Saya pernah merasa seolah siap untuk kehilangan kamu. Seolah saya siap untuk menjalani hari tanpa kamu. Tapi lihatlah saya sekarang. Saya terlunta – lunta, berjuang setiap hari agar mampu melewati malam dengan lapang. Sesak, sesak sekali setiap mengingat pertengkaran kita. Pertengkaran yang terjadi karena kita terlampau egois untuk mengalah. Ya kita, tapi terutama saya. Saya yang terlalu gampang bertanya 'kita masih dilanjutkan atau tidak?' lalu kamu yang diam mendengar semua luapan emosi saya. Berulang kali menyuruh saya diam dulu, tapi ego saya terlanjur terluka untuk mengalah.
Maaf, menyakiti kamu untuk kesekian kali. Maaf untuk terus mempertanyakan bagaimana kita ini. Padahal, kita sudah sejauh ini, sudah mengikat kita dalam ikatan yang sah. Saya gampang merasa bahwa kamu tidak cinta saya, karena kamu yang kadang cuek luar biasa. Saya gampang meragukan cinta kamu, karena kamu yang marah dengan cara diam. Lalu memilih pergi, bukan untuk meninggalkan saya, tapi untuk menenangkan diri. Tapi saya tidak bisa bersabar untuk menunggu kamu tenang. Saya terburu-buru 'bicara' membesarkan masalah yang sebenarnya tidak sebesar itu.Â
Maaf, menuduh kamu sebagai penyebab pertengakaran kita, padahal itu saya. Saya yang gampang terluka egonya. Saya yang terlampau egois untuk menunggu amarahmu reda. Saya yang batu, menuntut kamu berbicara, padahal itu bukan kamu. Saya egois sekali ya, memaksa kamu mencintai saya dengan cara yang menurut saya ideal. Padahal, kamu adalah kamu. Kamu dengan segala caramu yang kadang sulit saya mengerti, tapi saya selalu bisa merasakan kupu-kupu terbang diperut saya setiap kali kamu mengelus kepala saya.Â
Maaf, saya belum bisa melihat kamu secara utuh. Saat saya merasa kamu salah. Seolah tidak pernah ada hal baik yang ada pada kamu. Saat saya merasa kamu salah, saya menjadi buta, seolah kamu selamanya akan seperti itu. Saya merasa kamu menuntut saya untuk tidak pernah salah. Padahal saya yang menuntut kamu untuk selalu benar dan ideal di hadapan saya.
Sejauh ini kamu sudah hebat, bertahan menghadapi saya yang batu. Kamu banyak sekali mengalah untuk kita. Kalau bukan kamu yang banyak mengalah mungkin kita tidak akan sampai sejauh ini. Tapi sayangnya, saya baru menyadarinya sekarang. Di saat mungkin pintu maaf itu sudah tertutup. Di saat kamu sudah lelah, dan menunggu waktu untuk kita sama – sama kalah. Kamu yang kalah untuk terus mengalah dan saya yang kalah untuk terus menunggu maafmu.Â
Karena pada akhirnya kamu pun menyerah pada kerasnya saya. Apalagi pada ego saya yang tidak pernah mau mengalah, ego saya yang gampang terluka. Tidak, saya tidak menyalahkan kamu. Tidak juga mengutuki diri saya sendiri yang terlambat menyadari semua kesalahan saya. Semua sudah tepat saja waktunya, sudah begini garisnya. Tidak juga merutuki Tuhan yang bukannya membuka pintu maaf darimu, tapi justru menutup kisah kita dengan pisah.
Tidak mengapa, terima kasih sudah bertahan selama ini. Terima kasih sudah mau terus berusaha menghadapi saya, dulu. Sekarang, kamu bebas, lepas. Tidak lagi dipaksa saya untuk mencintai dengan cara saya. Tidak lagi harus mendengarkan celoteh saya setiap malam. Tidak harus mengelus kepala saya hingga saya lelap. Saya pun juga pada akhirnya, harus membiasakan diri tanpa kamu. Menerima bahwa sesabar-sabarnya kamu, pergi tetap menjadi jalan akhir kisah kita. Saya harus menemukan cara agar malam-malam saya tidak dipenuhi kamu. Saya harus menyadari bahwa tiada lagi yang bisa diperbaiki dari kita.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”