Kiana terkasih, bagaimana pagi harimu dimulai sekarang?
Aku masih mengingat kala menjadi saksi sebuah harimu dimulai. Kita berdua tengah berkendara menuju sebuah pantai di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Kamu begitu mencintai pantai dan matahari terbit. Maka dari itu kita berangkat dari kota menuju pantai saat sebagian besar orang masih terpejam. Aku menyewa sebuah mobil dari tempat rental agar kita bisa lebih menikmati hari.
Ingatkah bahwa kamu berjanji untuk menemani aku? Menyetir agar aku bisa mengalahkan kantukku? Nyatanya kamu malah meneruskan tidur dan baru sadar dari mimpi saat kita hampir sampai di pantai.
Saat kita menunggui matahari datang, kamu tidak berhenti bersin. Ah, aku hanya bisa meminjamkan jaket untuk membantu menghangatkan kamu, tapi bersin itu baru berhenti kala matahari bersinar terik. Kini aku tidak lagi bisa melihatmu kelelahan karena bersin.
Kiana terkasih, adakah nomer telepon yang bisa memudahkanku untuk menghubungimu? Atau bisakah kamu beritahu alamat mana yang mesti aku tuju saat aku merindukanmu? Kenapa kamu menghukumku dengan cara menjauh seperti ini?
Andai aku bisa menukar apapun yang aku miliki saat ini untuk bisa menatapmu, akan aku berikan. Ah, beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan ibumu. Aku menanyakan alamatmu yang baru, namun beliau juga tidak tahu dimana kamu saat ini. Kemudian ibumu memberi tahu sebuah cara agar dapat menyampaikan rindu pada kamu. Cukup dengan tengadah tangan, dan Tuhan akan membantuku menyampaikan rindu-rinduku padamu.
Apa kamu sudah dapatkan rinduku, Kiana? Aku mengirim rindu-rindu itu lima kali dalam satu hari. Kini, dengan cara itulah aku mencintaimu.
Saat ada kamu di sisi, kamu perlu menyentil telingaku pelan agar aku menyegerakan bertemu Tuhan. Sekarang, aku malah begitu menanti saat-saat di mana aku bisa bersapa dengan Tuhan. Walau sehari bisa aku lakukan lima kali, seolah tidak cukup sekarang. Karena hanya dengan bertemu Tuhan, aku seolah bertemu kamu.
Kiana yang galak, dalam surat ini aku juga ingin berkisah padamu. Begitu banyak hal yang aku lalui saat kamu tidak lagi menemani. Semua berawal di suatu malam paling suram yang hingga detik ini terjadi
padaku. Ya, malam di mana kamu pergi tanpa mengucapkan kalimat pamit pada ibumu, pada teman-teman mainmu, aku, bahkan pada semesta sekalipun.
Malam itu aku bersimpuh di depan fotomu yang nampak manis mengenakan dress putih dan bertelanjang kaki. Di saat itulah kali ketigaku menangis. Pertama, saat aku lahir, kedua ialah ketika aku kehilangan kelinci kesayanganku dan ketiga, saat aku kehilanganmu. Kenapa aku menangis? Karena aku menyesali tiap kebodohan yang pernah aku bagikan bersama kamu, menyesali tak kunjung memberimu kebahagiaan, menyesali betapa tak layaknya diri ini saat bersama kamu.
Aku hampir tidak bisa berdiri kalau saja teman-teman tidak membantuku bangkit dan mengantarku pulang ke tempat kos. Aku tidak ingat berapa hari aku mengurung diri dalam kamar dan hampir tidak makan dan minum apapun kecuali air mineral dan biskuit sisa entah berapa bulan yang lalu.
Beberapa hari setelahnya, beberapa orang yang aku dan kamu kenali datang lagi ke kos, mereka menyebut diri mereka sebagai 'sahabat yang baik'. Mengharukan bukan? Mereka takut kalau-kalau aku sudah membusuk di dalam kamar kos karena bunuh diri dengan cara mengunyah obat nyamuk bakar.
Mereka memaksaku mandi dan mencukur kumis, bahkan sahabat kita yang baik itu menyuapiku lontong opor dengan paksa. Aku terharu mengingat usaha mereka membahagiakan aku, agar aku cepat melupakan kamu. Alhasil, mereka hanya bisa memaksaku mandi dan makan, tidak dengan melupakan kamu. Kamu ingat si Kriting? Dia bahkan menginap di kos selama dua malam, memastikan aku tetap makan dan mandi.
Sampai pada malam keduanya menginap di kosku, Kriting mengajakku bicara enam mata. Kenapa enam? Kamu ingatkan selain rambutnya yang keriting dan tebal, dia juga memakai kacamata yang tak kalah tebal. Jadilah kami bicara enam mata.
Aku tidak banyak bicara sementara Kriting yang dengan semangat mem-beo tentang hal-hal apa yang terlewatkan olehku di kantor. Sampai pada akhirnya Kriting mengungkit tentang kepergianmu. Kepergianmu yang begitu tiba-tiba dan mengagetkan semua orang.
Kriting mengatakan banyak hal, beberapa seperti yang dikatakan orang lain yang bersimpati padaku. Tapi ada satu wejangan Kriting yang begitu menohokku, "Bro, Kianam emang sudah menginggalkan kita semua. Meninggalkan teman-teman, keluarganya, dan ninggalin elo. Tapi, elo tetap bisa mencintai dia seperti biasa, atau bahkan lebih lagi. Jangan berpikir kalau semuanya udah terlambat. Dia masih mencintai lo dan menjadikan lo orang terakhir yang dia cintai. Pantaskan diri lo, bro. Perbaiki diri lo yang berantakan dan kacau ini. Sekalipun lo merasa terlambat buat ngebahagiain Kiana, hidup lo nggak berhenti di sini. Lo mesti bangkit. Memang nggak segampang itu buat nemuin yang sebaik Kiana, tapi bukan berarti itu mustahil, kan? Pantesin diri lo, dan lo akan menemukan Kiana yang baru dalam diri seseorang yang lain".
Awalnya aku mencibir kata-kata Kriting. Mana bisa seseorang jomblo yang masa kesendiriannya sudah selama masa jabatan presiden menasehatiku perihal patah hati. Tapi, Kriting benar.
Kehilangan kamu bukan akhir dari hidupku.
Kianaku dan akan tetap menjadi milikku. Kamu yang memahami setiap detailku. Baik burukku, ya walau memang lebih banyak buruk yang nampak. Bisakah aku bertanya padamu, kenapa kamu bersedia menemani orang bodoh sepertiku? Aku menyia-nyiakan kuliahku, melewatkan beberapa kesempatan yang dapat mengubah hidupku, bahkan menyia-nyiakan kamu yang begitu berbaik hati selalu setia di sisi. Jika tiap satu dosa akan membekas di wajah, mungkin kini wajahku telah menghitam karena tertutup dosa.
Tapi, aku telah membuktikannya padamu. Ya, memulai segala sesuatu dari awal memang tidak pernah mudah. Contohnya? Aku memulai lagi kuliahku, memperbaiki nilai D yang banyak sekali aku
dapat. Mulai bangun subuh, bertemu Tuhan, lalu bersiap ke kampus. Aku menyelesaikannya selama dua semester dan akhirnya, aku wisuda. Menyelesaikan kuliah di antara tumpukan pekerjaan kantor tidak mudah, Kiana. Tapi, aku berhasil.
Mama memelukku penuh kebanggan, papa menepuk bahuku dengan keyakinannya, teman-teman mengguyur sekujur tubuhku dengan tepung dan telur busuk. Oh ya, Ibumu juga datang di perayaan wisudaku, Kiana. Beliau memberiku sekotak kue bolu buatannya yang lezat itu. Disaat itulah aku juga yakin kamu ikut datang, melihatku dan berkata "akhirnya si bodoh ini lulus juga". Ya, aku tahu kamu datang.
Kiana yang sabar. Tidak sampai di situ saja perubahan hidupku. Setelah menyelesaikan kuliah, aku keluar dari kantorku yang lama dan membuka kantor konsultan arsitek sendiri. Seperti cita-citamu terdahulu. Aku merekrut teman-teman kita yang lebih mirip power rangers daripada seorang arsitek. Memang tidak mudah semuanya, memulai dari bawah hingga mendapatkan kepercayaan klien. Tapi, inilah aku yang sekarang. Membangun cita-citamu yang terhambat.
Ah Kiana, apa kamu dengar nafasku saat ini? Tidakkah nafasku terdengar lebih lega daripada yang dulu? Kiana, aku sudah berhenti meracuni diri dengan lintingan tembakau itu sekarang. Aku tidak lagi merokok sesuntuk apapun otakku, selelah apapun badanku, aku tidak lagi merokok. Aku cukup bangga bisa mengakhiri kebiasaan burukku yang satu ini, karena aku tahu dalam diammu dulu, kamu begitu benci melihatku merokok.
Percayakah kamu, Kiana. Aku merasakan begitu banyak keberuntungan yang sekarang menyertaiku. Apakah itu berkat kamu? Kini kamu lebih dekat dengan Tuhan, bisa saja kamu meminta bantuan-Nya agar menambahkan sedikit serbuk keberuntungan di hidupku sekarang. Tiap aku mengadu pada Tuhan, seolah aku membutuhkan seribu hari untuk mengakui dosa serta kebodohan yang dulu aku lakukan.
Jujur aku menyesali aku yang dulu, mengapa aku harus kehilangan kamu terlebih dulu lalu setelahnya aku mendapatkan kehidupan yang layak? Kenapa tak sejak lama aku memantaskan diri, agar kamu betah berlama-lama disisiku?
Ah Kiana, apa kamu menyesal telah menghabiskan sisa waktumu untuk menemani seseorang yang bodoh sepertiku? Seperti saat ini yang sedang aku lakukan, aku memantaskan diri. Sekalipun terlambat, aku tidak ingin menjadi kekasih yang bodoh seperti dulu, aku akan membaggakan kamu, membahagiakan kamu.
Ingatkah kamu dulu, Kiana? Aku dulu gemar sekali berucap padamu jika, 'aku tidak akan selamanya kacau, sayang. Tenang, aku berubah.' Aku kini berubah, tidak lagi sekacau aku yang dulu. Masih tetap menjadi aku yang pelupa, tapi aku tidak lagi pura-pura lupa akan waktu di mana aku harus bertemu Tuhan. Aku masih malas mandi seperti aku yang sudah-sudah, tetapi aku tidak lagi malas menyelesaikan kewajibanku. Kriting benar, hidupku tetaplah berjalan meski kamu tidak lagi ada.
Kiana kekasihku, Entahlah apa aku bisa mencari seseorang baru untuk menggantikan kamu. Hingga kini aku masih enggan untuk memulai sebuah hubungan yang baru seperti memulai dengan kamu dulu. Tapi, Kiana, sekalipun aku bisa menggantikan kamu dengan gadis lainnya, gadis itu patut berterimakasih padamu. Karena berkat kamu, aku menjadi aku yang sekarang. Menjadi seseorang yang pantas untuk orang lain.
Kiana matahari terbitku. Kalau hingga kelak matahari terbit dari barat dan aku tetap sendiri. Maukah engkau menjadi kekasihku lagi di kehidupan yang selanjutnya? Tenanglah, sayang. Aku sudah tidak sekacau dulu.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.