Mumpung Bermimpi Masih Gratis, Bermimpilah Sebanyak yang Kamu Mau

Belahan Langit yang Sama, Bernama Indonesia

Advertisement

Jika Indonesia tengah riuh tentang pertarungan A3, Anies, Ahok, dan Agus, untuk DKI 1, ada juga yang gelisah, memperjuangkan hak minimal mereka untuk dapat mengeyam pendidikan, di tempat yang lain, ada beberapa kaum anak muda yang masih gelisah, mempertanyakan kapan mimipinya akan terwujud nyata. Soal mimpi. Ya, mimpi menjadi bahasan menarik bagi mereka yang mulai kehilangan harapan bahkan bagi mereka yang telah menghabiskan jatah gagal. Ketika di tubuh seseorang tidak lagi ada mimpi, mereka tidak akan pernah tumbuh dan berbenah lebih baik. Jika kamu punya mimpi, segerakanlah. Jangan ditunda untuk diwujudkan. Sebab, jika kamu tidak mengejar mimpimu, orang lain akan membayarnu untuk mengejar mimpi mereka.

Aku tak bisa berkata pada matahari, tolong tambahkan sinarmu. Pun aku tak bisa meminta pada hujan untuk mengurangi bulirnya, rintiknya, hingga aku bisa berlindung dari basahnya. Semua punya porsinya masing-masing. Begitu pula hidupku, perjalananku, mimpiku, dan kenyataan yang ada di hadapanku.

Aku pernah lupa punya mimpi mengajar di pedalaman dan ternyata Tuhan mengingatkan akan mimpi itu. Kini aku telah melakukannya. Aku bertemu tuang alang-alang, beberapa anak penjaga hutan, juga penjaga perbatasan yang istimewa. Di tempat ini, Alang-Alang, Keroom, Papua ada yang mengingat aku pernah menjadi seorang guru.

Advertisement

Meninggalkan Bali, meninggalkan sebuah keramahan menuju tempat yang telah disesaki mitos ketidaknyamanan. Apa Papua memang sengaja dibuat menyeramkan, agar orang-orang takut ke tempat ini, dan menemukan “mutiara hitam” yang tersimpan di alamnya? Entahlah.

Awal aku datang, aku memang ragu. Ragu untuk hidup serba terbatas. Namun, aku dikuatkan lagi oleh mimpiku jadi penulis. Seorang penulis harus “pergi” dari zona nyamannya jika ingin menghasilkan sebuah narasi yang tidak biasa.

Advertisement

Langit yang hampa, terang perlahan hilang, di antara matahari dan bulan, aku datang berayun di sudut ragu. Kutanggalkan kacamataku. Berharap pandanganku tak salah. Aku melihat lagi peta lokasi yang diberikan. Aku salah alamat? Sepertinya angin membawaku pada tempat yang tidak terlalu salah. Ilalang setinggi tubuh orang dewasa terhampar begitu luas. Gulma yang menggunung menutupi identitas sekolah ini. Bangunannya hanya 2 buah. Satu ruang kelas, satu lagi toilet.

Di depan mataku saat ini, ada beberapa barisan anak-anak yang secara sengaja dipertemukan Tuhan untukku. Mereka menagih masa depan. Anak-anak yang menagih masa depan setelah bertahun-tahun hanya dibuai janji pemilik negeri.

Seorang anak dengan mata menyalang menghampiriku. Yomis, namanya. Doa anak Tuhan memang tak pernah keliru. Yomis yang pernah bermimpi jadi guru memang benar jadi guru. Guru Belia, sebutku. Seorang anak yang sesungguhnya berada di lengkung langit yang sama bernama Indonesia., namun tetap saja dianggap beda. Apakah senja di belahan timur lebih romantis atau dramatis? Entahlah.

Yomis mengajarkan anak-anak lain, bahkan yang usianya lebih besar darinya tentang persoalan matematika. Soal yang ternyata sangat mudah dipecahkan. Sebab soal kehidupan lainnya lebih rumit dari sekadar matematika. Yomis kecewa sebab guru yang datang sesuka hati, pergi juga tiba-tiba, membawa lenyap seluruh harapan anak-anak tentang mimpi tinggi untuk bisa sekolah. Ia tak pernah menunggu lebih lama. Jika pukul 8 gurunya tidak datang, Yomis segera mengambil alih layaknya seorang guru.

Ia membuka kelas dengan doa dan nyanyian. Teman-temannya mengikuti. Ia mengajari kawan-kawannya cara berhitung, menulis, dan membaca bacaan sederhana. Ia seorang anak yang dititipkan semesta untuk menyampaikan kepada warga di daerahnya bahwa pendidikan adalah hal yang tak bisa ditunda. Yomis, ijazahmu ditandatangani Tuhan secara langsung.

Banyak tantangan dan kejenuhan yang datang satu paket bersama kebahagiaan dan kenangan. Ada anak yang datang tanpa alas kaki, ingusnya masih menetes, telinganya dikerubungi lalat, kaki penuh luka, hingga anak yang datang tanpa jari lengkap, semuanya meminta hal sama, yaitu pendidikan minimal. Apakah seorang guru bisa memilih siapa yang menjadi siswanya? Saya rasa tidak. Sebab siapapun yang datang, bagaimanapun keadaannya, harus dicerdaskan.

Di tempat ini pula aku percaya bahwa bermimpi tidak memiliki batasan. Seperti sebutku, Tidak ada mimpi yang kadaluwarsa. Soal mimpi, bukan seberapa tinggi mimpi itu, melainkan seberapa besar kamu untuk mewujudkannya. Semuanya ada dan dikemas sederhana dalam buku “Mimpi itu Gratis”. Ya…selagi bermimpi masih gratis, bermimpilah setinggi yang kamu mau. Jangan lupa pelan-pelan diwujudkan.

Hari-hariku bersama tuan alang-alang sangat istimewa. Berjalan di atas reruntuhan batu kapur, sungai yang airnya mengeruh, membelah alang-alang yang tidak sengaja melukaiku, merasakan ranya rasanya dicintai dengan benar-benar, semuanya aku nikmati disini. Tak banyak yang dapat kujanjikan pada mereka.

Indonesia sedang pincang, mari menjadi kaki-kaki yang kuat untuk kembali menopangnya di setiap sisi. Berkarya dan berjuang meraih mimpi agar generasinya tidak dianggap gagap. Indonesia, 71 tahun engkau telah merdeka. Sudah 71 tahun juga kakimu melangkah bersama kaki jutaan anak negeri. Jangan biarkan timpang. Sebab kaki kanan dan kiri harus melangkah beriringan. Jika salah satunya tertinggal jauh, tidakkah engkau akan mudah tumbang, Indonesia?

Terima kasih anak alang-alang, terima kasih masih percaya bahwa pendidikan bisa menjanjikan perubahan baik. Selamat bermimpi, Indonesia. Jangan lupa mewujudkannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini