Hingga seusia ini, hampir seperempat abad, saya tumbuh bersama keluarga yang hanya samar-samar mengenal sosok kakek dan nenek. Ibu dan ayah terhitung sebagai anak ragil. Apalagi zaman dulu, orang tua memiliki jumlah anak yang tak cukup dua atau tiga, bahkan hingga 8 anak, sepertihalnya bapak dan ibu.
Sejak masih usia SD, saya sudah kehilangan simbah. Ibu dari ibu saya. Apalagi sejak saya masih dalam kandungan, bapak ibu telah berumah sendiri. Sehingga kami tinggal jauh dari rumah kakek dan nenek. Sehingga, ingatan yang samar-samar itu, semakin memupuk ketidaktahuan saya akan sosok detil kakek dan nenek. Maka, sayapun tak banyak memiliki ingatan yang intim dengan mereka.
Meski begitu, saya bersyukur hidup di kawasan pedesaan di salah satu desa di Kabupaten Blitar. Jalinan komunikasi dengan tetangga begitu dekat. Kami begitu intim bertetangga. yang membuat saya senang, rumah saya berhadapan dengan rumah mbah Mar Musriatun. Perempuan usia 71 tahun yang cukup membuat saya merasakan memiliki seorang nenek. Ia adalah sosok perempuan jawa yang terampil, teliti, cekatan.
Yang bikin saya selalu senang dengannya, ia adalah pegiat tradisi jawa sesungguhnya. Memegang nilai-nilai tradisi Jawa yang diwariskan simbah-simbahnya. Mengamalkannya dengan terampil dan teliti, memercayainya sebagaimana simbah-simboknya mengajarkan tradisi-tradisi itu padanya.
Sejak remaja saya senang menemuinya untuk sekadar bercakap. Dari percakapan itu, ia seringkali menyisipkan nilai-nilai budaya jawa. Tentang sopan santun, apa yang pantang dan boleh dikerjakan, adab manusia Jawa. Hingga saya kuliah di luar kota dan kemudian jarang pulang ke kampung halaman, saya masih menyempatkan diri mengunjunginya untuk sekadar mendengarkannya bercerita.
Sejak masih usia muda, ia sudah terbiasa dipercaya masyarakat desa untuk menjadi dukun manten. Menyiapkan segala piranti sesajen, hingga prosesi pernikahan yang menggunakan adat Jawa. Banyak aturan yang boleh dan tidak boleh dalam upacara pernikahan. Tak boleh dilanggar, katanya. Sebab jika dilanggar maka hal buruk akan terjadi di kemudian hari. Ini sudah berkembang menjadi kepercayaan dalam dirinya.
Ketika pulang kampung, saya masih saja mendapati dirinya membuat selamatan memanen padi. Bentuk selamatan itu dengan membuat tumpeng beserta segalanya pirantinya yang diatur sedemikian rupa. Selamatan diadakan di sawah tempat padi dipanen. Selanjutnya di rumah, ia akan mengantar berkatan selamatan dalam bungkusan daun pisang dan janur kelapa. Selamatan methik pari ini baginya, adalah bentuk rasa syukur kepada pencipta atas rizki yang diberikan, atas panen yang telah terlaksana.
Saya tumbuh menjadi perempuan yang selalu senang mendengarkannya bercerita. Entah isi ceritanya saya amini atau tidak, namun saya cukup kagum karena nilai-nilai budaya jawa yang masih selalu ia pegang teguh. Ia bukan hanya memercayai, namun mengamalkan sekaligus menjaga kelestarian tradisi Jawa. Meskipun ia bukan nenek kandung saya, tapi saya merasa ia adalah bagian dari #SimbahkuKeren yang saya kagumi.
Mbah Tun, saya akrab menyapanya. Semoga selalu mendapat limpahan rizki dan kasih sayang. Berumur panjang. Menjaga tradisi jawa sebagai warisan leluhur.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.