Jika anda pernah ke Flores pasti kalian tahu apa itu oto bemo. Bagi saya yang orang Flores, masa kecilku tidak lepas dari peran oto bemo yang melayani penumpang antar desa dan antar kota. Oto Bemo di Flores berbeda dengan bemo angkutan legendaris Kota Jakarta yang beroda tiga itu. Bagi orang Flores bemo itu angkutan beroda empat yang lebih tepatnya disebut mikrolet. Entah siapa yang menyebut bemo kala itu, yang penting oto bemo ada di Flores.
Oto bemo setahu saya muncul pada era 90-an dan makin banyak di era 2000-an ketika jalan-jalan di Flores mulai bagus. Dengan munculnya oto bemo peran oto kol (colt diesel yang bak belakangnya dimodifikasi dari kayu) yang melayani penumpang di daerah sepanjang jalan negara mulai berkurang.
Saya ingat betul, ketika saya sambut baru (komuni pertama bagi orang Katolik) pada sekitar tahun 1996/1997 Om Ferdi dari Kalangbumbu menjadi andalan keluargaku untuk mengantar kami ke Gereja Waerana yang jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari rumah di Golingkara. Bemo Pelita Mas berwarna biru tua yang ia kemudikan waktu itu membantu orang kampung untuk mengangkut mereka ke pasar Waelengga, Aimere, Borong dan Waerana setiap hari Pasar (mingguan).
Beriringan dengan waktu, oto bemo semakin diminati oleh para pelaku bisnis di Flores. Selain mengangkut penumpang oto bemo bisa juga digunakan untuk mengangkut barang dan hewan. Berbeda dengan oto kol yang meletakkan barang dan hewan bersama dengan penumpangnya, oto bemo memiliki bagasi. Bagasi ini terletak di bubungan yang dimodifikasi sedemikian dan memiliki tangga dari besi atau pipa pada bagian belakang sebagai tempat untuk turun dan naik kondektur kala menaikkan dan menurunkan barang. Di bagasi inilah barang dan ternak diikat meskipun dibanyak kesempatan manusia (penumpang) pun ikut duduk di bagasi dan bahkan bergelantung di tangga belakang.
Karena peran oto bemo makin penting dan jalan yang mulai bagus beberapa orang mulai meniti karir bisnis angkutan penumpang dengan oto bemo. Sebutlah di kampungku ada Bapak Yeremias Anggal dengan Bemo Ritalux, Om Feri Huik dengan Bemo Boliana, Om Nius Ruba dengan Bemo Lorena dan belakangan muncul para pelaku bisnis lain yang memiliki Oto Bemo seperti Om Gusti Sarnis, Bapa Mathias, Om Sil Dequirino, Om Fian, Pak Piter Lagut, dan lainnya.
Menariknya, ketika oto bemo semakin banyak aktifitas masyarakat semakin dinamis. Berbeda dengan zaman sebelumnya orang ke gereja dan ke pasar harus berjalan berkilo-kilo meter, dengan adanya oto bemo jarak pun semakin terpangkas dan waktu kian efektif untuk beraktifitas. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat produktifitas pengolahan barang dan jasa di kampung. Hasil bumi mudah diangkut dan dijual ke pasar atau ke kota dan para petani serta pedagang memiliki akses langsung dengan para pengepul barang di kota kabupaten atau di kabupaten tetangga.
Lebih dari itu, kehadiran oto bemo memberi angin segar bagi para anak-anak muda yang selama ini bingung mencari lapangan pekerjaan di kampung. Jika sebelumnya mereka ramai-ramai bermigrasi ke Malaysia, Batam, Jakarta, Bali juga ke Papua hanya untuk menjadi sopir maka kehadiran oto bemo sedikitnya mengurangi tingkat migrasi para pencari kerja keluar dari kampung. Oto bemo memberi harapan bagi para sopir untuk tidak meniti karir ke tempat lain. Bagi yang telah menikah, oto bemo memberi secercah harapan terciptanya keluarga yang utuh bagi para istri dan anak-anak. Mereka tidak lagi cemas akan kepergian ayah mereka yang terkadang tak tahu kapan akan pulang dari negeri seberang.
