Mungkin beberapa dari kita masih sering menemui anggapan-anggapan yang sebenarnya menjurus ke arah patriarki semacam omongan, Perempuan ngapain sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujungnya di dapur dan mengurus anak. Ada lagi bilang anak laki-laki diajari memasak, Sudah, nggak perlu memasak, sekarang kan ada ibu yang masakin, nanti kalau dewasa lalu menikah juga ada yang masakin. Padahal perkara mengurus anak justru butuh ilmu pun perkara memasak tak ada kaitannya dengan gender, melainkan upaya untuk terus bertahan hidup, untuk mengisi perut.
Celetukan-celetukan seperti itu cukup sering saya terima saat pulang kampung, sebagai perempuan yang ke luar daerah untuk melanjutkan pendidikan bisa dibilang wareg dengan celetukan demikian. Awalnya saya juga terpancing dan kesal Ya ngapain suka-suka saya dong, ngga minta dibayarin juga, kok sewot. Dan tentunya berulang kali saya urungkan mengucap perkataan tersebut. Mengubah cara pandang seseorang akan sesuatu tentu bukan hal yang mudah semudah menelan ludah.
Pandangan demikian disebut sebagai budaya patriarki. Sebuah struktur dimana laki-laki dianggap superior, penguasa tunggal, dsb. Gampangnya perempuan dibatasi ruang geraknya. Jika ditilik ke belakang budaya ini sudah ada semenjak zaman penjajahan baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Para perempuan dilarang bersekolah terkecuali mereka yang berasal dari golongan priyayi.
Budaya patriarki ada dan mengakar secara turun-temurun, secara sadar maupun tidak berbagai kalangan baik orang tua, guru, maupun masyarakat turut berperan dalam mengakarnya budaya ini. Oke, berikut saya berikan empat contoh mengapa berbagai kalangan tersebut juga menyebabkan partriarki eksis hingga kini.
Pertama, ketua kelas harus laki-laki. Hal yang pernah saya jumpai ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, tidak peduli jika ada ambisi perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki. Perempuan dianggap tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Kabar baiknya perlakuan demikian kini mulai terhapuskan, sebagai contohnya Gubernur Jawa Timur saat ini dijabat oleh seorang wanita pun banyak pemimpin-pemimpin wanita lainnya.
Kedua, anggapan bahwasanya jadi perempuan jangan terlalu sukses, nanti akan menjadi ancaman bagi lelaki. Dibilang membuat laki-laki yang mau mendekai minder, dsb. Padahal bukankah seharusnya menjadi hal yang bagus? Ibu juga merupakan madrasah pertama sang anak, jika ibunya sukses dan berpendidikan tinggi, anak menjadi patokan sang anak untuk menggapai hal yang sama bukan ? Lagi pula jodoh tak kemana, Yoon Se Ri dan Kapten Ri Joeng Hyok dalam serial drama Crash Landing on You yang berbeda negara saja bisa bersatu.
Ketiga, laki-laki bebas menentukan jurusan kuliah yang diinginkan sedangkan perempuan tidak. Tak jarang masih terdapat stereotip jika perempuan masuk ke jurusan maskulin, dianggap lemah, kurang powerfull, dsb.
Keempat, membebankan pekerjaan domestik rumah tangga sepenuhnya pada perempuan, dan tugas laki-laki mencari uang. Perempuan dituntut bisa melakukan segala pekerjaan rumah mulai dari mengurus anak, memasak, menyapu, mencuci baju, piring, dsb. Kalau perempuan bekerja di luar rumah, dia harus tetap melakukan tugas domestik tersebut, yang kemudian dikenal sebagai istilah beban ganda.
Selain empat contoh di atas, masih banyak contoh-contoh lain yang masih terjadi di sekitar kita. Budaya patriarki akan selalu ada jika orangtua dan lingkungan selalu membedakan perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan harusnya sama, sama-sama memiliki potensi, sama-sama boleh mengeluh, menangis, dsb.
Referensi :
http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13820/6628
Buku A Feminis Manifesto karya Chimamanda Ngozi Adichie
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”