Abusive relationship atau dapat disebut juga dengan kekerasan dalam hubungan berpacaran adalah suatu bentuk kekerasan ketika dua orang yang sedang menjalin hubungan asmara namun satu diantaranya memberikan perilaku yang tidak baik atau tidak sehat sehingga menimbulkan perasaan tidak aman, tidak nyaman dan bahkan perasaan terintimidasi bagi pihak korban.
Hubungan seperti ini sering menunjukkan manipulasi, perlakuan buruk, obsesi berlebihan, ketidaksetaraan, egoisme yang tinggi, dan seringkali berbohong. Hubungan yang tidak sehat dapat mengarah ke hubungan yang kasar. Hal tersebut kerap terjadi dalam hubungan berpacaran dikalangan remaja.
Di usia remaja seringkali mereka tidak menyadari meski telah menjadi korban kekerasan oleh pasangannya. Dalam kasus ini, remaja menjadi target yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Sebab di usia remaja, gairah sedang meningkat dan dapat mendorong seseorang untuk mengartikan kasih sayang ke hal yang salah. Dengan menjalani hubungan yang tidak sehat, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan dapat menimbulkan risiko fatal.
Isu terkait hal seperti ini masih kurang diperhatikan oleh masyarakat dan seringkali dianggap hal sepele. Nyatanya, di Indonesia terdapat banyak remaja yang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat dan membutuhkan bantuan dari orang lain. Kekerasan dalam berpacaran cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Bentuk kekerasan dalam berpacaran tidak hanya menyerang fisik korban, melainkan juga dapat menyerang psikis atau mental korban.
Salah satu remaja siswi SMA mengalami kekerasan dalam hubungan berpacaran dimana si pelaku memperlakukan korban dengan memaksa untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku dan memberikan ancaman kepada korban. Hal ini cenderung memperlihatkan bahwa si pelaku mempunyai rasa obsesi yang berlebihan dan mempunyai egoisme yang tinggi. Pihak korban merasa tertekan akibat dari perlakuan si pelaku dan mengalami gangguan mental yang berkelanjutan.
Pemicu utama yang menjadi kemungkinan dari penyebab pelaku melakukan tindak kekerasan umumnya adalah pelaku memiliki pengalaman berupa kekerasan di masa lampaunya. Sehingga di masa kini ia merasa ingin melampiaskan perasaan tersebut ke orang lain, yaitu kepada pasangannya sendiri. Pelaku ingin merasa dirinya lebih hebat dan lebih berkuasa dibanding pasangannya sendiri. Maka dari itu, pelaku memperlakukan korban seperti membentak, memukul, mencaci maki, bahkan melecehkan.
Dilansir dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2018 tercatat sebanyak 41% kekerasan yang menyerang fisik seperti mencakar, memukul, menendang, melempar suatu benda, menarik rambut, mendorong, dan menarik pakaian. Kekerasan fisik seperti ini tak jarang berujung kematian.
Selain kekerasan yang menyerang fisik korban, kekerasan yang dicatat adalah kekerasan seksual (31%), kekerasan psikis (15%), dan kekerasan ekonomi (13%). Kekerasan dalam bentuk verbal pun kerap terjadi seperti caci makian, ancaman, penghinaan, mengawasi pasangan terus-menerus, mengirim pesan teks berlebihan, penghinaan, hingga intimidasi. Hal ini tidak hanya terjadi pada perempuan saja. Sebagian laki-laki pun mengalami hal yang sama.
Pelaku kekerasan dalam berpacaran umumnya memiliki sosialisme yang kurang baik, sehingga ia berusaha untuk mendapatkan nilai itu dengan cara mendominasi dan mengkontrol pasangannya. Namun dengan adanya perasaan tidak aman yang dimiliki oleh pihak korban akan membentuk ulang nilai sosial yang ia miliki, sehingga korban umumnya lebih memilih untuk tetap menjadi jati dirinya.
Seringkali korban merasa takut untuk melawan pasangannya, sehingga menimbulkan perasaan tidak aman yang pada akhirnya pihak korban lebih memilih untuk bertahan dengan si pelaku. Ada pula korban yang memberanikan diri untuk melawan pasangannya.
Nirmala Ika, seorang psikolog klinis, mengatakan bahwa pelaku kekerasan dalam berpacaran tidak bisa dilihat dari luar. Namun ini bukan berarti tidak bisa dideteksi. “Biasanya pihak pelaku memiliki perasaan rendah diri atau inferior, sehingga menggunakan cara kekerasan untuk menunjukkan bahwa diri mereka itu lebih ‘hebat’ daripada pasangannya sendiri,” ujar Nirmala. Selain itu, Nirmala menambahkan “Seseorang bisa menjadi pelaku kekerasan karena kemungkinan ia pernah mengalami kekerasan yang menimpanya di masa lalu”.
Pelaku kekerasan umumnya melakukan aksinya di ruang tertutup dan mereka akan menyangkal tindakan mereka dengan cara menyalahkan korban. Sebelum melakukan kekerasan fisik, biasanya pelaku terlebih dahulu melakukan kekerasan verbal, salah satunya dengan merusak harga diri korban dan membuat korban merasa bersalah maupun rendah diri. Pelaku akan bersifat posesif kepada korban dan membuat pasangannya jauh dari lingkungan sosial seperti keluarga, teman dan kerabat terdekat.
Hal seperti ini menimbulkan perasaan kecemasan yang berlebihan bagi pihak korban. Korban akan merasa takut, tertekan dan tertekan akibat kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya. Setelah mengalami kekerasan, kemungkinan besar pihak korban mengalami trauma hingga gangguan mental. Namun, jika korban mengalami trauma, hal tersebut dapat diatasi dengan mengunjungi psikolog untuk melakukan konsultasi.
Alangkah baiknya jika kita jangan cepat memutuskan untuk berkomitmen dengan pasangan yang sekiranya tidak menghargai kita. Maka dari itu, memahami apa itu abusive relationship sangatlah penting, khususnya bagi para remaja. Kenali dan sadari perilaku pasangan apakah ia menunjukkan sikap yang tidak sepantasnya? Apakah ia menghargai kita sebagai pasangan?
Apabila kamu terjerat dalam abusive relationship, segeralah menemui orang terdekat untuk bercerita dan jangan takut untuk bertindak. Mengunjungi psikolog untuk berkonsultasi juga dapat menjadi solusimu untuk mengatasi hal ini. Jika kamu memilih untuk memendam masalah, maka kamu akan merasa semakin takut dan tidak nyaman. Apabila kekerasan dalam hubungan berpacaran terjadi, sebaiknya kamu perlu berpikir ulang untuk melanjutkan hubungan. Waspadai adanya kekerasan dalam hubungan berpacaran.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”