Rindu ini semakin terbelalak. Aku duduk di kursi alunan lagu yang begitu menghanyutkan. Gelak tawa menghiasi isi kekosongan hidupku, terpancar lembut di sudut sejarah sana. Kursi yang empuk sebagai penanda sepasang sahabat yang sebentar lagi akan putus. Dinginnya ruangan membekukan hati kita berdua masing-masing pada saat itu. Tetapi entah mengapa, setiap senyummu timbul, darahku semakin melayu. Aku bertahan untuk keseribuan lukaku dibersihkan penuh oleh ketampananmu.
Aku pernah merindukanmu, aku pernah memimpikanmu. Aku pernah menyebut namamu di dalam doaku, aku pernah di dalam rumah ibadahku menyebut keadaanmu. Aku pernah menyapamu dengan hati bersukacita, aku pernah mengucapkan selamat di saat hari kebahagiaanmu hadir. Aku pernah membantu teman karibmu untuk bertukar pikiran, aku pernah mengucapkan janji persahabatan di antara kita.
Tetapi, engkau? Apakah engkau pernah tahu terakhir aku menangisimu jam berapa? Apakah engkau pernah tahu sebagian jiwa ragaku ini terpusat kepadamu? Apakah engkau tahu jam berapa aku merindukanmu? Engkau tahu seberapa mahalnya degupan jantungku ini kuhabiskan hanya memikirkan kebahagiaan kita yang dulu? Kepenatan yang telah kita sudahi? Atau secangkir teh yang bergilir dihadapan kita? Waktu itu, aku tidak pernah menyangka kita akan sehebat ini berpisah dari kelautan biru yang menyatu menjadi pandangan alam yang begitu mewah.
Kiranya aku bersusah hati. Ketika aku merasa lelah, aku berlari kepadamu. Namun, ketika engkau lelah, engkau berlari cepat ke orang lain. Mungkin saja aku yang tidak terlalu berguna, hanya sebagai tempat keluhan dasar, atau memang temanmu adalah one perfect model di mana engkau bisa melimpah ruahkan sehasrat deritamu.
Kalau Tuhan nggak akan pernah lagi mengizinkan kita untuk bertemu, lantas kita bisa berbuat apa?
Selain berbuat sedih, susah bertemu, mati-matian harapan, serta rindu yang kian menggebu-gebu? Aku percaya, doaku tetap menyertaimu disela-sela wajahmu yang bersinar. Aku tahu, kamu pasti lebih kuat tanpaku. Maafkan aku yang pernah merepoti urusanmu, disaat hal itu tidak penting untuk diperbincangkan. Maafkan aku juga yang pernah cemburu dengan kedekatanmu dan dia, seolah-olah aku sudah mengekangmu walau kita hanya sebatas teman. Hanya bertanahkan salam, sapa, senyum, dan pergi jauh dari hadapanku.
Rupaku masih sedih, tetapi engkau berani mengujar pernyataanmu dengan rasa hal yang sepele. Kamu sudah berubah. Kita sudah berubah. Sejak musim rindu berlalu, aku semakin menyadari. Betapa aku sangat membutuhkan di dalam setiap semi hatiku berjatuhan di musim planet bumi berputar.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”