Akupun mencintaimu dengan tak sengaja. Pada sapa yang kau racik dengan senyum manis siang itu. Layaknya meluluhlantakan gersang gurun pasir dalam kalbuku. Sedetik terdiam. Lalu aku tersenyum membalas sapaan darimu. Aku bertanya-tanya, siapakah gerangan seseorang yang dengan manis tersenyum siang itu. Perlahan waktu meyakinkanku bahwa aku mencintaimu dengan tak sengaja siang itu. Dan ku harap kau kembali datang berulang-ulang untuk menemuiku kembali.
Kau tahu, betapa aku sulit untuk sekejap saja menghapus bayangmu dari setiap detik jam hari-hariku. Sulit tertidur karena entah kenapa dirimu selalu saja mengisi memori ingatanku.
Apa yang kau gunakan gerangan? Membuatku seperti hilang kendali layaknya majnun yang mengharapkan Laila untuk mengisi dan membersamai hari-harinya. Nyaris gila juga.
Sah-sah saja jika ada seseorang yang diam-diam kau doakan dan perjuangkan. Biarlah begini adanya, hingga waktu yang menjawab.
Siang itu, tangan kami bertemu dalam satu sampul Buku “Artefak Dalam Semusim Purnama” tepat saat aku akan mengambilnya dari rak, jari jemarimu tepat di bagian tengah novel itu. Kamu melihatku dan tersenyum ramah.
“sorry, silakan. Kamu saja” Ucapmu mempersilakan aku untuk meminjamnya lebih dulu. Akupun membalas senyum itu.
“Terima kasih” Jawabku sembari pashmina berwarna cream yang menutupi bagian pipi kananku hingga lesung pipi nyaris tak terlihat bergerak lantaran terkena AC. “tapi kamu benar tidak membutuhkan novel ini dalam waktu dekat?” sambungku lagi meyakinkan
“Ngga, pakai saja duluan, nanti gampang aku tinggal menghubungimu jika kamu selesai membacanya” Jawabnya kembali sambil tersenyum. “Orang Indonesia?” sambungnya sambil menatap ke arahku
“Iya, aku dari Jakarta. Kamu?” Aku tidak berani menebak karena lelaki di depanku ini sepertinya blesteran antara Arab, India dan Indonesia. Manis. Perpaduan yang nyaris sempurna.
“Aku dari Jawa Timur tapi orang-orang seringkali menganggapku dari Arab atau India. Untungnya aku fasih berbahasa Indonesia sih hehehe” Penjelasannya seolah-olah bisa membaca apa yang ada difikiranku.
Tak sempat memperkenalkan diri dan menanyakan namanya, percakapan kami berakhir saat Kartika, teman kosanku mengabariku bahwa dia baru saja kecopetan dompetnya dan meminta bantuanku untuk menghampirinya karena tidak ada uang untuk ongkos kembali ke kosan kami. Aku panik dan langsung pamit meninggalkannya bahkan aku lupa untuk meminjam novel “Artefak Dalam Semusim Purnama”.
“Hey, novelnya… “Teriaknya berusaha menahanku tapi aku tak punya banyak waktu lagi untuk segera sampai menemui Kartika.
Setelah ku bantu Kartika untuk melaporkan kehilangan ke kantor kepolisian terdekat, aku mengingat lelaki Arab Indonesia, atau India Indonesia, ah siapalah lelaki itu, aku lupa untuk menanyakan nama atau bahkan memperkenalkan namaku juga padanya. Apakah dia seorang mahasiswa atau asisten dosen di kampus ini. Yang aku ingat adalah senyum dan tatapan matanya serta rambut sebahu yang ia sapu saat pertama sekali bola matanya beradu dengan mataku dan memadupadankan dengan jaket kulit berwarna hitam yang ia kenakan. Nyaris sempurna dan menyembuhkan luka.
Satu notif di WhatsApp ku. Dari Adam.
Ku harap kamu bisa memahami keputusan ini. Sudah 3 bulan kamu tidak menjawab pesanku. Apa kita tidak bisa bersahabat seperti sedia kala?
Aku menghela nafas panjang. Apakah semua lelaki seperti Adam? Sangat membingungkan memintaku untuk memahaminya namun dia sama sekali tidak memahami keadaan hatiku. Terpaksa aku membalasnya untuk pertama kali setelah perpisahan kami di Bandara kala itu.
Kamu mau apa?
Satu detik dia menjawab pesanku
Aku mau kita tetap sedekat dulu. Menghabiskan waktu bersama. Aku minta maaf atas kejadian di Bandara kala itu. Idzar menceritakan semuanya.
Aku sungguh tidak bisa memahami kemauannya dan dia pun sama sekali tidak memikirkan bagaimana usahaku di sini melupakannya.
