Belajar dari Kisah Nyata: Merantau Tak Cukup Modal Nekat Saja. Jelas Butuh Kesiapan!

merantau tak cukup modal nekat

Minggu pagi (29/12/19) Jogja, selepas salat subuh aku disapa oleh salah satu jamaah di masjid itu di tengah jalan menuju kontrakan. Bukan hanya itu, kami akhirnya berkenalan dan berbincang-bincang di pagi hari buta tersebut. Lalu apa yang kami bincangkan itu?

Advertisement

Hari ini sedikit aneh, sudah seminggu semenjak aku di jogja rasanya aku belum pernah disapa seseorang. Tentu karena aku orang asing di sini, dilihat dari manapun wajahku tidak mirip dengan orang lokal. Paling-paling aku sendiri yang mulai menyapa seseorang di sini, mengajak berkenalan dan sebagainya. Tapi hari ini aku benar-benar disapa oleh orang yang wajahnya menurutku bukan asli orang sini juga.

Sebut saja namanya Ujang, beliau sendiri bercerita bahwa ia berasal dari Kota Kembang. Di sini ia tinggal sendiri. Ia tinggal di musala dekat sini. Aku heran mengapa wajah orang ini berat dan tatapan matanya redup, padahal dari segi perawakan orang ini sangar.

Aku mencoba memahaminya dan terbuka dengan beliau. Pagi buta pun pecah, beliau hampir menangis, matanya berkaca-kaca seperti menanggung rasa sedih dan putus asa yang luar mendalam.

Advertisement

Dan.. tanpa banyak berbasa-basi ia benar-benar membuka diri atas segala masalah yang menimpahnya.

Awal mula ke Jogja

Advertisement

“Seminggu yang lalu saya ke Jogja, niatnya untuk merantau dan mencari pekerjaan. Karena keadaan ekonomi yang menghimpit selepas kepergian Ayah saya. Adikku oleh Ibu akhirnya disekolahkan di pesantren. Ibu pun sudah agak tua, pekerjaannya hanya serabutan. Saya anak sulung dan anak laki-laki satu-satunya.

"Jadi saya putuskan untuk merantau ke sini yang kata temen saya merantau itu bagus. Merantau ke sini dengan naik bus. Sampai sini bingung mau tinggal di mana karena di sini nggak punya kenalan, yang akhirnya saya tinggal di musala”. Kata beliau.

Saya penasaran mengapa ia sampai detik ini belum mendapat pekerjaan. Saya tanya “Bawa ijazah atau internet untuk mempermudah mendapatkan kerja tidak?”. Ia menjawab, “sama sekali tidak”. Ia bilang hanya modal nekat saja.

Dalam hati saya bergumam, “Parah bener nih orang, kalau benar-benar nekat mengapa tidak sungguh-sungguh mencari kerja”.

Padahal setahu saya, tiap harinya di Instagram lowongan kerja Jogja selalu bermunculan baik yang bersifat full time maupun part time. Bahkan di daerah Caturtunggal/Condongcatur saja yang kini merupakan tempat berbincang-bincang kami dan dekat dengan musala yang ia tempati banyak yang membutuhkan tenaga kerja. “Mengapa nggak mencoba menawarkan diri ke toko-toko untuk kerja a?” tanyaku.

Ia tertunduk diam.

Saya heran apakah ia tidak mencoba menawarkan diri atau hanya menunggu datangnya pekerjaan kepada dirinya?

Setelah lama kami berbincang-bincang, saling curhat, saling berbagi rasa. Sampailah pada poin unek-unek ia sebenarnya. Dengan berat hati ia ingin meminta maaf ke Ibundanya dan ingin pulang ke Kota Kembang lagi.

Saya pun tak berani menanyakan masalah apa yang terjadi antara ia dengan Ibundanya, tak enak hati selain itu ia pun bingung pulangnya bagaimana karena uang sakunya telah habis.

Dalam hati aku bergumam kembali “Sudah kepalang tanggung di sini, mengapa tidak sungguh-sungguh saja kalau benar ia niatnya cari kerja. Mengapa di tengah jalan begini putus asa, dan sekarang mau pulang kembali. Terus juga mau tahun baruan, pastinya tiket transportasi sudah pada habis. Kalau pun ada, harganya 2 sampai 3 kali lipat harga biasanya."

Semoga ke depannya ia baik-baik saja. Kita tak tahu takdir apa yang akan menimpa kita. Apa yang akan terjadi ke depannya kita tidak pernah tahu, kita hanya berusaha. Semoga kita selalu dibimbing oleh-Nya atas liku hidup dalam menggapai-Nya. Di sini aku mulai mengerti apa makna nekat yang sesungguhnya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sedang belajar mengasah tulisannya. Semua adalah Guru, Semua adalah Murid, hayu kita sama-sama belajar.

Editor

Not that millennial in digital era.