Percayalah Bahwa Kita Masih Beruntung Jika Rumah Masih Jadi Tempat untuk Pulang

Rumah tempat pulang, rumah tempat kita berteduh. Sejauh manapun kita melangkah, kemanapun kita pergi, seindah apapun pemandangan dari dalam megahnya bangunan indah terkenal, pasti pada akhirnya selalu ingin pulang. Sepertinya nggak akan berlebihan kalau dibilang nggak ada yang bisa menggantikan nyamannya rumah. Apalagi kalau dalam rumah itu ada yang bisa memberikan kehangatan.

Advertisement

Di rumah, kita bisa menemukan mereka yang menerima kita apa adanya, ada yang bisa mendengarkan cerita-cerita kita tanpa menyela, memberikan pelukan hangat ditengah dinginnya dunia, atau sekadar menemani beristirahat setelah seharian beraktivitas di luar. Setidaknya seperti itu cerita rumah pada umumnya, kata mereka yang beruntung memiliki rumah sebagai tempat pulang. Sayangnya, masih banyak diantara kita yang masih belum menemukan rumah mereka untuk pulang. Pulang dalam artian mendapatkan kenyamanan, ketenangan, dan kebahagiaan.

Beberapa dari kita pulang pada keadaan dimana rumah menjadi tempat yang lebih menyeramkan dari tempat kerja. Disambut dengan raut wajah yang tidak enak dipandang, dengan suara tinggi menggurat hati. Argumen-argumen yang telah disiapkan untuk memulai pertikaian, ingin membela diri tapi tak ada yang bersedia mendengar. Setumpuk pekerjaan rumah yang seakan mengatakan kerjaanmu saja belum cukup untuk membuatmu menderita.

Adapula yang pulang pada keheningan, tanpa suara apapun, bahkan TV saja seperti menyala tanpa suara, akhirnya membuat sunyi semakin sepi. Setumpuk beban yang menunggu untuk dijadikan bahan overthinking sebelum tidur, hanya dinding yang setia mendengar keluh kesah dan bantal menjadi saksi seberapa sering air mata mengalir deras. Inikah rumah yang katanya tempat bersandar? Apakah di rumah pun harus tetap tersiksa? Padahal sudah sangat lelah.

Advertisement

Ketika rasa itu datang, rasa ingin pulang meski di rumah, lalu harus kemana sebenarnya harus berpulang? Melangkah menjauh tak mampu, tapi diam saja menyakitkan. Sedih tapi tidak ada waktu untuk mengasihani diri sendiri. Sebenarnya dunia ini ingin menguji sejauh apa? Untuk apa?

Beberapa dari kita sayangnya masih ada yang harus merasakan semua itu. Proses pendewasaan katanya, tapi malah membuat gila rasanya. Entah kata apa yang harus diberikan untuk mereka-mereka yang masih berjuang mencari rumahnya sendiri. Karena pada kenyataannya memberikan semangat saja tidak cukup, ingin membantu tapi tak mampu. Mungkin hanya bisa mendoakan agar segera menemukan rumah tempatnya pulang.

Advertisement

Beruntungnya kita yang sudah memiliki rumah tempat berpulang. Hebatnya mereka yang masih berdiri tegak tanpa rumah tempat bersandar. Tidak apa, mungkin takdir yang Tuhan catatkan untuk kita harus seperti ini. Hanya Tuhan yang tahu akhirnya, pastinya selalu yang terbaik untuk kita.

Untuk yang sudah memiliki rumah, tapi malah mendapatkan sakit, tidak ada salahnya untuk keluar dari rumah yang selama ini kamu tempati. Sudah cukup untuk menjadi tawanan dalam rumah yang tidak mau mengakui kehadiranmu. Tidak perlu untuk memikirkan apa yang akan dikatakan orang lain, karena memang mereka tidak paham dengan apa yang kamu alami dan rasakan. Hanya kamu yang tahu rasa sakitnya, maka menyelamatkan diri sendirilah yang paling penting bagimu. Kamu hanya perlu bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Begitu pula dengan mereka, tidak ada yang perlu bertanggung jawab atas dirimu.

Ketika kita sudah terlalu jauh melangkah, ketika sudah kehilangan arah tujuan, ketika sudah tidak mampu lagi untuk lanjut dan menyerah bukan pilihan, semoga saat itu pula Tuhan akhirnya memberikan rumah terbaik untuk kita. Aku berdoa semoga kita semua bisa mendapatkannya segera.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Just a jurnal of Dina's ordinary days. Stay be yourself, love yourself, and be kind to everyone!