Penerimaan Diri adalah Sebuah Proses yang Berlangsung Terus-menerus

Perlu diingat bahwa Tuhan tidak akan membebani hamba-Nya dengan masalah yang tidak dapat diatasi

Memasuki usia dewasa, seseorang akan dihadapkan pada berbagai hal yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi hidupnya. Hal ini bisa berkaitan dengan masa quarter life crisis, di mana pada usia 20-an fase dewasa yang datang juga diikuti oleh krisis yang menghadang. Krisis yang dimaksud meliputi berbagai perasaan yang dialami seseorang menyangkut masa depannya. Seseorang di usia 20-an biasanya merasakan kebingungan, keraguan akan kemampuan diri sendiri, insecurity, kecemasan, dan kehilangan motivasi untuk mencapai tujuan hidup. Biasanya, perasaan-perasaan tersebut dihadapkan pada seseorang yang mengalami masalah karier, finansial, dan masalah relasi.

Advertisement

Quarter life crisis bisa berlangsung dari usia-20an sampai usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mulai meniti karier dan membuat pilihan untuk masa depannya. Mungkin ada yang memilih menjadi wanita karier, ibu rumah tangga, pebisnis, atau ada yang masih berjuang dalam menemukan pekerjaan, dan bahkan ada yang masih berjuang untuk meraih gelar sarjananya. Berbagai kondisi tersebut pasti dilewati dengan kendalanya masing-masing. Setelah seseorang bisa melewati masa krisisnya, ia akan sadar bahwa masa itu akan dihadapi semua orang sesuai dengan jam tayangnya masing-masing. 

Perlu diingat bahwa Tuhan tidak akan membebani hamba-Nya dengan masalah yang tidak dapat diatasi, pula, Tuhan tidak akan memberikan kesulitan terus-menerus. Akan ada masanya, akan tiba saatnya, seseorang yang menangis akan tersenyum, seseorang yang bersedih akan bahagia, seseorang yang sedang berjuang akan menemukan titik ikhlas menerima apapun yang terjadi dalam takdir yang sedang dijalaninya.

Hal terpenting dalam menghadapi quarter life crisis adalah penerimaan diri. Saya tau itu tidak mudah, seseorang harus melewati beberapa proses terlebih dahulu untuk sampai pada titik ini. Terkadang, penerimaan diri terbaik justru hadir ketika seseorang sedang dirundung banyak masalah. Dari situ kita bisa belajar, siapa diri kita sebenarnya, apa tujuan hidup kita yang otentik tanpa embel-embel untuk membahagiakan banyak orang, dan tujuan hidup otentik tanpa tuntutan lingkungan sosial. Sekali lagi, untuk sampai pada titik ini memang perlu perjalanan batin yang panjang, karena saya tau, kecemasan yang sedang kita alami saat ini adalah hasil dari keraguan diri untuk memenuhi ekspektasi orang lain terhadap hidup kita.

Advertisement

Lantas jika seseorang sudah merasa melewati quarter life crisis, apakah penerimaan terhadap dirinya harus dicukupkan saja? Tidak. Menurut saya, proses penerimaan diri akan berlangsung terus-menerus, bahkan seumur hidup. Seseorang yang sudah dengan sadar dapat menerima keadaan dirinya, akan menjalani kehidupan dengan menerima segala kekurangan dan memaksimalkan kelebihan yang ada pada dirinya. Proses kehidupan tidak hanya terpaku pada masa dewasa saja. Ada masa lain setelah itu yang menjadi hasil dari seperti apa seseorang menerima dirinya di masa lalu. Misal, seorang kakek yang hidup sendiri di masa tuanya, istrinya sudah meninggal dan anak-anaknya telah hidup berumah tangga. Bagi orang tua yang sudah memasuki masa lansia, masa tersebut bisa menjadi masa yang penuh dengan kekosongan. Namun, jika kakek tersebut memiliki cara pandang positif terhadap dirinya sendiri, maka kehidupannya tidak akan terasa kosong sepenuhnya. Mungkin berkumpul dengan relasi pertemanan di masa muda justru membuat beliau bisa mengisi masa kekosongannya.

Contoh lain yang sangat dekat dengan kaum millenial yang baru merampungkan gelar sarjana, yaitu permasalahan mencari pekerjaan. Ketatnya persaingan di dunia kerja membuat beberapa orang dengan mudah gugur dalam proses seleksi. Tentunya tidak mudah untuk bangkit apalagi jika sudah gagal tes berkali-kali. Belum lagi jika melihat teman seperjuangannya sudah mulai bekerja di posisi yang diimpikan. Anak muda ini mulai membandingkan dirinya dengan nasib orang lain. Ia merasa cemas, merasa tidak berdaya, dan mulai merasa ragu akan kemampuan dirinya. Sampai tiba di titik dimana anak muda ini merasa perlu mengurangi standar hidupnya, ia menyadari selama ini cita-citanya hanya berdasar dari tuntutan sosial bahwa hidupnya harus sukses seperti si A, si B, si C. Ia lupa bahwa ia memiliki potensi dalam bidang lain. Seiring berjalannya waktu, ia mulai menerima kenyataan. Anak muda ini sadar bahwa sukses tidak harus menjadi sama seperti cara orang lain meraih sukses, melainkan menjadi diri sendiri untuk menjalani kehidupan sesuai alurnya.

Advertisement

Contoh lain misalnya pada seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahunan. Ia memilih menjadi seorang ibu rumah tangga karena ingin mengurus anaknya sendiri tanpa bantuan pengasuh anak. Mungkin bagi orang lain, usia 30 tahunan justru menjadi usia produktif seseorang untuk melejit di bidang karier, namun sekali lagi, pandangan orang lain kadang menjadi pematah nomer satu dalam tujuan hidup seseorang. Ibu rumah tangga ini sudah menerima konsekuensinya, ia ingin mengurus anaknya dengan waktu yang tak terbatas. Justru, ibu rumah tangga tersebut bisa lebih dekat dengan keluarga, suami, anak, dan tetangga di lingkungan sekitarnya.

Beberapa contoh diatas hanyalah tiga dari banyaknya gambaran kehidupan yang bisa kita teladani. Memang kehidupan seseorang itu tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnya. Sebenarnya, segala masalah, keterbatasan diri, akan dapat kita atasi sesuai dengan cara kita memandang diri kita sendiri. Dengan penerimaan diri yang baik, maka kita akan bisa mencintai diri kita. Maka dari itu betapa pentingnya kita belajar untuk dapat merespon dengan baik segala permasalahan dalam hidup. Tidak perlu khawatir, apa yang sudah tertakar tidak akan pernah tertukar. Janji Tuhan itu pasti.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini