Aku mungkin adalah satu dari sekian banyak jiwa yang juga merasa amat nelangsa sebab Ramadan kali ini sungguh amat menyesakkan dada. Tak ada hingar bingar anak-anak kecil hingga remaja membangunkan sahur pada pukul 3 pagi setiap hari. Euforia ngabuburit menunggu waktu berbuka puasa dengan jajan takjil bersama teman-teman lalu mengabadikan momennya lewat Instastory atau platform sosial media lain sehingga tak terasa azan maghrib pun berkumandang karena kita sibuk bercengkerama tentang apa saja. Kebersamaan ketika berjalan menuju masjid untuk menunaikan ibadah shalat tarawih dan bertemu dengan tetangga yang jarang berjumpa sebab kesibukan masing-masing.
Kini, semua itu tidak dapat terlaksana. Sedih? Tentu. Seluruh umat muslim di berbagai belahan dunia merasakan duka serupa. Ramadan kali ini dihadapkan pada ketiadaan. Sebab virus mematikan sedang menyebar, dan menyerang siapa saja yang tak patuh pada setiap kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah para pengemban tugas.
Aturan social distancing, physical distancing, diwajibkan dengan tujuan memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19. Tak boleh berkerumun, tak boleh bergerombol, tak boleh terlihat sedang bersama-sama lebih dari 5-10 orang dalam satu tempat yang sama karena tidak diketahui apakah satu tubuh sedang dihinggapi virus tersebut atau tidak. Sebab OTG (Orang Tanpa Gejala) saat ini jauh lebih ditakuti dibanding mantan yang tiba-tiba muncul setelah kita sudah bahagia dengan orang baru yang akhirnya hadir mengisi hari-hari.
Kerelaan untuk menerima setiap kebijakan yang dicanangkan kini menjadi wajib bagi setiap awam. Semua harus patuh, semua harus menaati aturan, semua harus mengikuti anjuran. Harus selalu #DiRumahAja. Akibatnya, tidak ada kerumunan muda-mudi membangunkan sahur, tidak ada gerombolan anak-anak hingga orang dewasa saling membagikan takjil serta berjualan kudapan untuk persiapan berbuka puasa. Jalanan sepi, tempat ibadah kosong, sebab bahkan ibadah pun kini harus dilaksanakan di rumah agar tidak tertular dan menularkan.
Lalu aku? Dadaku tentu sesak. Hatiku tentu patah. Larangan mudik membuatku tak mampu bertemu keluarga tercinta di pulau sebrang sana. Bukan harus membatalkan tiket keberangkatan yang membuatku lara sejadi-jadinya, namun aku benar-benar harus melaluinya seorang diri disini. Tanpa sanak, saudara, tanpa kerabat. Apalagi agamaku termasuk minoritas di pulau ini. Sudah tak banyak masjid, tak ada takjilan, tak ada ngabuburit, lalu tak boleh melaksanakan salat Idul Fitri pula yang notabene hanya dilaksanakan setahun sekali.
Ya Tuhan. Hamba mohon kuatkan.
Aku nelangsa. Tapi aku berusaha sekuat hati untuk tidak menyerah pada keadaan. Sebab tak ada lagi yang bisa dilakukan pada keadaan serba gawat seperti saat ini selain mengikuti kebijakan yang berlaku. Aku berusaha yakin bahwa setiap kejadian yang terjadi di muka bumi ini sudah dituliskan Tuhan bahkan sekian juta tahun sebelum kita lahir. Segalanya sudah diatur. Akan selalu ada hal baik bernama hikmah yang bisa dipetik dari semua kejadian baik itu luka, lara yang menghabiskan air mata.
Sebagaimana Dia telah berjanji pada QS Al-Insyirah ayat 5 yang artinya “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. Dia yang sudah membuat janji. Bagimana mungkin Dia tidak menepati janji?"
Tetap kuat. Aku dan bumiku. Segalanya akan segera membaik hanya jika kita patuh dan tidak bandel.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”