Semalam sebelum tidur, aku memikirkan kembali pertanyaan dari mama. Mama menanyakan kapan aku akan menikah. Memang saat ini aku sedang menjalin sebuah hubungan dengan laki-laki yang sudah berjalan 8 tahun lamanya. Aku tidak ingin menikah hanya karena tuntutan dari keluarga maupun menikah hanya karena umur ku sudah cukup untuk menikah, tapi kalau aku pikir-pikir lagi menjalin sebuah hubungan 8 tahun lamanya tidak munafik aku juga ingin secepatnya hubungan ini melangkah ke hal yang lebih serius.
Aku mengenal baik laki-laki yang ku bersamai selama ini, dengan keluarganya pun aku sudah cukup mengenal dengan baik. Bahkan aku juga sering mendapat pertanyaan dari sanak keluarganya kapan aku dan Mas Dimas akan melangsungkan pernikahan. Aku hanya tersenyum sambil mengucapkan kalimat “doakan saja secepatnya”.
Aku sudah berusia 35 tahun, sudah sering aku mendapat sindiran dari teman, bahkan dari sanak keluarga ku sendiri. Aku tidak menyalahkan mereka, toh wajar mereka bertanya seperti itu apa lagi aku dan Mas Dimas tunggu selain mengikat sebuah hubungan ini dengan sah di depan penghulu beserta keluarga.
Orang tua Mas Dimas pernah mengunjungi keluargaku dengan mengutarakan niat baik mereka, untuk segera meminangku menjadi menantu mereka. Aku senang akhirnya yang kutunggu selama ini ada titik terangnya.
Aku mulai mencari referensi beberapa undangan pernikahan, menghitung budget yang aku kira cukup untuk sebuah pernikahan biasa. Yang penting sah dimata hukum dan agama, aku juga tidak akan mengundang banyak orang mungkin hanya kolega terdekatku saja. Dari pihak orangtua Mas Dimas juga bahkan sudah membeli beberapa kain untuk membuat seragam keluarga yang nantinya akan dikenakan keluarga besar dihari bahagia kami.
Aku pun juga mulai menanyakan kebeberapa teman dekatku untuk menyamakan baju yang akan dipakai dihari bahagia itu.
Tapi, manusia pada nyatanya hanya mampu berencana bukan?
Sampai setahun berlalu semua yang aku rencanakan itu tidak terealisasi juga. Aku tidak habis pikir bagaimana caranya aku bisa menghadapi mama, beserta keluargaku lainnya. Aku tau ada kekecewaan dibalik senyum mama yang ku lihat setiap hari, rasanya ada bagian hatiku yang ikut teriris.
Keluarga Mas Dimas juga tidak pernah membahas hal ini lagi. Aku merasa bingung dan kacau disaat yang bersamaan, ingin menanyakan langsung ke orangtua Mas Dimas rasanya aku terlalu menuntut mereka. Tapi kalau aku hanya diam saja hati dan pikiranku sendiri selalu berkecamuk.
Hubunganku dan Mas Dimas juga menjadi renggang, aku yang mulai serba sensitif dan Mas Dimas seperti biasa cuek dengan keadaan. Mungkin juga bukan sekarang saatnya untuk aku bertanya hal ini ke Mas Dimas, alih-alih mendapat kepastian yang ada kami berkelahi karena hal ini.
Aku membiarkan semuanya, seolah-olah semuanya baik-baik saja walaupun aku tau perasaan ini sedikit terluka.
***
Aku tidak tau darimana asalnya ada seorang tetangga, yang datang kerumah membawa keponakannya dengan niat keponakannya ingin mengenalku. Yoga namanya dia lebih tua dariku 2 tahun, tampan, seorang arsitek, yang jelas mempunyai masa depan yang bagus.
Yoga datang menawarkan sebuah komitmen melalui pernikahan bukan lagi sebuah hubungan bak roman picisan. Orang tua dan saudara menyerahkan semuanya kepadaku, aku tersenyum kepada tante Mas Yoga dan menjawab dengan halus “maaf tante, saya sudah mempunyai calon”.
