Perempuan Juga Nggak Kalah Keren Dibanding Laki-laki!

Terinspirasi dari Kartini

Kok laki-laki semua?

Advertisement

Pahlawan merupakan gelar yang diberikan pada seseorang yang dianggap berjasa terhadap banyak orang serta berjuang dalam mempertahankan kebenaran. Beberapa di antara mereka berkorban, baik pemikiran, harta, hingga nyawa. Tak dapat dipungkiri, mayoritas pahlawan yang kita kenang merupakan laki-laki. Sebut saja nama pahlawan pertama yang terlintas di kepala Anda, bukankah ia seorang laki-laki? Peranan perempuan seolah terlihat sangat minimal dan bisa jadi tidak kasat mata, seolah tak banyak sumbangsih perempuan dalam sejarah bangsa kita.  

Bagaimana dengan perempuan?

Dulu, dan bahkan mungkin masih dapat kita lihat hingga waktu ini, perempuan ada sebagai kaum nomor dua di bawah laki-laki. Perempuan lahir dan bertumbuh. Ia belajar bagaimana merawat rumah, memasak, dan mengasuh anak. Walaupun terlihat kasar, seolah tujuan hidup perempuan hanyalah untuk lahir, memasak, melahirkan anak, merawat anak, lalu, mendampingi suami hingga ajal menjemput. Seorang perempuan tidak memiliki hak untuk mengembangkan dirinya sendiri. Ia tidak berhak mengenyam bangku pendidikan. Ia hanya menunggu hingga waktunya dinikahkan dengan seorang laki-laki. Kehidupan sungguh tidak adil bagi seorang perempuan kala itu.

Advertisement

Terus perempuan diem aja gitu?

Tidak adakah seorang perempuan yang berani maju untuk melawan ketidakadilan tersebut? Ya, tidak ada. Tanpa pendidikan dan tradisi yang sudah mengakar dengan kuat, seolah tidak ada perempuan yang mau menyuarakan ketidakadilan itu. Tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan membuat pemikirannya terbatas di dapur saja. Perempuan bagaikan terkurung di dalam rumah, tidak dapat memperluas pemikiran. Tidak dapat maju.

Advertisement

Cerita Si Eneng Kartini

Tapi, tidak semua perempuan bernasib tak seberuntung itu. Beberapa perempuan yang dilahirkan pada keluarga bangsawan memiliki kesempatan yang sedikit lebih baik. Anak perempuan keluarga bangsawan masih memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Perempuan diberi kesempatan untuk berkembang, tembok itu jelas ada.

Hal ini juga yang dialami oleh Raden Ajeng Kartini. Ia adalah perempuan. Ia cukup beruntung untuk dilahirkan pada keluarga bangsawan. Ayah Kartini adalah R. M. Sosroningrat, anak bupati Jepara. Dengan demikian, Kartini memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Ia belajar hingga usia 12 tahun. Dan pada akhirnya, sebagaimana kisah hidup setiap wanita, ia harus dipingit, menjalani masa untuk menyambut pernikahannya.

 Akan tetapi, masa pingitan ini tidak membatasi pergerakan Kartini. Ia mengirim surat kepada teman-temannya di Belanda dan tentunya menggunakan bahasa Belanda, bahasa yang digunakan kalangan terpelajar waktu itu. Pemikirannya tidak hanya sebatas di dapur. Kartini muda tertarik memahami cara berpikir orang Eropa, yang notabene merupakan negara maju. Ia membaca surat kabar dan buku-buku.

Anti Cuek Bebek

Seorang Kartini menyadari ia harus berbuat sesuatu bagi wanita pribumi. Ia membuka mata bahwa tidak semua perempuan seberuntung dirinya. Kedudukan wanita pribumi tertinggal jauh dalam kehidupan sosial pada masa Kartini hidup. Dalam pemikiran-pemikirannya, Kartini menginginkan adanya persamaan untuk wanita. Wanita berhak akan kebebasan, menentukan pilihan hidupnya sendiri, dan mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kartini menyuarakan penderitaan wanita pribumi di Indonesia yang harus dipingit. Kebebasan wanita sangat dibatasi, seolah tak dapat leluasa bergerak. Ia tidak berhak memilih. Wanita harus manut wae (menuruti apa kemauan orang lain, terutama orang tua dan tradisi). Berbagai adat istiadat mengekang kebebasan kaumnya.