Tidak ada yang perlu dibahas lagi karena tidak akan bisa merubah semua yang terjadi. Sukses untuk studimu. Aku telah memaafkanmu jauh sebelum kamu memintanya.
Tak lama pesanku terkirim, Adam menelfonku. Spontan aku menonaktifkan ponselku. Adam, bisakah kamu menghargai waktu pemulihanku. Tidak mudah bagiku untuk menghapus semua kenangan bertahun-tahun lamanya bersamamu hingga tak tersisa. Dan seharusnya kamu memahami itu. Aku telah menghargai keputusanmu dan berusaha mempelajarinya dan membiasakan setiap hari tanpa dirimu.
Adam adalah seseorang yang 5 tahun lamanya berteman dekat denganku. Anak Antropologi yang seringkali merepotkan aku dengan berbagai riset yang dia lakukan. Aku dengannya layaknya bagian-bagian puzzle yang saling melengkapi dan membutuhkan. Mempunyi banyak perbedaan namun banyak juga persamaan. Kami bertemu dalam sebuah konferensi Social Sciences and Humanities. Saat itu kami berdua mempresentasikan makalah. Kami sengaja dekat karena bidang ilmu yang kami miliki masih serumpun. Aku mengkaji Linguistik terapan yang seringkali ilmu bahasa ini bersinggungan dengan Antropologi.
Tiga bulan lalu, Adam melanjutkan studinya di salah satu kampus di UK. Aku mengantarnya ke Bandara. Tepat pada saat itu, Adam melukaiku lantaran perbedaan keyakinan perasaan. Aku yang bodoh terjebak dalam zona pertemanan. Harusnya aku lebih bisa mengenal Adam bahwa dia lelaki baik dan wajar saja jika dia memperlakukanku begitu sangat baik. Namun kita tidak pernah bisa menakar perasaan bukan?
“Aku tak pernah bisa menjamin bahwa suatu saat nanti aku mencintaimu, Laisya. Ketika aku kembali lagi ke Indonesia” dia membelai hijabku.
Shit, kata-kata itu seperti menusuk pilu ke relung perlahan membuka lubang kecewa yang teramat dalam. Jika sudah seperti itu, apakah salah jika aku memilih untuk meninggalkan Adam karena hatiku juga butuh recovery. Semua kata-katnya membuaiku dan siap menjatuhkanku kapan saja ia kehendaki. Jika Adam bisa menakar perasaannya dan tetap bisa berteman dekat denganku tanpa harus jatuh cinta namun maaf, aku tidak sekuat kamu, Adam.
“Hei, siapa namamu?” Sapa lelaki berambut dikuncir itu. Mengagetkanku yang sedang mengantri di meja registrasi acara Pemutaran Film Dokumenter Socio-Cultural.
“Hei, kamu di sini juga?” Tanyaku terkejut
“Iya, kebetulan Departemenku juga berpartisipasi dalam penanyangan beberapa film nanti” Jawabnya khas. Singkat tapi jelas dan sangat dingin.
“Ooo, Jadi kamu mahasiswa Departemen Sosiologi? Oh iya, nama saya Laisya, Kamu?” Ucapku sambil mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman
“Habibi” Jawabnya singkat tapi matanya menatap lekat mataku. Ku perhatian dengan jelas pupilnya kian membesar bersama senyum lebar di bibirnya. “Gw dari Departemen Sosiologi dan udah lulus tahun lalu, kebetulan bantu-bantu dosen gw mengajar dan meneliti” lanjutnya sambil menyeka rambutnya yang bergerak ke wajahnya.
Dan kami pun saling bertukar nomor Whatsapp. Habibi menemaniku menonton pemutaran documentary film hingga selesai. Aku membutuhkan untuk menonton film-film ini karena kebetulan berhubungan dengan aspek-aspek bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Selesai menonton, Habibi mengantarku hingga pintu masuk Fakultas kami karena ternyata aku dengan Habibi berasal dari Fakultas yang sama namun berbeda Departemen. Dia harus kembali ke kantor menemui dosennya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Monash University, Sydney pada pukul 21.00 masih sangat ramai. Kota ini seperti tak pernah istirahat. Aku pergi meninggalkan Habibi dengan pikiran yang masih keingat jelas lelaki India Indonesia itu. Cukup dingin tapi perhatian.
Hati-hati di jalan ya. Jika ada membutuhkan film-film yang tadi untuk data penelitianmu, hubungi gw aja
Aku lihat ternyata pesan dari Habibi. Aku tersenyum lalu membalasnya.
Terima kasih Habibi. Terima kasih juga ya tadi sudah ditemani nonton. Selamat melanjutkan pekerjaanmu
Terlalu cepat rasanya jika aku memutuskan bahwa aku menyukai Habibi, Seiring waktu berjalan aku berusaha untuk meyakinkan benar-benar meyakinkan bahwa luka yang berlubang besar tak akan bertahan lama terbuka. Semakin lama semakin tertutup walau bekasnya tak akan hilang sempurna.
