Pembelajaran Bisa Didapat Dari Mana Saja, Bahkan Dari Benda-benda di Sekelilingmu yang Tak Kau Sadari

Mengawali hari ini, Rabu (4/8), saya panjatkan syukur sebanyak-banyaknya kepada Sang Pemberi Rezeki. Anugerah di awal pagi. Momen yang sejak kemarin dinanti-nanti akhirnya datang lagi. Sebagai seksi per-gombal-an (dalam bahasa Jawa, gombal = kain) rumah tangga, alias sehari-hari berurusan dengan kegiatan mencuci baju, apalagi yang ditunggu-tunggu selain munculnya sinar matahari?

Advertisement

Sudah tiga hari lamanya cuaca dingin dan mendung menaungi langit dusun tempat saya tinggal. Sesekali gerimis yang cukup intens berhasil membuat udara semakin dingin. Pagi hingga malam. Jemuran pakaian berjejer dan menunggu waktu kapan kiranya akan kering. Minggu hingga Selasa, cuaca mendung berhasil menambah rasa gundah gulana. Bagaimana nasib cucian saya itu? Terpantau satu lahan menganggur di belakang rumah sudah dialihfungsikan untuk menjadi lokasi jemuran dadakan. Melengkapi dua spot utama yang sudah penuh dengan cucian milik lima anggota keluarga yang masih terombang ambing tersapu angin. Teknologi pengering mesin cuci rasanya menjadi kurang maksimal karena angin yang berembus ke jemuran pakaian adalah angin basah yang membuat pakaian semakin anyep.



Semalam, saya memantau prakiraan cuaca di internet. Ada sedikit harapa karena diperkirakan jam 9 sampai 10 pagi akan sedikit cerah.  Satu jam saja… Tapi tidak apa-apa, satu jam jika panasnya pol sudah cukup kok untuk mengeringkan pakaian. Hari yang dinanti pun tiba. Ternyata, pagi tadi sinar matahari datang lebih cepat. Jam 7 lebih sudah ada tanda-tanda bahwa awan cerah akan datang. Sinar kekuningan mulai menerangi halaman dan dua lokasi utama jemuran. Saya pun bergegas memindahkan jemuran-jemuran yang harus terkena sinar matahari ke lokasi yang paling potensial.



Pada prosesi pemindahan jemuran inilah sisi keadilan saya muncul. Agar pakaian-pakaian tersebut tidak saling iri, tentunya saya mendahulukan "kloter jemuran" paling awal, yaitu yang selesai dicuci sejak hari Minggu, yang harus terlebih dulu terkena sinar matahari. Cucian yang baru selesai hari ini  harus sabar mengantre di lokasi yang sesikit tertutup. Kenapa? Kloter jemuran hari Minggu sudah terlalu lama lembab, harus segera kering agar tidak apak. 

Saya pun teringat salah satu konsep di Ilmu Akuntansi  untuk perusahaan dagang terkait metode pengelolaan persediaan barang dagang: First In, First Out (FIFO). Artinya, barang dagangan yang masuk ke gudang lebih dulu, makan barang itulah yang pertama kali dipajang atau dijual. Begitu juga dengan cucian saya. Kloter yang lebih dulu masuk ke mesin cuci, kloter itulah yang berhak untuk "dipajang" di bawah sinar matahari lebih dulu.



Meski sekadar mengatur gombal, ada rasa lega di dalam dada. Semoga antara jemuran satu dan lainnya tidak saling iri karena saya sudah menetapkan mana yang lebih priorotas (pada akhirnya semua jemuran kering hari ini, panasnya awet sampai siang sehingga jemuran bisa sama-sama bergantian menempati lokasi potensial). Memupuk sifat adil ternyata tidak selalu harus diterapkan pada hal-hal yang besar.

Advertisement

Siapa sangka saya kembali belajar untuk bersikap adil dari rutinitas harian rumahan? Sambil menata lembar demi lembar kain yang mengantre untuk dikeringkan, saya buru-buru merekam apa yang saya rasakan pagi tadi ke dalam lembar kosong di ingatan saya.

Bagi saya, hal ini menjadi sebuah pencapaian tersendiri. Berhasil bersikap adil dengan cara menentukan prioritas di lingkungan paling dekat, alias skala rumah tangga. Jika konsisten untuk diterapkan pada hal-hal lainnya juga, tentu hasilnya akan baik karena salah satu tantangan tersulit dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (atau mencapai target) adalah menentukan mana yang lebih prioritas. Melalui penetapan prioritas, kinerja akan lebih efisien dan energi bisa dikelola dengan baik. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Lahir, tumbuh, dan berkarya di kaki gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menjadi kuli aksara sejak beberapa tahun lalu dengan kegiatan utama: membaca dan menyusun rangkaian kata.