Kartini menjadi simbol wanita yang berpikiran jauh lebih maju, melawan kekangan tradisi terhadap wanita. Selain menyuarakan emansipasi wanita, Kartini juga menulis pemikirannya mengenai masalah religius hingga nasionalisme. Ia menyampaikan kritik pada berbagai hal. Ia wanita yang berani berpikir kritis, bukan hanya pasrah pada tradisi.

Sad but happy ending (loh?)

Akan tetapi, masa hidupnya tak bisa melangkah sejauh pemikirannya. Sebagai perempuan di bawah tradisi, ia juga akhirnya harus menikah dan melahirkan anak. Kewajiban wanita untuk melahirkan anak seolah menjadi tugas terakhir yang ia tunaikan dalam hidupnya yang singkat itu. Ia meninggal dalam usia yang cukup muda. Kartini tidak gugur dalam medan pertempuran. Ia gugur menunaikan tugasnya, tugas mulia setiap wanita : mengantarkan anaknya ke dunia. Ruang persalinan menjadi medan pertempurannya, tempat ia mempertaruhkan seluruh hidupnya, sebagaimana juga para wanita lainnya.  Akan tetapi, apakah hanya ini esensi kehidupan seorang wanita di dunia?

Perempuan juga berhak, plis

Dalam hidupnya yang tidak panjang itu, Kartini jelas menyatakan tidak. Wanita tidak hidup hanya untuk pria, atau hanya untuk dapur dan rumah tangganya. Wanita berhak untuk berbuat lebih dari itu dalam kehidupannya. Wanita berhak memiliki hidup yang berdampak bagi dunia, bukan hanya untuk rumahnya. Wanita berhak mengembangkan sayapnya melewati batas-batas panci dan bumbu dapur. Wanita berhak mendapatkan persamaan dengan pria karena ia tidak lebih rendah daripada pria. 

Pemikiran Kartini menjadi dasar emansipasi wanita. Berbagai opini dan kritik Kartini yang tertuang dalam surat-surat kepada teman-teman Kartini di Eropa dikumpulkan dalam buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Judul ini seolah merepresentasikan karya dan pemikiran Kartini, yang ingin mengakhiri masa kegelapan bagi wanita dan memberikan secercah cahaya untuk mereka. Wanita berhak memiliki masa depan yang cerah.

Makasih, Kartini!

Hidupnya yang singkat memberikan dampak besar bagi wanita Indonesia. Kini, wanita Indonesia memiliki persamaan derajat dengan pria, wanita tidak lagi dipandang sebelah mata. Dewasa ini, kita dapat merasakan dampak pemikirannya. Wanita sekarang boleh dikatakan mampu menjadi wanita yang mandiri. Ia berhak menuntut ilmu setinggi-tingginya, mengembangkan diri, dan melakukan apa yang diinginkannya. Wanita berhak menentukan masa depannya sendiri. Ia berhak untuk menggapai cita-citanya, berhak memiliki karier yang tidak hanya karier di dapur dan di rumah.

Kewajiban wanita tetaplah ada karena itulah peran seorang wanita. Tanpa mengabaikan tugas dan tanggung jawab terhadap keluarga, wanita masa kini memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dan berkembang. Kita dapat melihat banyak prestasi yang diukir oleh wanita. Banyak perempuan yang meneruskan studi di luar negeri, memperoleh gelar pendidikan yang bergengsi. Tidak jarang pula wanita menempati jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan perusahaan. Wanita berhak menjadi apa yang ia inginkan.

Kita juga bisa!

Kartini juga menjadi bukti bahwa seorang pahlawan tidak hanya seorang yang mengangkat senjata atau ia yang berdiri di hadapan banyak orang untuk membela kepentingan bangsanya. Kartini adalah gambaran bagaimana seorang bisa memberikan dampak dengan pemikirannya. Kartini juga membuktikan bahwa wanita juga bisa. Namanya terpampang di antara nama pahlawan kaum adam. Ia adalah wanita, ia adalah pahlawan bangsa. Ia tetap bisa berkembang walau dalam tekanan. Ia bisa meninggalkan dampak dalam waktu panjang walaupun ia harus meninggalkan dunia dalam waktu singkat.

Ditulis oleh seorang perempuan, seorang yang juga berhak akan masa depan cerah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini