Ketika kita mendengar kata kekerasan, maka biasanya yang akan muncul di otak kita adalah sebuah tindakan yang menyakiti dan melukai secara fisik. Padahal jika kita lihat secara luas, kekerasan itu tidak hanya bisa menyerang fisik saja. Tetapi juga bisa menghantam psikis seseorang. Salah satunya adalah kekerasan secara verbal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, verbal diartikan sebagai: secara lisan (bukan tertulis). Jadi, kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan secara lisan atau dengan ucapan. Kekerasan verbal ini bisa menimpa siapa saja dalam bentuk bullying dan perkataan yang menjurus pada pelecehan seksual, khususnya pada perempuan.
Sebenarnya kekerasan verbal ini tidak hanya bisa menimpa kepada perempuan tetapi bisa kepada laki-laki juga. Namun penulis ingin fokus membahas kekerasan verbal ini dari sudut pandang perempuan.
Perempuan diciptakan oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Perempuan memiliki fase menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, memiliki (maaf) payudara yang berfungsi untuk memberikan asupan ASI kepada anaknya kelak, yang itu semua tidak akan pernah dirasakan oleh laki-laki. Karena keistimewaannya tersebut, perempuan seringkali dijadikan objek kekerasan verbal sampai kekerasan seksual.
Mirisnya di zaman yang serba modern ini, kekerasan verbal bertransformasi pada ketikan jari di media sosial. Kini orang tidak perlu melecehkan seseorang lewat kata-kata yang bisa terdengar oleh telinga. Dengan kekuatan jari pun orang sudah dengan bebasnya bisa mem-bully siapa pun sesuai kehendak hatinya. Dan kalau dulu kita selalu beranggapan bahwa laki-laki yang menjadi peran utama dalam kekerasan verbal ini, nyatanya sesama perempuan pun kini bisa saling melecehkan. Miris, bukan?
Contoh kekerasan verbal yang menjurus ke arah seksual ini misalnya: mengejek salah satu bagian tubuh milik perempuan (bahkan kadang bagian tubuh yang sensitif), merendahkan martabat perempuan karena status pernikahannya, memberi siulan, dan memberi komentar yang tidak senonoh berbau seksual di media sosial. Â
Penulis ingin mengambil salah satu pengalaman saat melihat sebuah video di aplikasi TikTok. Dimana isi video itu adalah seorang perempuan yang sedang memberikan konten edukasi. Jika dilihat secara fisik, perempuan ini nampak seperti perempuan yang masih berusia 20 tahunan dan terlihat sangat cantik. Padahal kenyataannya, perempuan ini sudah berusia nyaris 50 tahun. Dan dilihat dari komentar video tersebut, para followers-nya banyak yang memuji kecantikan perempuan tersebut meski pun usianya hampir setengah abad.
Tapi ketika penulis men-scroll lebih jauh kolom komentar, disitu penulis menemukan beberapa komentar yang justru bernada seksual yang tidak berhubungan dengan isi video tersebut. Komentar-komentar tersebut misalnya menanyakan tentang status pernikahan si perempuan tersebut, mengomentari bentuk tubuhnya sampai menjurus ke arah seksual, bahkan sampai mengeluarkan kata-kata yang (maaf) vulgar.
Why? Kenapa sebegitu mudahnya merendahkan perempuan yang sama sekali tidak pernah memancing untuk dikomentari demikian? Apakah zaman sekarang perempuan yang sudah menggunakan pakaian tertutup pun sudah tidak aman dari kekerasan verbal? Apakah hal yang dulu dianggap tabu dan penghinaan sekarang justru menjadi sebuah kebiasaan?
Kemajuan dan kemudahan interaksi dalam media sosial seharusnya diiringi dengan kemajuan berpikir pula. Jangan sampai jari kita justru lebih cepat bereaksi dari pada otak kita. Kebanyakan pelaku tidak menyadari bahwa komentar mereka di media sosial akan berdampak pada diri korban. Mungkin bagi pelaku ini terlihat sepele, tapi tidak bagi korban.
Mari kita jaga ucapan kita dan ketikan kita dari berkomentar yang negatif baik kepada orang yang kita kenal atau pun tidak. Karena ucapan dan ketikan kita adalah cerminan diri kita yang sebenarnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”