Aku bersyukur dipertemukan dengan Habibi, lelaki yang sepemikiran dengan ku dan bisa menjadi partner diskusi yang baik. Kami saling mendukung untuk kemajuan prestasi dan penelitian-penelitan yang kami lakukan. Habibi lelaki yang sangat dingin namun dia sangat jujur dan serius.
Aura positifnya mampu menyelesaikan segala kegelisahan yang tak jarang aku hadapi selama menjalani perkuliahan di Sydney. Kehadirannya membuatku sedikit mengobati kerinduanku pada Indonesia, karena kehadirannya membuat Sydney seolah-olah rasa Indonesia.
Kami berdua disibukkan dengan kerjaan masing-masing. Dia pun selama libur semester sibuk dengan pengambilan data di lapangan bersama dosen-dosen Sosiologi tim penelitiannya.
“Laisya, besok aku akan ke Indonesia, tepatnya ke Palu. Kamu mau aku bawakan apa dari Indonesia?” Tanya Habibi yang duduk berhadap-hadapan denganku. Sore itu kami ngopi bersama di salah satu kedai kopi dekat kampus kami.
“Ngga perlu bawa apa-apa Bib, kembali ke sini tanpa kurang apapun ya” Jawabku sambil tersenyum malu. Untung saja waiter segera datang mengantar Caffe Americano untuk Habibi dan Green Tea Crème untukku.
“Sya, gw mau jujur sama kamu. Gw tertarik sejak kita ketemu di Perpustakaan saat itu. Sungguh, gw sangat khawatir tidak bisa bertemu denganmu lagi karena saat itu ge belum sempet tanya namamu, kamu keburu pergi. Dan gw bersyukur banget bisa bertemu di Pemutaran Documentary Film di fakultas kami” Jelasnya tapi terhenti sejenak saat dia mengatur nafasnya. Lalu melanjutkan kembali. “gw hanya pengin kamu tau aja yang gw rasakan.
Gw nggak mau kamu terganggu dengan ini. Gw ngga memaksa kita untuk pacaran karena gw paham kita berdua sangat sibuk. Gw pengin kita sama-sama fokus sama cita-cita kita. Kamu berhak menolak atau bahkan ditengah perjalanan kita nanti kamu menemukan orang yang lebih tepat, tidak apa-apa jika kamu bersamanya. Tapi gw akan berjuang sekuat tenaga gw untuk bisa menikahimu saat waktunya tepat” sambungnya panjang sambil seperti biasa matanya yang tajam tapi syahdu, lekat menatap mataku.
“Bib, terima kasih untuk keberanianmu menyatakan semuanya. Aku juga mengagumimu sejak kita bertemu di perpustakaan. Aku sangat senang kita memiliki perasaan yang sama. Memang benar katamu Bib, kita tidak perlu pacaran, kita jalani saja agar kita fokus pada cita-cita kita. Akupun akan sekuat tenaga memperjuangkan agar kita bisa bersama” Jawabku menjelas apa yang terjadi juga denganku.
“Makasi, Laisya” Ucapnya syahdu sambil lalu menggenggam tanganku di atas meja. “Besok aku berangkat ke Palu pagi-pagi sampai 30 September, kamu jangan rindu ya” Dia meledekku sambil tersenyum sangat manis.
“Ih, percaya diri banget kamu. Ngga lah kan kamu juga akan balik ke sini lagi. Oh iya, kamu ngga mau potong rambut sebelum pergi?”
“Jangan dong, ini kan sengaja untuk memikat wanita” Ledeknya lagi
“Ih, apa sih. Genit deh!” Ucapku ngambek lalu dia mengelus jilbabku lagi.
Pertemuan kami sore itu berakhir karena Habibi harus bersiap-siap untuk mengajar kelas Sosiologi Kritis dan Posmodern. Akupun harus menemui dosen pembimbing tesisku untuk mengkonsultasikan beberapa permasalahan terkait risetku.
Kami berpisah. Aku melihat Habibi beranjak pergi yang kemudia menghilang dibalik pintu Departemennya. Penampilannya sangat khas, dia sangat menyukai warna gelap dan sepatu boots. Lakik banget!
Aku masih sangat ingin berlama-lama bersamanya. Hampir setiap detik dalam hariku selalu merindukannya namun akan sehatku selalu mengingatkanku bahwa cinta tidak boleh mengalahkan cita-cita dan harapan. Terima kasih Habibi, sudah memilihku untuk kau cintai. Aku bersyukur sekali menjadi wanita yang kau cintai.
Sayang, aku berangkat ya. Kamu jaga diri baik-baik. Aku akan menghubungimu saat senggang. Sebentar lagi pesawatku take off
Habibi mengirim pesan untukku. Ada perasaan aneh tapi juga senang dan lucu saat melihat perubahan panggilan Habibi untukku. Ternyata lelaki kaku sepertinya bisa juga memperlakukan kekasihnya romantis layaknya pasangan-pasangan di dunia ini.
Hati-hati ya. Lancar penelitinnya. Jangan lupa sarapan.
Balasku sambil tersipu malu lalu disusul balasannya yang sangat cepat.
Makasi ya, kamu ngga usah kenalan sama lelaki lain yang sekiranya mengalahkanku di hatimu hehehe.
I love you, Laisya.
Sontak aku ketawa sendiri di kamar. Lagi-lagi lelaki kaku bak kanibo kaya Habibi bisa banget ngegombal.
Siap sayang. Cepat kembali karena aku pasti akan merindukanmu.
Aku membalasnya lagi namun rupanya hanya cenatng satu, berarti Habibi sudah take off. Jujur, aku sangat berat untuk jauh dengannya. Aku mencintainya.
Selamat Ulang Tahun, Laisya
semoga keberkahan hidup selalu menyertaimu
tak ada yang paling kuharapkan selain kebahagianmu
minggu depan aku di Indonesia, kita ketemu ya
aku merindukanmu
Aku melihat prangko greeting card tersebut dari United Kingdom, siapa lagi pengirimnya jika bukan dari Adam. Sungguh dia lelaki yang penuh perhatian dan tindakan-tindakannya sungguh manis. Sehingga aku terjebak dalam perlakuannya padaku. Perasaan yang tak sama kadarnya.
“Terima kasih Adam. Bagimu, mungkin sangat berat untuk kehilangan sahabat sepertiku. Pun bagiku, namun aku tak pandai untuk menakar rasa. Akutapi inilah kenyataannya, aku lebih baik menghindarimu. Karena mencintai tanpa dicintai itu sakit. Lagipula, saat ini ada seseorang yang harus ku jaga hatinya. Aku telah menemukan seseorang yang tepat untukku”
Aku menutup buku diaryku. Dan berangkat ke kampus untuk menemui Profesor Leuwen. Sesampainya di lobby departemen Linguistik, aku mendengar berita yang tersiar di televisi. Palu Gempa Bumi dan Tsunami berkekuatan 7.4 Mw. . Pusat gempa berada di 26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu dengan kedalaman 10 km.
HABIBI…
Teriakku lirih. Aku tertunduk lemas di sofa. Habibi, aku berharap kau tak sedang di sana saat gempa dan tsunami terjadi. Semoga Tuhan melindungimu, sayang. Namun, sejam setalah berita itu, seorang profesor yang merupakan teman dari Prof. James, profesor yang bersama Habibi di Palu mengabarkan bahwa Prof. James dan asistennya merupakan salah dua dari korban bencana tersebut.
Aku tak kuasa menahan tangis. Tubuhku gemetar. Habibi, secepat itu kah kamu meninggalkan ku. Bisakah yang dikabarkan itu adalah hoax atau Habibi yang lainnya. Habibi, jauh di Palu sana aku tak tau bagaimana kau berjuang melawan gelombang yang menghantamkan tubuhmu.
HABIBI…
Aku begitu sangat mencintaimu. Mencintai segala kesederhanaanmu dan kedinginanmu. Bisakah kita memutar waktu, aku akan menggenggam tanganmu agar menaham langkahmu tidak pergi meninggalkanku. Aku memandangi foto profil Whatsapp mu yang mengenakan kemeja hitam dan tersenyum manis.
HABIBI…
Kamu penutup kisah indah dalam musim kemarau panjangku. Terima kasih telah hadir menjadi bagian dari hidupku. Kamu senantiasa abadi dalam mimpi-mimpi tidurku menjelma mengobati rindu. Aku tak akan pernah bisa membayangkan betapa sepinya kampus ini tanpa canda tawamu. Aku mengenalmu di waktu yang tepat pada pertemuan tak sengaja memadukan kedua tangan kita. Lalu saling tersenyum dan pada saat itu aku meyakini aku telah jatuh padamu.
HABIBI…
Kau tak akan pernah sirna dalam ingatan. Membalut indah menghantarkan langkah pada ketulusan asmara. Tepat pada pupil matamu, terlihat tajam nan syahdu, di sanalah terlukis ketulusan cinta untukku meskipun kau tak pernah bisa bertindak seromantis kekasih lainnya namun aku yakin di sana, di matamu yang sangat ku rindukan, ada kesucian cinta yang kau abadikan.
HABIBI, AKU TETAP MENUNGGUMU DALAM KEABADIAN.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”