Banyak masyarakat—terutama anak muda—yang meresahkan keadaan diri mereka sendiri sebab tidak bisa melakukan banyak hal pada kehidupannya. Keresahan yang dialami sebagian besar orang adalah keterbatasan diri mereka dalam melakuakn suatu hal, terlebih lagi interaksi sosial dan hal-hal sosial lainnya. Kejadian demikian disebabkan oleh sifat orang-orang yang cenderung tertutup pada orang baru atau kelompok yang berada di luar lingkarnya.
Keadaan demikian lebih sering terjadi ketika orang-orang berinteraksi dengan orang lain. Keterbatasan diri itu muncul ketika individu maupun kelompok lain di luar dirinya menunjukkan prestasi, bukti empiris dan hal lain yang tidak ada pada dirinya. Dengan begitu, timbulah keinginan untuk memiliki kemampuan setara atau bahkan lebih yang tidak ada dalam dirinya.
Fenomena demikian bisa dijadikan pembelajaran tersendiri untuk mengembangkan potensi individu ataupun kelompok. Seseorang dalam tatanan masyarakat bisa melakukan observasi dan peniruan, baik untuk keseluruhan fenomena atau beberapa hal yang dianggap penting saja. Dalam proses itu, individu mengalami sebuah proses kognisi sosial atau biasa disebut sebagai pembelajaran sosial.
Kognisi sosial sendiri secara penerapannya tidak jauh berbeda dengan konsep belajar, menurut penemu teorinya, Albert Bandura, mengatakan bahwasannya kognisi sosial adalah pengembangan atas teori belajar. Perbedaanya terletak pada fenomenologi yang lebih luas dan tidak terbatas pada kelas saja (Abdullah, 2019). Namun perbedaan utama terlihat pada sumber referensi pembelajaran sosial lebih tidak terbatas seperti pada pola pembelajaran kelas dan sebagainya.
Namun perlu dipehatikan juga, bahwasannya ada banyak orang yang menerapkan konsep belajar dalam kognisi sosial namun tetap tidak mendapatkan hasil yang memadai. Dalam teori kognisi sosial sendiri dikenal yang namanya mood-congruence effects atau efek kesesuaian suasana hati. Di mana informasi ataupun fenomena yang didapat guna kognisi sosial penerimaannya cenderung dipengaruhi oleh suasana hati. Misalnya, jika mood atau perasaan cenderung buruk, maka dalam banyak fenomena sosial, individu hanya menerima sisi buruknya saja atau bahkan tidak menerima sama sekali.
Tidak hanya itu, ada sumber-sumber yang memiliki potensi besar dalam menimbulkan kesalahan kognisi sosial. Salah satunya adalah bias optimistik, yakni dalam segala fenomena sosial, misalnya ketika individu telah melakukan observasi pada kejadian sosial dan ingin meniru hal tersebut, namun karena terlalu percaya diri, implementasi peniruannya tidak berjalan maksimal. Bisa saja individu tersebut merasa sudah sesuai atau benar-benar persis dengan objek atau model yang ingin ditiru, namun realita yang ada atau dalam perspektif masyarakat, individu tersebut masih sangat jauh.
Adapula salah satu proses kognisi yang bisa menjadi indikator kesalahan kognitif sosial, yakni pemikiran kontrafaktual dan hal ini sering terjadi. Yakni sebuah pemikiran yang berlawanan dengann keadaan saat itu. Misal, individu yang selamat dari kecelakaan, mayoritas orang mengucapkan syukur dan berpikir “seandainya tadi saya jatuh……” atau kemungkinan buruk lainnya yang tidak terjadi. Pemikiran demikian berpengaruh kuat pada afeksi seseorang. Yakni kelambanan apatis, pada saat-saat seperti itu individu lebih memilih untuk tidak melakukan sesuatu dan kehilangan kesempatan untuk mendapat hasil positif. Mereka cenderung terjebak dalam pikiran sebelumnya.
Untuk terus melakukan pembelajaran sosial atau kognisi sosial, maka hal demikian perlu diperhatikan. Sebab dapat mempermudah atau mempercepat proses kognitif. Bisa juga digunakan untuk menghindari kesalahan kognisi sosial. Dengan begitu, pembelajaran sosial bisa dilakukan dengan lebih baik bagi setiap individu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”