Weny hampir menginjak usia tiga puluhan saat ia kembali mengingat sosok bernama Malih, entah bagaimana mulanya dan apa sebabnya sampai narasi ini selesai di tulis perempuan itu masih bingung dan tak menemukan jawabannya, mungkin akibat statusnya yang masih pengangguran padahal sudah lebih dari setengah abad hidup membuatnya memiliki penuh waktu luang di hati dan pikiran. Memikirkan hal yang tak perlu untuk di pikirkan sering sekali menjadi momok bagi seseorang yang masih berpredikat pengangguran seperti Weny, pikirannya berkelana tinggi sekali, sering ia memikirkan nasib keluarganya yang memiliki anak sepertinya, nasibnya di hari esok, kegagalannya yang terjadi setiap hari dan lain sebagainya membuatnya malah mendramatisir hidup lagi dan lagi.
Perempuan itu mulai mengatur nafasnya dan mencoba memperbaiki pikiran dari aura negatif yang ia ciptakan sendiri, mencoba tenang dan mulai mengingat hal-hal bahagia yang pernah terjadi di masa-masa lalu, terapi yang ia ciptakan untuk mengusir perasaan buruk yang datang hampir setiap hari.  Weny mulai membayangkan suasana kosnya yang nyaman dulu, kakak-kakak kos yang berbagi kamar dengannya, buku kesayangannya yang ia dapat sebagai hadiah sidang, les sore kesukaannya hingga dosen penguji yang pada akhirnya ia kagumi setengah mati, mengingat hal-hal itu membuat Weny menjadi sedikit lebih rileks. Hingga akhirnya, gadis itu berhenti pada memori sosok Malih, ya Malih…
Malih adalah teman kuliahnya di semester awal dulu, Weny tidak dekat dengannya, interaksi mereka tak seberapa, bagi perempuan berkucir kuda itu Malih adalah teman seangkatannya yang cerdas. Lalu memori tentang kecerdasan Malih beralih menjadi memori ketengilan dirinya, Weny selalu merasa kesal setiap kali Malih menjadi cerewet dan suka menganggu, entah mencontek kertas jawaban tugas yang harus di kumpul, tiba-tiba duduk disebelahnya dan mengoceh banyak hal, perjalanan pulang ke kos yang juga selalu diselingi komentar Malih, terkadang ia juga sering kesal melihat Malih, bocah berkulit coklat itu memiliki otak yang cerdas namun malas, saat dirinya harus selalu mengulang materi audition prononciation yang menjadi mata kuliah tersulit di semester itu, Malih malah menjadi bintang di mata dosen karena dengan mudah menangkap pembelajaran dengan benar, menjawab soal-soal dengan benar dan melafalkan setiap konsonan dengan sempurna.
Expression Orale I adalah mata kuliah yang mengenalkan Weny Pada Malih, saat itu dosen menayangkan video percakapan berupa perkenalan diri dalam bahasa prancis antara dua orang dan menyuruh mahasiswanya untuk membuat dialog yang serupa namun poin-poin yang merupakan identitas diri wajib diganti sesuai dengan diri sendiri. Malih adalah mahasiswa pertama yang ditunjuk untuk praktek di kelas dan ia diberikan kebebasan untuk memilih teman untuk berdialog dengannya. Namun sebelum ia memilih, ia malah bertanya pada dosen terlebih dahulu "kalau misalnya dia engga mau gimana, Madame?"
" Engga boleh seperti itu, namanya belajar ya harus mau, jadi mau sama siapa? " jawab madame dengan suara tegas. Saat itu Malih tak menjawab ia hanya mengarahkan telunjuknya pada Weny dan dialog mereka pertama kali dimulai saat itu. Weny ingat setelah dialog pertama mereka saat itu, Malih yang cerdas berubah menjadi malih yang tengil dan suka mengoceh di mata Weny.
Ia juga ingat di sore hari itu, di jalan kecil samping kantin saat Weny, Malih dan beberapa temannya berbondong-bondong jalan menuju gerbang kampus tanpa diduga Malik menyeletuk dengan santainya "Weny, kau mau ku lamar?" saat itu dengan cepat perempuan itu menjawab "engga dengar aku, aku ngga dengar kau ngomong apa"Â padahal perempuan itu mendengarnya dengan jelas dan memilih untuk tak berkomentar apa pun lagi, Weny pikir lelucon itu akan berakhir sampai disitu tapi teman mereka malah menambahi "Mau lamar pakai apa? Pakai jeruk?" setelah itu hanya suara tawa teman-teman mereka yang terdengar sepanjang jalan kecil itu.
Memasuki hari-hari selanjutnya berkuliah seperti biasa, ocehan malik yang tetap mengudara dan minggu-minggu ujian semester pertama yang mereka lalui seperti pada mahasiswa umumnya membuat semester pertama mereka terasa ringan dan cepat berlalu, namun Weny ingat di bulan desember entah di tanggal berapa waktu ia mengecek hp di pagi hari terdapat dua panggilan tak terjawab dari Malih pukul 2 dini hari, Weny ingat, saat itu ia hanya mengerutkan dahi dan membiarkannya begitu saja karena baginya hanya orang iseng kurang kerjaan yang menelepon di jam-jam tinggi seperti itu. Dan bagi Weny kata iseng selalu melekat pada Malih.
Lalu kabar itu datang di bulan februari di hari awal semester dua saat Weny berjalan di selasar gedung B bersama teman-temannya, ia mendengar bahwa Malih telah mengundurkan diri dari kampus dan pergi ke luar kota, Yogyakarta, tanpa bertanya lebih lanjut perempuan itu melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun beberapa hari setelah mendengar kabar itu selama 4 hari berturut-turut Malih selalu datang dalam mimpi perempuan itu, hari pertama saat Malih datang ke mimpinya Weny masih bersikap biasa-biasa saja, toh sangat normal jika kita memimpikan orang lain pikir Weny, tapi saat ia memimpikan Malih hingga 4 hari berturut-turut ia mulai merasa tidak nyaman namun Weny tetaplah Weny, ia enggan perduli.
Awal tahun ini di bulan Januari entah apa yang membuat Weny kembali teringat pada sosok Malih, tiba-tiba saja memori itu berputar dari satu adegan ke adegan lain dan membentuk satu kesadaran dalam pikiran Weny bahwa dulu mungkin saja Malih menyukainya tapi untuk apa ia mengetahui hal ini? Dan kenapa ia bisa menyimpulkan begitu? Kenapa pula ia memikirkan ini terus-menerus? Weny terus bermonolog dalam pikirannya bahwa sewindu lebih berlalu dan ia baru menyadarinya sekarang, kesadaran ini sedikit mengusiknya dan sepenuhnya bertanya-tanya untuk apa semua ingatan tentangnya dan Malih muncul kembali? Apakah bumi ini bermaksud menyadarkannya? Tapi untuk apa toh semua itu sudah berlalu. Tanpa menunda waktu ia mulai stalking akun Malih di sosial media, Malih menjadi sangat tinggi hampir seperti tiang listrik, wajahnya yang dulu penuh aura ketengilan kini mulai berubah menjadi sedikit dewasa, ia masih sekurus dulu, rambutnya menjadi gondrong, Â ia terlihat sehat dan baik-baik saja.
Cukup sampai disini pikir Weny, tanpa membuang waktu ia mulai menyusun kata perkata-kata yang mengganggu di kepalanya, ia mulai menulis segelintir kisahnya dan Malih, entah untuk apa dan entah bagaimana bisa Weny mengabadikan Malih dalam tulisannya. Entahlah Weny tak punya jawaban untuk seluruh monolog dari dirinya sendiri.
Â
Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”