Bayangkan kamu sedang berjalan di taman dan melihat sebuah pasangan suami istri sedang duduk di bangku taman. Namun, kemudian kamu mulai mendengar suara ricuh perselisihan dan tiba-tiba si istri menampar suaminya dan kamu pun berpikir pasti ada makna tersendiri dari tamparan tersebut. Pada saat yang sama, suami itu merasa terluka secara emosional, bertanya-tanya mengapa tidak ada yang membantunya.
Sebagian besar korban laki-laki yang menderita pelecehan dalam rumah tangga jarang melaporkan kasus mereka karena banyak faktor. Beberapa di antaranya karena martabat, rasa malu, atau ketidakpercayaan mereka dari masyarakat. Masyarakat masih memiliki stigma sosial bahwa pria secara fisik jauh lebih kuat daripada wanita. Inilah awal mula munculnya standar ganda dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini diperparah juga dengan lebih maraknya korban KDRT yang berasal dari kaum wanita sehingga memunculkan persepsi bahwa pria hampir tidak mungkin menjadi korban KDRT.
Sekarang, coba kita balik situasinya. Bagaimana jika korbannya laki-laki? Bagaimana kamu bereaksi terhadapnya? Tak kalah paling penting, bagaimana reaksi masyarakat? Apakah korban laki-laki dapat memperoleh dukungan penuh dari publik, pemerintah atau keduanya? Apakah publik akan mempercayai kisahnya atau sebaliknya malah mengejek?
Menurut Personal Safety Survey (PSS) ABS oleh Organisasi Riset Nasional Australia untuk Keselamatan Wanita, diperkirakan satu dari 12 pria (694.100) melaporkan mengalami setidaknya satu insiden kekerasan oleh pasangan wanita sejak usia 15 tahun. Ini termasuk pasangan, pacar, atau teman kencan wanita. Namun sayangnya, Dr. Michael Flood, seorang sosiolog dari Universitas Wollongong mengatakan bahwa data yang diperoleh survei hanya menceritakan sebagian kecil dari cerita.
Membuat pria terlihat seperti mereka adalah satu-satunya yang berkontribusi pada tindakan kekerasan mengerikan hanya akan menjadi lebih buruk. Kita tidak bisa membiarkan wanita lepas dari kekerasan hanya karena mereka wanita. Kita harus mengubah perspektif masyarakat dari perspektif "kekerasan dalam rumah tangga hanya terjadi jika laki-laki memukul perempuan" menjadi perspektif "semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh perspektif kedua gender."
Di Indonesia pada 19 Mei 2018 terjadi kasus yang menimpa seorang suami bernama Adi Putra yang berasal dari Perum Pucangan Baru, Kartasura, Sukoharjo. Ia menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan melaporkan istrinya, RE, ke Kepolisian Daerah Sukoharjo untuk perlakuan kasar. Setelah istrinya melemparkan keranjang ke wajahnya yang menyebabkan dia cedera, Adi segera melaporkan ke Unit Perlindungan Wanita dan Anak. Setelah tidak ada pembaruan lebih lanjut, pada 11 April 2019, Kasatreskim AKP Rifeld Constantien Baba mewakili kepala polisi AKBP, Iwan Saktiadi mengatakan kasus tersebut telah didelegasikan ke tahap II ke Kantor Kejaksaan Negeri Sukoharjo. Istri Adi didakwa dengan Pasal 44 Ayat 4 UU RI No. 23 tahun 2004. Hukumannya maksimum empat bulan penjara atau denda maksimal Rp 5 000.000.
Meskipun kasus-kasus seperti ini jarang muncul ke permukaan, saya mencoba membuat survei terkait ini. 74,5% dari responden setuju bahwa standar ganda ada di Indonesia, tetapi jumlah responden yang sama juga tidak setuju bahwa pria harus memukul wanita itu kembali. Sebagian besar responden mengkonfirmasi bahwa jika pria membalas, itu hanya akan memperpanjang masalah.
Lainnya menjawab bahwa pria secara fisik lebih kuat daripada wanita dan bahwa mereka harus menyerah terhadap pasangan mereka. Ini berarti bahwa terlepas dari jumlah orang yang menyetujui dan menyadari bahwa standar ganda memang ada di Indonesia, stigma laki-laki dilarang untuk memukul balik atau ketidak percayaan dan cemoohan yang dihadapi sebagian besar korban laki-laki ketika melaporkan masih tetap ada.
Seperti psikiater dari Rumah Sakit Siloam Bogor dan penasihat @ibunda_id, Dr. Jiemi Ardian dalam cuitan mereka di Twitter, “Laki-laki enggan menceritakan perasaannya, karena takut dianggap “kurang laki laki”. Cowo ga boleh nangis, Cowo harus kuat. Apa yang bisa kita harapkan dari masyarakat yang laki lakinya tidak diijinkan merasakan emosi?”
Pernyataan tadi memberikan konfirmasi terhadap solusi dari responden survei. Mereka menyarankan bahwa standar ganda harus dihilangkan dari kasus kekerasan dalam rumah tangga, tidak peduli apa jenis kelaminnya, dan laki-laki harus diperlakukan sama dan terbuka untuk konseling untuk mendapatkan dukungan yang dibutuhkan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”