“Kamu lagi cari apa? Cari aku?” Dia bertanya.
Aku tersenyum geli, lalu memandangi lamat-lamat. Namun aku tak bisa mendekat. Dia kembali meneruskan.
“Kalau kamu cari aku, nanti kamu kehabisan tenagamu sebelum akhirnya bisa menyentuhku”.
Aku picingkan mata mendengar itu.
“Tenagamu tak akan cukup untuk mencari lalu menangkapku. Karena sebelum aku menyerah akan pesonamu, aku akan terus menerus berputar memandangi keindahan yang ada pada dirimu. Memahami pemikiranmu saja aku belum bisa paham, apalagi mendekati fisikmu agar bisaku pandangi. Makanya aku belum bisa menetap. Hehe”.
Lelaki satu itu, sama sekali tidak sederhana. Bukan tentang penampilan saja, tapi tentang dirinya yang aku kenal. Kalimatnya membuatku sukar membedakan antara pujian dan pertanyaan darinya, antara kritikan atau nasihat, rumit laksana kalkulus.
“Baiklah, Mr. Filsuf jadi jangan jalin komunikasi dalam bentuk apapun mulai saat ini”.
“Komunikasi apapun itu? Terhadapmu? Kamu Serius?”
“Tentu, kamu sendiri yang bilang aku bukan tipe wanita yang bisa basa-basi bukan?”
“Kamu sama saja membiarkan tumbuhan berfotosintesis tanpa sinar matahari namanya. Lama-lama mati. Tega kamu…” Intonasi khas dirinya.
“Terlalu picisan…”
“Nanti aku menyesal seumur hidup, karena tidak akan ada yang mencariku sebagai masa depannya. Mungkin ada, tapi bukan gadis se-mempesona kamu”.
“Tidak Rasional”.
“Ayolah, mari berpuisi… kamu itu penulis handal, aku penyuka tulisanmu terlebih dulu sebelum menyukai pribadimu di dunia realitas”.
“Baiklah jika mau berpuisi, karena ini akan jadi perbincangan terakhir kita”, jawabku ketus.
Aku tinggalkan perbincangan beberapa saat, kembali pada rutinitas karena sedikit merasa bosan.
“Hei. Hei”. Dia memaksa melanjutkan perbincangan.
“Aku tidak mencarimu. Sama sekali tidak. Aku sebenarnya mencari sesosok pemimpin dalam keluarga kecil impianku di masa depan. Aku tidak menyebut namamu. Aku hanya berpikir, pada saat itu kamu hampir memenuhi semua kriteria. Tapi toh buat apa? Kamu ternyata jelas tidak sevisi. Kamu tipikal pemerhati, tak lebih. Sedang aku terlalu observatif, aku butuh pendamping yang lebih reaktif. Aku benci menunggu, dan kamu menyuruhku menunggu lebih lama. Itu namanya kamu memupuk kebencianku”.
Akhirnya aku keluar dari ruang obrolan, aku tutup perbincangan, aku matikan handphoneku.
Logika dan Hati. Mereka tidak berkecamuk, hanya saja jiwaku yang sedikit bergoncang. Alih-alih menjajaki fase baru hidup, aku malah melepaskan kesempatan bertumbuh bersama sesosok lelaki hampir idaman semua perempuan. Dia tidak salah, Aku tidak keliru.
Keadaannya yang kurang meyakinkan kami satu sama lain. Dia suka picisan yang aku buat karena hidup realitaku terlalu logis. Aku benci takaran picisan yang terlalu banyak dalam hidup. Biarlah dalam fiksi saja kadar picisan yang berlebihan itu. Aku suka hal-hal logis, seperti grafik serta kurva yang ada di meja kerjanya setiap hari atau yang tampil di monitor kantornya setiap pagi, meski katanya dia sering jenuh dengan angka dan garis-garis.
“Berhenti menatap ke depan, kamu harus berhenti sesaat”. Dia memulai lagi menggunakan intonasi memerintah terhadapku. Anehnya, aku benar-benar berhenti dan menatap saja menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Jangan teruskan melangkah maju jika kamu belum bisa memaknai apa saja yang ada dibelakangmu. Sekarang saatnya, pelajari apa yang ada di sekitarmu sebelum memutuskan”. Kalimatnya sudah terdengar lebih realistis kali ini. Aku lemparkan pandanganku ke arah manapun itu di kedai kopi sebelah kantorku ini. Aku mulai mencoba memaknai. Tapi, tunggu…
“Aku sudah berlutut, menolehlah…”
“Kamu!” Aku tercekat….
Dia tersenyum mencoba menjadi sesosok manusia manis tanpa basa-basi. Ada barisan teman kantorku yang masuk rapih dengan membawa rangkaian bunga. Persisnya, 14 orang. Aku mulai meleleh karena hal romantis yang terjadi, lalu orang ke-15 pun masuk menembus barisan 14 orang itu. Dia bawa kotak kecil warna biru muda.
“Aku mau menjemputmu sekarang, untuk sama-sama ke masa depan. Agar aku bisa memandangimu tanpa sekat monitor handphone. Aku mau menjadikan kriteria lelakimu tergantikan dengan biodata diriku saja. Aku mau kamu segera mendidik anak-anak kita agar ada perbaikan peradaban untuk tanah air ini setelah kita menjelajahinya bersama, nanti selepas kamu sah menjadi Istriku. Mau?”
Aku mundur beberapa langkah dari posisiku, tapi langkahku bukan langkah ragu-ragu. Lalu aku berjalan lagi ke arah nya, maju ke arah nya. Aku atur nafasku, lalu mulai berbicara.
“Aku sudah melangkah dengan mantap sekarang, Yang aku tuju cuma kamu. Kita tau tujuan kita, bukan? Aku percayakan kamu memimpin jalanku”.
Dia berdiri, kemudian datang Ibunya dan Ibuku. Kotak kecil biru muda itu dibukakan oleh Ibunya, Dipasangkan di jariku. Ibuku membantuku menyeka air mata yang tanpa sadar aku jatuhkan sedari tadi.
Logika dan hati, kini beriringan dengan baik semenjak saat itu.
Ya, Mission Accomplished!
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
So sweettttt �
Ini keren!
Sweet
Bikin baper �
Manis banget..
So sweeeeettttt���
Ah… sudahlah… terlalu indah bahasanya…