya temanmu, sahabatmu atau apalah itu. Kalian mengenal sejak SMA, aku pun tahu itu. Tak ada kedekatan yang khusus. Juga tak ada cinta di antara kalian berdua, semoga saja. Kamu selalu menjawab seperti itu.
Menjelaskan dengan satu kalimat “Dia Hanya Temanku”
Hem. Baiklah.
Aku hanya mau tanya. Bagaimana kamu akan menjelaskan senyummu yang bisa otomatis muncul begitu saja ketika tidak sengaja bertemu dengannya? Bagaimana kamu akan menjelaskan kecepatanmu yang dengan segera menjawab telepon atau WA-nya? Bagaimana kamu akan menjelaskan betapa sering dengan tidak sengaja kamu bisa tiba-tiba bercerita tentang dia dengan begitu semangatnya? Bagaimana kamu akan menjelaskan tawamu bisa sedemikian terkembang hanya karena mendengar sedikit lelucon darinya. Dan bagaimana betapa khawatirnya kamu saat tahu bahwa dia sedang terbaring lemah. Bagaimana bisa semua itu terjadi jika dia hanya seorang teman?
Ya, mungkin karena kalian sudah mengenal dan dekat begitu lama. Ya, tentu saja.
Dua orang yang kenal dan sering bersama dalam waktu lama bisa sangat dekat dan tidak akan lupa. Bahwa kenangan dan cerita yang pernah mewarnai hari-hari kalian berdua tetap akan terpatri dan tak semudah membalikkan telapak tangan akan berganti. Bagaimana dua orang yang pernah menghabiskan waktu sedemikian membahagiakannya bisa dengan cepat menghapus segala yang indah dari dalam hati. Baiklah, mungkin memang seperti itu.
Aku menenangkan hatiku dengan cara itu. Menenangkan segala resah dan gundah yang kamu tak akan pernah mengerti. Sesekali, menahan perih yang aku dapat menjamin, kamu juga tak akan bisa mengerti. Ini tentang aku, lebih tepatnya hatiku, yang selalu dengan lancang selalu hapal memanggil vokal konsonan namamu.
Kamu hanya tak bisa mengerti, bahwa ada aku di sini. Mengamati dengan mata dan kepalaku sendiri bagaimana indah senyum yang kamu beri untuknya. Bahwa ada aku di sini, yang merasakan bagaimana semangatmu menceritakan perihal ‘dia’ yang sedemikian istimewanya sampai kamu lupa bahwa kamu sedang mencurahkan segala isi jiwa padaku, kekasihmu.
Sampai kapan aku hanya menjadi telingamu untuk wanita itu? Kamu tahu, bahwa sesekali akupun ingin merasakan betapa membahagiakannya mendengarmu bercerita tentang aku? Atau sesekali kamu memuji segala usahaku yang selama ini tak pernah beranjak dari sisimu, bagaimanapun keadaanmu. Sampai kapan, Tuan?
Apa tak bisa kamu rasakan sedikit saja perih di dalam hatiku yang selalu menahan tangis melihatmu begitu berbahagia oleh sebab yang melulu tentang dia.
Aku melakukan apapun untuk berada disampingmu. Segala perhatian dan doa-doa yang seluruhnya hanya untukmu.
Atau apa tak bisa kamu lihat bakat dan hobiku yang tak lelah menghadiahimu surat cinta. Menemanimu menikmati secangkir kopi dan menjadi telinga paling budiman diseluruh dunia? Atau yang dengan senang hati menyanyi untukmu dengan alunan gitar, berharap semua itu dapat mengusir segala luka dan pedihmu?
Katakan padaku, apa tak ada yang bisa kamu lihat dari aku? Wanita yang dengan sungguh sangat mencintaimu.
Baiklah, sekarang aku ingin bertanya “aku yang memang ‘kurang’ atau kamu yang tak pernah bisa merasa cukup?” Katakan padaku, Tuan.
Sesekali berilah alasan yang lain. Jangan hanya berkata dia hanya temanmu tapi seluruh isi kepalamu masih berserak tentang dia yang hanya masa lalumu. Sejauh mana kamu pertanggung jawabkan perkataan bahwa "dia adalah temanku”?
Dia. Temanmu.
Baiklah.
——————————————————————————————————————————————
Tetapi, itu dulu.
Lalu pada suatu acara reuni kalian, dia membacakan puisi. Ketika namanya dipanggil, kamu mungkin tidak tahu aku memperhatikanmu. Kamu terlalu fokus pada senyum dan berbinarnya matamu mengikuti langkahnya ke panggung. Dan ketika dia membacakan puisi, kamu lupa segalanya. Lupa kalau ada aku di sana, di sampingmu, memperhatikanmu yang matamu seperti lengket kepadanya dan senyummu seperti default kalau ada dia di jangkauan mata.
Kamu mencintainya. Masih mencintainya. Tidak pernah tidak. Aku tau. Semua terlihat terlalu jelas dari cara kamu melihatnya. Tidak ada orang yang bisa menyembunyikan cinta sebesar itu di matanya.
Aku tidak tahu harus bersedih atau lega karena akhirnya kecurigaanku memang nyata.
Kalau cinta itu masih penuh dengan dia, aku kamu sisakan berapa?
Oya, kapan kamu bisa menerima kenyataan kalau dia sudah menikah dengan seseorang?
Sampai kapan, Tuan?
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.