Satu sisi aku masih memikirkan Mas Dimas, walaupun aku masih tidak terlalu yakin masih kah aku cinta dengan Mas Dimas dari semua hal yang sudah dilalui.
Tante Mas Yoga pun tidak lagi bertanya hal lainnya, beliau hanya mengangguk tersenyum. Dan Mas Yoga pun tersenyum pamit sambil mengatakan “kalau kamu nantinya berubah pikiran, mas masih nunggu kamu kok”.
***
Hari ini aku ada rencana untuk makan malam bersama keluarga Mas Dimas, dan aku berniat untuk menceritakan hal tentang Mas Yoga dan lamarannya. Aku ingin melihat reaksi orangtua Mas Dimas bagaimana kalau calon menantunya dilamar oleh orang lain.
Setelah selesai makan malam, kebetulan kami hanya makan malam dirumah orangtua Mas Dimas. Jadi setelah membantu ibu Mas Dimas membereskan peralatan makan, aku bergabung dengan papa Mas Dimas diruang tengah, kemudian aku menceritakan tentang niat baik Mas Yoga. Dan aku terkejut dengan segala reaksi yang keluar dari kedua orangtua Mas Dimas, aku memang sengaja tidak memberitahu kalau aku sudah menolak secara halus pinangan dari Mas Yoga.
Kedua orangtua Mas Dimas alih-alih membicarakan bagaimana kalau niat baik Mas Dimas setahun lalu untuk dipercepat, reaksi mereka hanya mengucapkan “ya terserah kamu kalau misalnya kamu sudah belum bisa sabar nunggu Dimas, iya kan bu”
Aku hanya diam menatap kedua orangtua Mas Dimas dengan ekspresi terkejut, bukan ini reaksi yang aku harapkan. Tapi yang keluar dari mereka adalah malah seolah-olah menyuruhku untuk menerima Mas Yoga.
Dan aku mencuri dengar sedikit pembicaran mereka dengan adik Mas Dimas, adik Mas Dimas ternyata juga mau menikah. Yang anehnya proses adik Mas Dimas ini segera dipercepat, sedangkan aku yang sudah hampir 9tahun lamanya menunggu masih belum ada kepastian.
Mas Dimas mengantarku pulang, sepanjang jalan baik aku maupun Mas Dimas hanya diam. Seolah tenggelam dalam peperangan batin dan pikiran masing-masing.
“Mas lain kali kalau nggak ada kepastian yang mau disampaikan, nggak usah datang dulu kerumah” ucapku ditengah keheningan yang ada, Mas Dimas hanya diam tidak menanggapi ucapanku, aku hanya menghela nafas panjang
“Kenapa kamu masih mau buat nunggu mas?”
“Karena bagiku mas pantas diperjuangkan dalam doa dan aku nanti selama ini” aku menjawab pertanyaan Mas Dimas tanpa memalingkan muka dari jendela, aku sibuk memperhatikan jalan
Aku kaget, aku tidak bisa mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut Mas Dimas.
“Maksud mas? Apa selama ini masih kurang pengorbananku buat nunggu mas?”
“Iya aku tau, tapi aku nggak mau kamu ataupun aku semakin sakit lagi kalau dilanjutkan lebih lama lagi. Sedangkan aku masih belum bisa ngasih kepastian”
Aku terdiam lama, mungkin ini juga jalan terbaik buat kita daripada terus-terusan terjebak dengan asa yang tidak tau kemana muaranya.
“Kalau ini permintaan mas, aku terima. Mas harus tau kalau aku sudah berpaling aku tidak akan menoleh walau sebentar, terima kasih mas untuk semua rasa jatuh cinta dan kemudian patah”
“Maaf kalau ini ujung penantian yang nggak kamu harapkan, bukan aku nggak cinta, tapi aku juga harus menyelamatkan hati kamu agar tidak jatuh terlalu jauh”
Ini mungkin akan menjadi pembicaraan kita yang terakhir, ini ujung dari penantianku selama 9 tahun.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”