Bandung 2019, bulan kesebelas. Yang kulihat, langit sedang mendung. Awan gelap menutupi langit yang cerah. Sinar matahari mulai tak terlihat. Gemuruh petir seakan mencekam. Menandakan sebentar lagi hujan lebat akan turun, tapi di hatiku sudah turun hujan.
Orang bilang, cinta itu anugerah, mencintai itu menyenangkan, dicintai apalagi. Rasa itu ibarat sebuah kembang api. Naik ke atas menuju langit, untuk kemudian meledak. Memunculkam warna – warni, merah, biru, hijau, ataupun ungu. Kemudian redup dan hilang. Kurang lebih, seperti itulah cinta. Bahan bakarnya rindu, bukan mesiu. Kapan akan meledak dan redup? Aku tak pernah tahu, yang jelas di hatiku sudah.
Waktu tak terasa sudah hampir sore. Sudah hampir dua jam aku menunggu keretaku berangkat. Rel dan atap sudah basah diguyur hujan. Begitupun aku, pipiku dihujani air mata dan hatiku dihujani ribuan tanya; menunggu entah dimana.
Sabtu bulan kesebelas ditahun 2017. Aku tak tahu tepatnya tanggal berapa, yang kuingat hanya petrichor; bau tanah setelah hujan. Bau yang selalu menenangkan untukku. Kala itu pertemuan kita tak sengaja, dalam sebuah pesta. Aku tersesat dalam keramaian dan kau menyapaku dalam kerumunan. Seperti pertemuan dalam kisah – kisah cinta dalam buku; sederhana. Mata kita bertemu tanpa permisi. Jantungku berdegup kencang tak henti. Dari saat kau melempar sapaan, aku tahu duniaku akan dilanda kekacauan.
Malam itu rasanya benar. Kau sosok yang buatku insomnia sampai aku lupa cara mencumbu mimpiku dengan mesra. Sejak saat itu, kau buat diriku menjadi hampa dan hanya dirimulah satu-satunya nada. Kau buatku kekurangan udara hingga rasanya sesakkan dada. Apakah yang kau alami sama? Apakah jantungmu pun berdegup kencang? Apakah aku bisa menjadi penenang? Aku bahkan tak bisa mengeliminasi setiap tanya yang ada. Kau adalah satu-satunya jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dalam pikiran.
Satu minggu berlalu, hingga akhirnya kuputuskan untuk mencari jejakmu. “Dari sebuah jejak acak dan berbekal segala mungkin, akan ku temukan kau dengan segenap yakin,” batinku berkata.
Karna sekali lagi, aku ingin meyakinkan bahwa sosokmu ada, bukan fatamorgana. Mulailah aku bertanya pada teman-temanku, berkeliling di area tempat pesta, di persimpangan jalan, di setiap sudut kota, hingga di linimasa, dan belum kutemukan apa-apa.
Kalian mungkin akan berfikir, bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat, bukan? Mungkin memang benar kaki kami amatlah kuat untuk melangkah. Bahkan kakiku teramat kokoh untuk mencarinya seorang. Tapi sekokoh apapun kayu pasti akan lapuk dan sekuat apapun besi pasti akan berkarat.
“Tolong! Sekali saja! Biarkan aku bertemu denganmu, selagi sempat, selagi kaki ini masih kuat, selagi kaki ini belum berkarat,” batinku berkata.
Lama berselang, dering handphoneku mulai berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk. Dan benar, ini adalah sebuah petunjuk. “Dia biasa nongkrong sore sampe malem di coffeshop dekat Jambore Cimahi. Kesana aja! Barangkali ketemu,” begitulah bunyi pesan itu.
Keesokan harinya, mulailah aku dengan pakaian rapi bergegas kesana. Soal cinta tak bisa di tunggu. Hatiku perlu jawaban dan kepalaku tak ingin lagi disibukan oleh berbagai pertanyaan. Sore hingga malam, petang hingga muncul bintang. Tak kulihat sosokmu hadir, akupun semakin ketar-ketir. Malam itu kau tak datang. Dan ku harap hanya di malam itu saja, tidak di malam-malam setelahnya.
Keesokan malam, masih sama saja. Hingga malam-malam berikutnya. “Bodoh sekali aku, menunggunya setiap hari disini, tanpa ada kejelasan yang pasti. Ahh! Tunggu dulu, bukankah aku sendiri yang terlalu yakin, untuk setiap mungkin. Mungkin hari ini dia tak datang, mungkin besok dia akan datang atau mungkin lusa, selalu seperti itu bukan? Mengapa aku terlalu bodoh. Terlalu yakin hanya untuk setumpuk mungkin,” logikaku melemahkan.
“Ahh! mungkin benar, cinta memang bodoh. Sebab sekarang, aku merasa bodoh harus terus menerus bertanya, ‘Mengapa dirimu yang harus ku temui sekarang?’” batinku menguatkan.
“Untuk sekarang aku akan pulang. Dan tetap aku akan kembali untukmu esok,” logika dan perasaanku berseteru.
Jika dipikir, lucu juga kedua makhluk Tuhan itu. ‘Logika’ dan ‘Perasaan’ keduanya tak pernah seirama, tapi selalu memainkan peranan penuh makna. Mungkin itulah sebabnya Tuhan menciptakan mereka berdua, agar kita seimbang, sebagai sosok yang tidak melulu mementingkan logika tanpa perduli perasaan.
Hingga keesokan harinya, saat aku putus asa. Kau datang dengan pakaian merah muda, rambut panjang terurai, dan sungguh memesona. Aku bergegas menujumu, setelah sekian lama aku menunggu. Aku tak bisa menahan, meski hanya sekedar memberimu sapaan.
