Di sini di tengah malam menuju dini hari. Aku berada di kursi tunggu di sebuah bandara di kota tempatku tinggal, Palembang. Inilah titik awal aku menceritakan sebuah perjalanan. Ditemani oleh seekor kucing yang duduk di sampingku. Menunggu waktu penerbangan berikutnya, jam 5 dini hari nanti. Awal cerita ini mungkin bukan dari sebuah bangku panjang yang membuat tidurku hanya 1 jam. Tapi nanti akan diceritakan.
Jam menunjukan pukul 4 dini hari. Bangunlah aku menggiring semua tas dan koper yang dibawa. Menapaki langkah di atas barisan-barisan marmer yang berjejer rapi. Yang dingin dan kaku karena angin malam itu. Langkah-langkah kaki ini diteruskan. Hingga saatnya aku harus masuk ke dalam perut sang burung besi. Yang akan mengantarku menyeberangi daratan lain.
Duduklah aku di tempat duduk yang jauh dari jendela. Hanya sedikit yang bisa aku lihat ke luar. Tibalah waktunya, aku sudah tidak berada di atas daratan. Memandang gelapnya langit di luar, diiringi cahaya kecil yang tidak beraturan susunannya. Menemani awal perjalanan ini. Tak lama, sang surya menampakan dirinya. Membentuk gradasi cahaya yang indah di langit.
Menapaklah ia di sebuah daratan yang berbeda. Keluarlah aku menginjakkan kaki di atas sebuah daratan. Daratan yang tiada matinya dari kehidupan manusia-manusia. Daratan yang selalu menyibukkan dirinya. Ia tak pernah terlelap dari tidurnya.
Dan pemandangan itulah yang aku lihat pada hari itu. Melalui jalanan yang lurus namun padat. Pemandangan yang biasa, rumah-rumah kecil yang di kelilingi oleh sang pencakar langit yang terlihat kontras sekali. Ditambah cerita orang-orang tentang kejamnya hidup di sini.
Semua itu coba aku nikmati sembari menyusuri setiap tanjakan dan tikungan yang akan menyesatkan anda. Sekalinya anda tersesat, akan semakin menjebak anda. Dan menjauhkan diri anda.
Kunikmati kesunyian yang menemani diri ini. Walau diiringi dengan riuhnya manusia yang saling bercengkrama, namun tidak bisa memperbaiki itu semua. Rasanya diri ini sepi sekali. Memandang sejenak keluar, mengusir sepi dan sunyi perlahan.
Di sebuah rumah makan, dengan ditemani sepiring makanan dan secangkir minuman. Duduklah aku di meja yang berada di tengah ruang itu. Sendiri di meja itu menikmati sore. Datanglah dirimu, duduk di depan aku. Sepiring makanan yang sama dan secangkir minuman yang sama. Kita mengobrol sedikit pada kala itu.
Keesokan harinya, juga seperti itu. Namun di tempat yang berbeda. Kamu berada tepat di sampingku. Pada siang itu. Dengan sedikit obrolan pada kala itu. Membuat suasana menjadi lebih hangat.
Hati ini berteriak. Dia berhasil membuat diri ini seperti ada yang menemani. Mengisi sebuah perjalanan panjang yang akan melelahkan. Tiada seorang pun yang berhasil membuat semua ini sempurna. Sungguh menyenangkan. Aku pun nyaman melangkahkan kaki ini kemanapun bersamanya. Di temani sinaran mentari siang menuju sore, melengkapi segala suasana.
Tidak seperti perjalanan yang pernah dilakukan terdahulu. Tidak ada yang mengisi. Belum ada sosok indah yang membuat perjalanan selama beberapa hari ke depan lebih terisi. Walaupun yang aku sadari, kamu belum dan bukan milikku sepenuhnya. Hanya sebatas pengisi saja.
Aku menyadari sepenuhnya, dia hanya datang sebentar saja. Lalu kemudian pergi. Dan tidak akan kembali lagi. Mungkin hatinya sudah milik orang lain. Yang berada nun jauh di sana. Dan aku tidak ingin, menjadi sosok yang berani masuk di tengah-tengah kebahagian mereka. Aku sadar semuanya sambil memandangi langit yang segera gelap.
Akhirnya, aku pulang. Pulang kembali di mana seharusnya raga dan jiwa ini berada. Melupakan semua yang telah kita lakukan beberapa hari ini. Membiarkan hati ini kosong untuk waktu yang tidak di tentukan. Juga, menutup pintu hati ini dan membukanya untuk seseorang yang benar-benar mengisi.
Langkahkan kakiku kembali di atas barisan marmer yang senatiasa di tempatnya. Yang setiap saat terinjak oleh kaki-kaki manusia yang pergi dan yang kembali. Langit pun perlahan kehilangan sinarnya, seiring sang bumi menjauhi sang mentari. Masuk kembali ke dalam perut sang burung besi. Yang terbang membawaku kembali ke daratan di mana aku berasal.
Memandang ke bawah melalui jendela, di tengah terlelapnya manusia pada malam itu. Hanya setitik cahaya kecil yang jelas. Membentuk formasi yang indah. Dan diri ini serasa kecil sekali, dunia terasa besar sekali hanya untuk satu orang saja.
Percayalah, ada seseorang yang sedang menunggu kita di daratan lain. Yang akan menjadi sosok penyempurna yang terbentuk dari sebagian tulang rusuk kita.
Dan itu tidak akan tertukar, dia tahu di mana tempatnya.
Aku pulang.
Di sebuah daratan di mana aku berasal sebelumnya. Membawa sebuah cerita tentang dirimu yang menjadi sosok pengisi. Juga sebuah perjalanan indah bersamamu. Yang sekeras apapun itu, akan sulit juga aku lupakan, biarlah jadi kenangan hingga akhir hayat kunanti.
Jika Tuhan memberikan diri ini umur yang panjang dan kesempatan. Aku akan kembali ke daratan yang pernah aku singgahi. Merangkai cerita perjalanan baru atau memutar kembali semua yang terjadi. Suatu hari nanti, di lain kesempatan.
Perjalanan ini memberikan arti, sosok yang sempurna ialah sosok yang mampu mengisi kehidupan kita.
Kesempurnaan itu di ukur bukan dari fisik. Tapi bagaimana jadi penyeimbangan antara suka dan duka. Dan mampu buat kita menikmati kebahagian dengan cara sederhana.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”