Namun, di sisi lain oto bemo menghadirkan paradoks baru bagi pola pikir dan wawasan setiap anak-anak dan orang muda di kampung. Melihat oto bemo berarti melihat lapangan kerja baru. Melihat lapangan kerja baru berarti membayangkan uang. Di tengah kebutuhan pribadi dan keluarga belum lagi aneka keinginan akan “ini itu” yang juga harus dibeli, uang menjadi khayalan yang mesti direalisasikan. Maka setiap orang di kampung terutama anak-anak melihat kehadiran oto bemo sebagai ladang uang.
Jadilah setiap anak-anak menulis dibenak mereka tentang indahnya menjadi sopir oto bemo. Menjadi sopir oto bemo tidaklah sulit. Anak-anak biasanya belajar dari menjadi kondektur lalu di waktu luang sang sopir akan melatih mereka mengemudikan oto bemo. Apalagi bagi anak-anak yang memiliki relasi kekeluargaan dengan sopir atau pemilik oto bemo akan lebih mudah dan cepat bagi mereka untuk menjadi sopir oto bemo. Melihat dan mengalami betapa mudahnya menjadi sopir oto bemo anak-anak di kampung dengan mudah tergiur dan mulai meniti karir dengan menjadi kondektur atau sekedar bantu-bantu sang kondektur untuk angkat barang dengan harapan bisa dilatih (oleh sopir) bagaimana cara mengemudikan oto bemo.
Oto bemo pun seperti pisau bermata dua bagi pembentukan pola pikir dan mental orang-orang di kampung. Sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Kebutuhan akan pendidikan ditinggalkan di bangku pendidikan dasar dirampas oleh nikmatnya tawaran untuk memenuhi kebutuhan akan uang dan barang. Tidak jarang anak-anak hanya menamatkan pendidikan menengahnya saja demi menjadi seorang sopir. Tapi tak jarang pula beberapa anak lain tidak menamatkan sekolahnya (entah itu SD, SMP atau SMA) demi mengejar target untuk cepat menjadi sopir.
Menjadi sopir memang baik. Tapi alangkah lebih baik menjadi sopir yang berpendidikan. Di tengah gencarnya pembangunan terutama di bidang telekomunikasi, transportasi bahkan traveling (dunia wisata) akan ada berbagai pertukaran barang bahkan orang entah secara online maupun secara virtual. Akan ada orang dari daerah bahkan bangsa lain masuk ke daerah kita, akan muncul berbagai barang-barang baru, ide-ide baru, pola relasi dan pola pikir baru, yang membutuhkan (mau tidak mau) cara-cara elegan dan dinamis untuk menanggapinya.
Bagi sopir pada umumnya, sopir oto bemo khususnya, kemampuan berbahasa inggris misalnya tidak cukup jika tidak disertai dengan pengetahuan tentang sejarah (bangsa atau suatu daerah), pengetahuan tentang mata uang, ekonomi, bahkan juga pengetahuan tentang kuliner dan cara pengolahannya. Sudah saatnya para sopir mesti dibekali dengan pendidikan yang memadai. Pendidkan akan mencerahkan pola pikir. Dengan pola pikir yang baik mental setiap orang akan ditempa untuk semakin dinamis dan bermental futuristik. Terutama dalam pariwisata kepiawaian ini turut berpengaruh pada cepat atau lambatnya suatu daerah berkembang dan terkenal di mata dunia. Pada akhirnya orang-orang dari luar negeri tidak menganggap Indonesia itu Bali saja. Atau bagi orang Indonesia Barat Flores itu ada di Sulawesi. Flores saja sudah begitu apalagi Waerana, Paundoa, Ratelalu, Kalangbumbu, apalagi Golingkara!
Dendi Sujono
Tanah Rantau, Sumatera Barat, 2019
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”