Aku anak perempuan yang dilahirkan di Jawa Tengah 18 tahun yang lalu oleh wanita hebat yang kusebut ma’e (baca : mak e). Sejak dulu, mae selalu bercerita bahwa aku anak yang manja. Mungkin karena aku anak terakhir, meskipun itu tak bisa dijadikan alasan. Segala keinginanku harus selalu ada, harus selalu terwujud. Aku tak pernah mau tau bagaimana keadaan orangtuaku. Saat usiaku menginjak 5 tahun, ayahku, atau aku lebih senang memanggilnya pa’e (baca : pak e) memutuskan untuk bekerja di luar negeri demi memenuhi kebutuhan keluarga kami.
Sedangkan ma’e di rumah mengurus aku yang masih kecil dan seorang kakak perempuanku. Kadang, jika harus pergi ke tempat yang cukup jauh dan tidak ada angkutan umum, biasanya ma’e menggendongku di depan yang kakakku membonceng di belakang. Pernah, kami bertiga berteduh cukup lama karena hujan dimalam hari, hanya karena malam-malam aku minta dibuatkan susu yang waktu itu persediaan dirumah sedang habis. Ma’e selalu berusaha menuruti semua keinginanku bagaimanapun keadaannya.
Ketika usiaku bertambah, kenakalanku juga semakin meningkat. Aku semakin sering merepotkan kedua orang tuaku. Aku jadi anak yang susah jika disuruh bersekolah. Aku juga jadi anak yang boros. Nakalku terus saja bertambah, terlebih ketika Pa’e memutuskan untuk kembali ke Indonesia karena kasian terhadap Ma’e yang mengurus aku dan kakakku sendirian. Manjaku semakin tak karuan. Apapun keinginanku harus segera dituruti.
Aku menyelesaikan sekolah dasarku di usia 12 tahun. Ma’e berencana mendaftarkanku ke SMP Negeri yang waktu itu bebas biaya bulanan. Bukan, ini sama sekali bukan karna orang tuaku perhitungan terhadap materi. Hanya saja, waktu itu, keuangan keluarga kami memang sedang dalam kondisi yang sangat tidak baik.
Tapi entah mengapa, saat menjelang ujian nasional aku sama sekali tidak niat belajar. Akhirnya nilai ujianku jelek dan aku tidak bisa masuk ke sekolah yang diharapkan orang tuaku. Kemudian aku mendaftar di SMP swasta. Aku mengikuti tesnya, dan aku diterima. Meski dengan biaya yang waktu itu tidak murah, orang tuaku tetap menyekolahkan aku meskipun Pa’e harus kembali merantau. Beliau memilih untuk bekerja di Kalimantan.
Ketika aku sudah SMP aku tak juga menyudahi kenakalanku. Justru malah bertambah. Aku sama sekali tidak menyalahkan keadaan, tapi mungkin ini juga pengaruh dari teman teman baruku. Beberapa kali aku pulang terlambat kerumah karna main, uang sekolah juga beberapa kali ku pakai untuk jajan dengan teman-temanku, dan kerap kali aku melanggar peraturan sekolah sehingga Ibu harus dipanggil ke sekolah. Dan kenakalan-kenakalan lainnya.
Dari kelas 1 sampai kelas 3 SMP aku lalui dengan jalan yang benar-benar tidak mulus. Jalan yang kubuat sendiri. Tapi akhirnya aku bisa lulus dengan nilai yang tidak begitu jauh dari yang aku dan orang tuaku inginkan. Setidaknya di akhir SMPku aku tak begitu mengecewakan mereka, meski di perjalanan kerap kali aku menambah beban pikiran mereka.
Lulus dari SMP, aku ingin sekali melanjutkan ke SMK yang termasuk SMK favorit di daerahku. SMK swasta dengan biaya yang pasti tidak murah. Sebelumnya aku memang pernah membicarakan ini ke Ma’e. Perihal kemana aku ingin melanjutkan sekolah. Ma’e sebenarnya mendukung, hanya saja Ma’e khawatir jika nanti aku tidak bisa menyelesaikan sekolahku karena biaya. Maklum saja, di sekolah ini segalanya harus tertib. Termasuk urusan administrasi. Harus dibayarkan tepat waktu. Akhirnya mereka tidak memberi izin aku untuk membeli formulir pendaftaran di sekolah ini.
Dengan diam diam, akhirnya aku membeli formulir pendaftaran. Sesampainya di rumah, akhirnya Ma’e mau menanda tangani formulir tersebut. Sampai akhirnya waktunya tes dan wawancara bersama dengan orangtua.
Aku sudah diterima di sekolah ini. Saat wawancara pun tiba. Aku sedikit khawatir Ma’e akan mengurungkan niatnya untuk menyekolahkanku di sini jika sudah dengar biaya yang harus dibayarkan. Waktu itu, aku ingin masuk ke jurusan Teknik Otomotif. Meskipun aku perempuan, aku ingin saja belajar tentang mekanik. Ternyata, di jurusan itu, biayanya sangat jauh berbeda dengan jurusan Teknik Furniture. Meski aku tadinya tidak ingin pindah jurusan,. Tapi karena Ma’e mengatakan “jurusan iki rapopo to, sik penting keturutan le sekolah ning kene” artinya : jurusan ini nggak papa kan, yang penting kan kamu sekolah disini. Aku tetap ngeyel dan sampai menangis karena egoisnya aku. Lalu pada akhirnya, aku menurut keinginan Ma’e.
Aku memang bersikukuh ingin sekolah disini , karena sekolah ini terkenal sebagai sekolah dengan lulusan yang paling cepat mendapatkan pekerjaan. Aku berharap, ketika aku lulus nanti, aku akan segera mendapat pekerjaan. Dan ya, doaku serta doa orang tuaku lah yang akhirnya membuat aku mendapat pekerjaan dengan cepat.
Aku di terima di sebuah perusahaan yang berada di Tangerang. Yang membuatku akhirnya harus merantau. Awalnya keinginanku ini tidak diijinkan oleh Ma’e, karena menurut beliau mungkin aku belum dewasa. Aku belum bisa mengatur diriku sendiri. Sampai pernah kami bertengkar hanya karena aku memaksa ingin merantau.
Meski akhirnya Ma’e mengiyakan keputusanku, kini aku mengerti hal yang memberatkannya ketika melepasku. Rindu Ibu ketika kita di perantauan itu sakit. Apalagi rindu saat kita sakit di perantauan. Akan semakin terasa sakit. Untuk ibu-ibu di luar sana yang saat ini belum mengijinkan anaknya untuk merantau, kami mengerti maksud kalian, kalian takut kami tidak bisa menjaga diri. Tapi percayalah, merantau membuat kami sadar, kemana kami harus pulang.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”