Senja bertabur penuh kebimbangan, dia terus berjalan hingga gelap menelan seluruh warnanya. Sepi, sunyi, semburatnya terkoyak oleh kesedihan. Ada yang datang menemani hanya karena kasihan melihat warnanya yang kini sudah tidak lagi merona. Ada yang menertawai karena menganggap dia menyerah padahal, dia hanya ingin berhenti sejenak hingga gelap pergi meninggalkan beribu pelajaran.
Aku tak apa, aku kuat. Aku sudah terbiasa menghilang di saat mereka bertepuk tangan dan berbahagia.
Suaranya kini bergetar, sedang menahan tangis rupanya. Dia semakin lama meringsuk menuju tepi bumi. Tidak ada yang menahannya sama seperti dia harus menjauh dari Bumi kala itu, Dia hanya ingin melihat Bumi bahagia bersama Bulan karena jika bersamanya hanya panas dan bahkan hancur terbakar.
Ingin rasanya dia menyalahkan semesta, membenci waktu bahkan, dia pernah ingin membenci kedatangan Bulan. Tetapi dia kembali sadar ini semua sudah menjadi rencana-Nya. Rencana terindah yang akan mengajarkan artinya sabar, ikhlas dan pasrah. Dia kembali menundukkan kepala dan mempersiapkan diri untuk menghilang.
Aku gemerlap pekat yang hidup hanya untuk sebuah tekad.
Dia sering mendapat hujanan cibir dari bibir yang tak pernah berpikir. Dia sering dilempari sekantong bully saat apa yang dilakukan tidak sesuai keinginan para juri. Dia sering memeluk dirinya sendiri, menghentikan air yang mengalir di pipi, menenangkan getaran benci yang meronta ingin memberi sanksi, menahan kejamnya sang malam, menahan dinginnya juang yang jauh dari orang tersayang.
Dia sering menyemangati diri sendiri kala dibandingkan dan dibedakan karena tidak menawan, karena tidak berharta, dan karena tidak bertahta. Senja hidup hanya karena sebuah tekad, bahwa esok hari setelah gelap akan datang hari yang cerah. Jadi, di hari itu dia dapat bersinar dengan indahnya. Ya, Semoga saja.
Tidak ada ketakutan yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta.
Setelah tenggelam langit pun menjadi gelap, tidak ada bahagia dan tawa. Hanya ada wajah-wajah suram yang tidak lagi kuasa melengkungkan senyum di bibir malam. Tidak ada sapa manis yang terdengar, senja telah terabaikan. Hiruk pikuk di sana tidak membuat dia kembali tersenyum yang ada malah sendu menemani hari gelapnya. Kelam sekali saat gelap sudah menggantikan dirinya.
Dia pun takut untuk kembali, dia takut akan merasakan hal yang serupa. Dia takut akan sebuah rasa benci yang mereka tunjukan saat bertemu di simpangan sebelum sore datang. Dia amat sangat takut. Meringkuklah dia kembali saat ini sujud dilakukan lebih lama dari biasanya. Pengaduannya kini lebih panjang, doanya minta dikuatkan kini semakin khusyuk.
Hingga matanya tak kuasa menahan mutiara agar tidak kembali jatuh. Tetapi, dia tidak kuasa habislah sudah rasa di dada. Debar dan getar berpadu saat kalam Ilahi mulai dilantunkan. Dia merindu saat ini, merindukan sosok istimewa yang telah lama ingin sekali dia temui. Walaupun belum pernah melihat sebelumnya tiba-tiba saja rasa cinta itu kembali menguat, lantunannya kembali merdu. Ketegarannya semakin bertambah dan ketakutannya kembali berkurang, rasa cinta dari-Nya telah mengalahkan ketakutan yang dia rasakan beberapa bulan terakhir ini.
Semangat, waktunya kembali berjalan menuju angkasa.
Setelah itu dia bertekad untuk menjadi tegar dari sebelumnya sehingga saat jatuh ntah karena dijatuhkan atau pun karena dirinya sendiri, dia akan tetap tersenyum. Dan saat semesta menjauhi dan menghakimi dia tidak akan lagi termenung. Mimpi untuk bersinar itu kembali bercahaya, pelan tapi pasti dia berhasil keluar dari pekatnya malam. Dia pun berhasil tersenyum. Di hari pertamanya dia mengangkasa hatinya tenang, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Ini semua karena kuasa-Nya.
Ketakutan, trauma, dan rasa tidak berwujud lainnya harus dilawan. Jika tidak dilawan mereka akan menertawai, mereka akan melempari dan bahkan mereka akan melukai. Sayangilah perasaan dengan memadukan logika di dalamnya.
Dia kembali tersenyum kepada seseorang di cermin itu. Ya, orang itu pantulan senja yang kini telah kembali mengangkasa tanpa perlu takut tidak memilik sesuatu yang dapat dibanggakan selain dirinya sendiri. Kini dia berusaha menjadi dirinya sendiri, kembali menikmati hobi yang sudah hampir setahun dia abaikan begitu saja. Dia kembali memungut kepingan hati yang sempat hancur dan memasukannya ke dalan cawan berisi beribu bintang. Dia berharap hatinya akan membaik dengan sendirinya jika diletakan dahulu di luar sana, dia tidak ingin menggunakan hatinya untuk menghatikan orang lain.
Dia lelah rupanya sudah dihancur leburkan oleh beberapa harap yang kerap menina-bobokan kenyataan. Dia kembali mencabuti sisa lemparan bully beberapa tahun yang lalu. Dia kembali memandang seseorang di cermin itu terlihatlah memar disekujur tubuhnya. Duri memenuhi raganya. Betapa kasihannya orang itu, tertatih berjalan dengan penuh luka yang masih menganga di beberapa tempat. dia perhatikan dengan teliti orangnya tak asing. “Itu aku! Orang itu aku!” pekiknya saat menyadari bahwa jiwa dan hatinya pernah separah itu.
Dia memeluk dirinya sendiri sembari meminta maaf, meminta maaf selama ini terlalu memaksakan hingga separah ini yang terasakan. Dia meminta maaf pernah egois memaksa agar selalu mengalah dan memahami mereka semua, dia tidak tahu kalau risikonya akan sepahit ini. Dia juga meminta maaf pernah meminta untuk tetap mencinta kepada seseorang yang sudah mematahkan harapnya begitu saja, dia tidak paham bahwa akhirnya akan sesakit ini kehilangan hati.
Kemudian dia memaafkan semua perlakuan mereka yang pernah melemparkan bully hingga masih terngiang bertahun-tahun lamanya, dia tidak mau jiwanya menjadi gelap lagi jika masih mengingat perlakuan yang tidak mengenakkan itu.
Terakhir, dia memasrahkan segala beban, derita, bahagia, tangis, kecewa, mimpi, harap dan cinta kepada Maha Pemilik Cinta. Hingga terlelap di dalam dekap Sang Ilahi Rabbi.
Mimpiku sederhana, mampu tetap di dalam pelukan cinta-Nya
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”