Sebuah rahasia umum bahwa Jogja dan Solo merupakan kota berpenduduk ramah. Hal tersebut mungkin terjadi karena latar belakang historis yang membuat kedua kota tersebut dulunya merupakan satu kerajaan yang sama. Oleh karena strategi Belanda berupa politik adu domba VOC, kerjaan Mataram Islam tersebut terbagi menjadi dua melalui perjanjian Giyanti. Meski banyak kemiripan di antara keduanya, saya akan memberikan dua perbedaan kecil yang memberikan bekas cukup jelas di hati saya ketika berkunjung ke kedua kota tersebut.
Aspek pertama yang ingin saya ceritakan di sini adalah kondisi jalan raya. Ketika berkendara di jalanan kota Solo, orang-orang berkendara dengan kecepatan cenderung kecil dibandingkan dengan kota-kota besar di Jawa. Jumlah kendaraan juga terlihat cukup banyak. Kemudian, yang paling mengejutkan bagi saya adalah seberapa sering mereka membunyikan klakson. Ketika rambu lalu lintas berubah dari kuning menuju hijau, hampir tidak ada kendaraan yang membunyikan klakson mereka. Mereka juga baru benar-benar berjalan ketika lampu berubah hijau.
Selain itu, pada perempatan yang tidak memiliki rambu lalu lintas, orang-orang tampak menghentikan kendaraan secara sukarela demi orang yang ingin menyebrang. Tanpa harus ada orang yang mengatur atau jalan dari arah berlainan terlihat lebih sepi, perempatan hampir selalu lancar. Namun sayangnya, orang-orang harus lebih berhati-hati ketika pagi hari karena kendaraan kebanyakan melaju dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan jam biasanya.
Kondisi jalanan kota Jogja adalah sesuatu yang paling saya sukai dari Jogja. Kota dengan plat AB itu penuh dengan kendaraan yang melaju dengan kecepatan kecil, bahkan lebih kecil daripada kota Solo. Semua berjalan sangat lambat dan santai. Orang-orang terlihat tidak tergesa-gesa dan berkendara dengan baik. Seperti yang banyak orang tahu, Jogja merupakan destinasi wisata favorit bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ketika akhir pekan, kemacetan tidak jarang terjadi.
Namun, orang-orang tidak membunyikan klakson mereka. Dalam hal penyebrangan pada setiap perempatan tanpa rambu lalu lintas, jalanan jogja tidak memiliki perbedaan dengan Solo. Namun, satu hal yang khas adalah setelah menyebrangin jalan adalah orang yang diberi jalan tersebut pasti menganggukkan kepala seraya tersenyum. Hal tersebut adalah yang menjadi alasan saya ingin terus kembali ke Jogja.
Aspek kedua adalah sikap ramah masyarakat yang tinggal di sana. Kota Solo memiliki penduduk yang ramah dan hangat. Di tengah gencaran globalisasi dan budaya barat masuk ke Indonesia, keramahan masyarakat Solo terhitung masih terjaga. Jika Anda benar-benar ingin merasakan titik ramah terbaik masyarakat Solo, Anda bisa mengunjungi tempat-tempat wisata yang bersinggungan dengan pemukiman warga. Apabila saya bertanya mengenai suatu tempat, mereka tidak segan menjelaskan secara rinci.
Pernah terjadi suatu kejadian saat saya terjebak di sebuah gang sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Ketika terjebak dengan kondisi ban mobil yang tergesek tembok, dua orang dewasa mendatangi saya dan bertanya kemana saya akan pergi. Karena melihat kondisi gang yang semakin sempit, saya pun bertanya kemana arah menuju jalan raya untuk memarkirkan mobil saya dipinggir jalan raya. Salah satu bapak-bapak di sana menujukkan wajah panik dan mengatakan jika jalan ke depan tidak mampu dilewati mobil. Beliau pun menjelaskan arah menuju jalan raya. Tidak cukup di sana, kedua pria dewasa itu juga menuntun saya dengan sabar hingga ke jalan raya. Kehangatan yang mereka berikan tersebut sangat membekas di hati saya hingga saat ini.
Sedangkan, sikap ramah orang-orang Jogja kurang lebih sama seperti Solo. Senyuman yang tak hentinya mereka uturkan membuat saya terus merasa aman di sana. Bahasa jawa halus juga selalu mereka gunakan dengan sangat baik ketika mereka menyadari saya bisa berbahasa jawa. Ada kejadian unik yang terjadi ketika saya dengan beberapa rekan saya berkunjung di Jogja. Saat itu kami sedang mencari sebuah restoran yang kami temukan di maps.
Sesampainya di sana, saya berhenti di jalan depan resto. Tiba-tiba seorang wanita tua yang bertugas sebagai juru parkir mendatangi saya. Tanpa bertanya apapun, setelah saya menurunkan kaca mobil saya yang transparan, wanita tua itu berkata seraya tersenyum, Yang di depan, mbak. Saya yang kebingungan hanya mengiyakan ucapannya dan pindah ke resto sebelahnya. Ketika mengeceknya kembali, ternyata resto tempat saya berhenti sebelumnya adalah resto yang menyajikan masakan non-halal. Rupanya beliau menyadari itu ketika melihat kebanyakan rekan saya yang berjilbab.
Jika ditanya, mana yang lebih baik di antara kedua kota tersebut. Saya akan memilih keduanya. Kehangatan yang mereka berikan membuat hati saya terus tertarik untuk kembali lagi dan lagi.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”