Aku anak kedua sekaligus anak perempuan satu-satunya di keluarga. Kakak dan adikku merupakan anak laki-laki, di mana bagi sebuah keluarga berpaham patriarki hal tersebut dianggap sebagai sebuah keberkahan.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup dalam suasana berkompetisi. Bukan berkompetisi di ajang televisi, bukan. Aku terbiasa berkompetisi dengan kedua saudara laki-lakiku dalam hal apapun. Pendidikan, prestasi, manner hingga profesi.
Sejak kecil, aku sadar betul bahwasanya perlakuan yang aku terima dari keluarga amatlah berbeda dari kedua saudaraku. Ketika anak laki-laki dibiarkan bebas menentukan jalan mereka masing-masing, aku tergugu di pojokan karena seringkali ditentang. Terutama dalam hal pendidikan dan karir.
Pernah dengar kalimat, Perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi? Atau untuk apa perempuan bekerja? Toh nantinya akan berakhir di dapur juga? Itulah yang acapkali keluargaku katakan pada anak perempuan mereka.
Di saat kedua saudaraku diizinkan masuk ke sekolah swasta bergengsi, aku sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga hanya diperbolehkan bersekolah jika diterima di sekolah negeri. Ketika aku mati-matian menamatkan strata satu dan dua di universitas terbaik untuk mendapatkan sebuah pengakuan keluarga, tetap saja anak laki-laki yang menjadi kebanggaan mereka.
Sedih? Tentu saja.
Puncaknya, ketika aku memilih berkarir sebagai seorang penulis. Sebagian orang meragukan kemampuanku, sebagian lagi mulai mempertanyakan keputusanku. Untuk apa jadi penulis? Bagaimana prospek ke depannya? yang lebih menyedihkan lagi ketika muncul kalimat, Penulis tuh gak punya masa depan. Penulis itu sama saja pengangguran, tidak ada jam kerja apalagi jabatan. Apa kata orang nanti? melihat kamu hanya duduk diam di rumah, menatap layar laptop tanpa jeda?
Sedih? Oh, iya. Tentu saja.
Tapi di antara kalimat-kalimat itu, aku justru malah merasa bersyukur. Mengapa? Setidaknya mereka mulai mencemaskan masa depan anak perempuan semata wayangnya.
Di kala banyak kalimat menjatuhkan, aku terus berjuang. Di saat semua mata fokus merendahkan, mulut menertawakan, aku gagah berani terus melangkah untuk membuktikan. Kucoba mengirim artikel opini ke beberapa koran lokal hingga nasional. Menyebarkan naskah tulisan ke sana kemari. Submit artikel-artikel ringan di sejumlah media. Tapi apa daya. Aku harus merasakan yang namanya berkali-kali menerima surat elektronik (email) ‘cinta’ berisikan penolakan, berkali-kali pula pihak redaksi meminta edisi revisian. Bahkan tidak jarang artikel yang kukirimkan diabaikan tanpa adanya surat pengembalian apalagi pemberitahuan penolakan.
Wah, rasa-rasanya sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku mengalami semangat yang naik-turun. Kurang tidur bahkan menderita insomnia sudah menjadi cemilan sehari-hari. Mencungkil-cungkil pikiran dan imajinasi demi mendapatkan ide segar. Semua kulakukan hanya untuk merebut sebuah pengakuan, bahwa seorang anak perempuan juga pantas dibanggakan.
Sekarang apa yang aku hasilkan? Banyak, tentunya. Sejumlah artikelku dimuat di berbagai media milenial, Hipwee salah satunya. Jumlah viewers dan sharing artikel meningkat tajam, dan itu merupakan sebuah kebanggaan. Artikel-artikel opini yang sudah tidak terhitung berapa kali mengalami penolakan, akhirnya ada yang berkesempatan tayang di salah satu koran besar nasional. Sungguh, tidak ada usaha yang mengkhianati hasil.
Apa aku cukup puas dengan pencapaian ini? Sebenarnya belum. Masih banyak mimpi yang ingin kukejar, terutama di dunia kepenulisan. Dan, akupun akan terus berusaha meruntuhkan tembok patriarki meski kutahu betapa sulit dan susahnya menembus tembok tersebut.
Namun, untuk saat ini, setidaknya aku sudah membuktikan sekuat yang aku bisa bahwasanya aku sebagai anak muda tidak menyerah begitu saja pada mimpi-mimpiku dan akan terus berkarya meski sekalipun aku seorang anak perempuan yang tumbuh besar di tengah keluarga yang memegang erat patriarki itu.
Kalian pun juga bisa, lho. Tunggu apalagi? Yuk, sebagai anak muda, kita bersama-sama menghasilkan karya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”