Tentang Nikah Muda dan Angan-angan yang (Ternyata) Tidak Seindah Kenyataan

Nikah muda tak seindah kenyataan

"Desember nanti, adikku yang baru lulus SMP dinikahkan, jadi harus urus pengajuan nikah dini."

Advertisement

"Aku lahir tahun 2000 kak, udah bercerai, dan punya anak satu."

"Satu tahun yang lalu, setelah lulus sekolah (SMP) saya suruh anak saya nikah. Eh sudah satu tahun kok belum juga punya anak, pantas dia belum dewasa, ya sudah cerai sajalah."

"Ya, mau gimana lagi? Sudah nasib saya, baru umur 25 tahun eh sudah dua kali menjanda."

Advertisement

"Saya yang salah, suruh mereka cepat menikah. Sekarang ya lebih baik bercerai. Masih belum dewasa pikiran suaminya, belum mampu menafkahi."

Awalnya, saya yang mendapat tugas meliput di kantor pengadilan agama guna mencari kasus-kasus perceraian tidak menyangka, ternyata kasus perceraian yang banyak terjadi berasal dari golongan Anak Baru Gede alias ABG. Dengan kelompok kaum hawa yang menduduki mayoritas penggugat utamanya. Alasan mereka minta untuk diceraikan pun beragam, tapi saya menjumpai lebih banyak karena faktor ekonomi, di mana sang suami yang sudah tidak bisa lagi menafkahi.

Advertisement

Sungguh unik. Mengingat beberapa bulan bahkan tahun yang lalu, para remaja ini dengan wajah sumringah penuh optimis menghadiri sidang pengajuan pernikahan di bawah umur. Mereka datang dengan segudang alasan, mulai dari alasan sudah cukup dewasa, sudah bekerja, sampai alasan supaya tidak berbuat zina, sudah mereka sebutkan di depan hakim. Akhirnya, izin menikah dikantongi, mereka menikah, lalu dikaruniai buah hati. Tapi apa yang terjadi kemudian? Mereka datang dengan berkas yang lain, ya, berkas pengajuan untuk berpisah (baca: cerai).

Para ABG ini agaknya belum mampu menghadapi peningkatan masalah ketika mereka memutuskan untuk menikah. Mereka kewalahan harus menghadapi mertua, kakak ipar, adik ipar, dan beberapa pihak lainnya dari kumpulan dua keluarga yang kini menjadi satu.

Bahkan kini, mereka tidak bisa lagi memanjakan diri. Mereka harus berjerih payah mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari, susu anak, popok anak, dan masih banyak kebutuhan sandang, pangan, papan lainnya. Belum lagi jika pasangan hidupnya (suami atau istrinya) mulai memunculkan sifat atau karakter asli yang selama mereka pacaran belum pernah ditunjukkan.

Misalnya, suka marah-marah, memukul, suka menggoda wanita lain, malas-malasan, dan banyak karakter asli lainnya bermunculan. Mereka mulai kaget, menyesal, dan akhirnya memilih untuk menuntaskannya di meja hijau. Ya, mereka akhirnya memilih untuk menyerah.

(Mungkin) awalnya para ABG ini hanya membayangkan hal-hal yang indah saja dalam pernikahan, mereka berpikir menikah bukan perkara yang susah. Saat mereka sudah menstruasi atau mimpi basah, itu berarti mereka merasa sudah dewasa dan sudah memiliki organ reproduksi yang matang, sehingga akhirnya punya pilihan untuk menikah.

Mereka (mungkin) berpikir bahwa pernikahan itu hanya tentang melakukan hubungan suami istri yang sah, tanpa perlu takut dilabeli berbuat mesum-asusila. Tapi ternyata pengertian ini terlalu sederhana, pernikahan bukan hanya berbicara tentang hubungan seks, lebih dari itu. Pernikahan adalah tentang memilih sesosok pendamping yang tepat dan bisa diandalkan untuk sama-sama berjuang menghadapi lika-likunya kehidupan sampai batas akhir nafas kita.

Miris, tapi semuanya ini nyata. Bahkan ketika saya tidak lagi harus meliput di pengadilan agama, dan harus berpindah dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan, kenyataan ini saya jumpai kembali. (Nyatanya) kita berada di tengah-tengah kehidupan sosial yang unik. Ada banyak sekali ABG di luar sana (utamanya di daerah pelosok-pelosok dengan tingkat kesadaran pendidikan yang rendah) yang perlu banyak tahu tentang pentingnya sebuah pernikahan. Tentang, ya, memang benar sih usia tidak menjamin kedewasaan, tapi usia itu juga penting untuk membantu mereka.

Ya, penting untuk membantu mereka memiliki pengelolaan emosi yang baik, tingkat pemecahan masalah yang dewasa, cara berpikir yang tidak sempit, mental yang matang-tangguh, sehingga akhirnya pernikahan yang ideal dan bertahan lama hingga kakek nenek, bahkan hingga maut saja yang memishakan bisa mereka miliki. Karena pernikahan itu tak sebecanda sinetron TV, pernikahan tidak hanya memerlukan kematangan secara fisik, tapi kematangan psikis-mental sangat penting juga.

Sebab (sebenarnya) kematangan secara psikis-mental ini hanya bisa didapat ketika sudah melewati jenjang usia tertentu, yaitu jenjang usia di atas usia remaja (usia yang harusnya mereka habiskan untuk menemukan jati diri dan meng-explore diri mereka dengan begitu bebas).

Yuk bantu para ABG ini dengan selalu menyuarakan bahwa hidup mereka itu masih panjang, mereka perlu menemukan jati diri mereka terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa memutuskan mencari pasangan yang bisa melengkapi mereka.

Ini bukan tugas pemerintah, guru, tokoh agama, tapi ini tugas kita semua. Siapapun orangnya, setiap kali kesempatan itu datang menyapa kita, kita harus memanfaatkannya, kita harus sebarkan pemikiran-pemikiran yang benar dan tidak sempit. Karena sudah terlalu lama generasi ini menghabiskan pilihan hidup mereka dengan sia-sia, kita harus saling sadar dan menyadarkan satu sama lain, dan bangkit menjadi generasi yang berdampak, dan tak tergoncangkan. Salam sumpah pemuda!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Shangrila.(n) ; any place of complete bliss and delight and peace→The Lost Horizon, James Hilton(England,1933)™ Passion Never Weak

Editor

Not that millennial in digital era.