“Kalau udah ada yang datang melamar itu jangan ditolak. Nanti susah lho dapat jodohnya.”
Mungkin kita udah sering banget mendengar stereotip kayak begini. Apalagi perempuan sebagai pihak yang dilamar. Stereotip sepertini jujur lama-lama suka bikin gedeg nggak sih? Bahkan kita nggak pernah tahu asalnya dari mana.
Jadi ini mitos atau fakta?
Adanya stereotip ini membuat perempuan seolah-olah nggak berdaya dan nggak punya pilihan lain, selain menerima lamaran dari laki-laki yang datang ke rumahnya. Kalau pun menolak, stereotip “menolak lamaran berarti susah dapat jodoh” ini takut jadi kenyataan. Rasa takut ternyata jauh lebih besar dibandingkan mental si perempuan yang sebenarnya belum siap untuk membina rumah tangga, dan mengemban tugas dan kewajiban sebagai seorang istri juga ibu.
Dalam hati masih banyak impian-impian yang belum tercapai, jiwa muda pun masih menggelora. Namun stereotip itu menghantui mereka, dan biasanya berujung dengan diterimanya lamaran si laki-laki. Apalagi kalau umur perempuan udah 25-an, orang tua udah mendesak nggak sabar pengin cepat punya menantu dan cucu, tambahlah si perempuan semakin tersudut.
Pernikahan yang dilandasi rasa terpaksa pada akhirnya berujung pada penyesalan. Ya, memang nggak semuanya sih, tapi kebanyakan begitu. Jadi nggak heran kalau setelah itu kita akan sering mendengar kata-kata seperti ini :
"Jangan menikah cepat-cepat ya. Nikmati dulu masa mudamu.”
“Mau ngapain nikah cepat-cepat? Kejar dulu impianmu.”
“Menikah itu berat, banyak tanggung jawab yang harus dijalani.”
“Kalau udah menikah susah mau mengejar impian, harus izin suami. Belum lagi kalau punya anak. Repot!”
Mungkin itu cuma sebagian kecil saja penyesalan yang mereka ungkapkan dalam bentuk keluhan-keluhan kecil. Secara sadar maupun nggak sadar, sebenarnya mereka nggak mau ada orang lain yang bernasib sama kayak mereka. Lebih memilih menikah karena takut stereotip itu jadi kenyataan, dan mengubur impian-impian kecil yang dulu pengin mereka wujudkan.
Sebagai salah satu kaum perempuan dan juga generasi milenials, udah saatnya kita mengubah stereotip ini. Dengan catatan, kita sadar bahwa baik lahir maupun batin kita belum siap untuk membina rumah tangga, menanggung tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Masih banyak yang pengin dilakukan sebelum menikah. Toh hidup-mati, rezeki, dan jodoh udah ada yang mengatur, trus kenapa harus takut?
Namun jangan ditelan mentah-mentah ya tulisan ini. Bukan berarti ketika ada yang datang melamar, trus dengan sombong, dan kasar menolaknya. Apalagi sampai mempermalukan si dia. Jangan! Model kayak begini nih bisa-bisa berujung dengan dendam dan sakit hati karena lamaran ditolak. Tolaklah dengan cara yang baik, sampaikan dan beri pengertian kenapa kita belum bisa menerima lamarannya.
“Ya tapi tetap aja dia sakit hati lamarannya ditolak.”
Sakit hati itu pasti. Wajar dong dia kan juga manusia normal. Tapi balik lagi, lebih baik sakitnya cuma sekali, daripada seumur hidup jadi tempat pelampiasan amarah istri karena ada bagian dalam diri yang secara psikologis belum puas mengisi waktu mudanya dengan sibuk meraih cita-cita ya kan?
Kalaupun di kemudian hari sudah siap untuk menikah, tapi jodoh belum kunjung datang, ini bukan karena pernah menolak lamaran seseorang di masa lalu ya. Barangkali Tuhan mau kita memantaskan diri dulu, belajar ilmu tentang pernikahan supaya lebih siap. Yakin aja, jodoh yang baik akan datang di waktu yang tepat kok. Lagian menikah juga bukan suatu perlombaan kan? Nggak ada tuh hadiah buat siapa yang duluan menikah.
Intinya sih menikahlah ketika kita memang sudah siap. Bukan karena stereotip yang entah darimana asalnya itu, maupun desakan keluarga. Kita adalah orang yang paling tahu kapan diri kita siap untuk menikah. Terserah orang lain mau bilang nanti jadi perawan tualah, sok jual mahal, nggak bersyukur udah ada yang datang melamar, atau apapun itu. Kan yang menjalani pernikahan adalah kita bukan mereka. Memangnya mereka mau tanggung jawab kalau pernikahan yang kita jalani ternyata nggak membuat kita bahagia? Nggak juga kan? Makanya kita harus berani untuk mengambil tanggung jawab untuk hidup kita, karena kalau kita nggak berani, maka akan ada orang lain yang mengambil tanggung jawab itu.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”