“Hai!” ucapku, “Hai juga” ucapmu sembari tersenyum.
Senyum yang hangat, senyum yang bangkitkan semangat. Mungkin Tuhan menciptakanmu ketika Ia sedang senang-senangya, sehingga senyummu tampak istimewa.
“Aku udah lama menunggumu loh, eh mencarimu, ehh, ehh, ehh bukan itu maksudku, kamu apa kabar?” Ucapku padanya. “Sial! Mengapa di hadapannya aku menjadi kikuk,” Batinku berkata.
“Gimana maksudnya? Oh ya, kita sebelumnya pernah ketemu kan? Di pesta ya kalau gak salah?” Ucapnya.
“Iya, itu, ehmmm, gimana ya, ehmmmm, kita pernah ketemu kok dalam pesta beberapa waktu lalu, eh iya-iya, ehmm, salam kenal, eh karena kemarin gak sempet kenalan, hehe,”
“Oh, oke, iya mas salam kenal juga,”
“Jangan SPJ dong,”
“SPJ maksudnya?”
“Singkat padat jelas,”
“Ohh, hahahahahaha, mas lucu juga ya, jadi mas kesini nyari saya? Ada perlu apa?”
“Boleh duduk? Biar aku enggak kikuk,”
“Boleh-boleh mas, mas lucu ya hahahaha,”
Akhirnya, dari sebuah kikuknya sapaan. Kita mengobrol panjang lebar, hingga hampir larut malam. Tak lupa aku minta nomor handphonenya. Agar aku bisa kembali mengajaknya keluar atau sekedar menanyakan kabar.
Aku tak ingin menyebutkan namanya pada kalian. Karena bagiku, dia istimewa. Jadi, biarkan hanya aku dan Tuhan yang tahu namanya.
Hari-hari berlalu, dari sekedar tanya kabar, candaan, curhat seputar kehidupan hingga keluar untuk jalan-jalan. Jika kuingat, kau orang yang sangat asik diajak bicara. Hingga aku dapat melupakan semua lelahku. Mungkin kau memang obat dari segala penat dan kau adalah mentari pagiku, rasa hangat yang bangkitkan semangat.
‘Aku’ dan ‘Kamu’ sudah tidak ada lagi dalam obrolan kita.
“Kita nanti mau kemana?”, “Nanti kita jadi makan malem?”, “Nanti kita ke coffeshop di jalan braga yuk”, “Minggu depan kita ke nikahan temenku yuk!”
Ya! ‘Aku’ dan ‘Kamu’ telah menjelma kita. Rasa cinta bertebaran di udara. Melangkah kemana-mana, tak masalah, karna kau penyebabnya.
Namun berbeda dengan hari ini. Kau datang kepadaku dengan tangis. Seolah baru saja terjadi hal yang tragis. “Ada apa dengamu? Apa yang aku tak tau? Siapa yang tega menguras air mata makhluk Tuhan yang sangat istimewa ini?” Aku sangat khawatir, bukan hanya pipimu yang basah, pakaianmu juga.
Aku bawa ia masuk ke rumahku, Hujan tak kunjung henti, begitupun air matamu. Kukeringkan tubuhmu dengan handuk, sambil mengajakmu berbicara. Kuberi kau bajuku untuk berganti. Akupun bergegas menuju dapur, untuk membuatkannya teh hangat. “Maaf, kali ini aku gagal memberimu semangat,” batinku berkata.
Sekembalinya aku, kau tetap terdiam. Kau terus memandangiku dan tak berbicara sedikitpun.
“Ini tehnya, minum dulu, biar badanmu hangat. Kalau boleh aku tahu, apa yang terjadi. Sakit rasanya melihatmu terus begini, menangis tak henti-henti,” ucapku. Kau tetap diam, dan terus memandangiku.
Tak masalah bagiku, mungkin kau memang perlu waktu. Kau butuh spasi dari tangis yang kau alami hari ini. Bukankah harusnya memang seperti itu, sesuatu terkadang butuh jeda, butuh spasi. Sebuah kalimat tidak akan bermakna bila tanpa jeda dan akan sulit di mengerti bila tanpa spasi. Aku mencoba membuat diriku sendiri tenang dan memberimu jarak untuk bernafas agak panjang.
Hari sudah menjelang larut, mukamu masih tetap kusut.
“Ingin aku antar pulang?” Kau menggeleng tanda tak mau. “Kamu ingin menginap disini?” Kau mengangguk. “Aku kasih kabar orang tuamu dulu, ya? Aku khawatir mereka mencarimu,” Kau diam tidak ada satupun kata ataupun gerak yang kau keluarkan. “Kamu bisa tidur di kamarku kalau kamu mau, aku bisa tidur di sofa,” Lantas ia pun menuju kamarku.
Sudah hampir dini hari, aku tak bisa tidur, terus memikirkan apa yang terjadi. “Mengapa ia, tak mau pulang ke rumahnya? Apa yang sebenernya terjadi dengan orang tuanya?” Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuiku. Tak terasa azan subuh mulai berkumandang, rupanya sudah hampir seharian aku begadang. Aku mulai mengambi air wudhu. Dan sebelum pergi sholat, aku tengok dirimu. Rupanya kau masih tertidur. Aku tak ingin membangunkanmu, barangkali kau baru saja terlelap.
Selepas sholat, aku kembali menuju sofa. Hari hampir pagi, dan tanpa sadar aku mulai tertidur. Setelah siang datang, aku terbangun. Akupun bergegas menuju kamarku, ingin ku lihat bagaimana keadaanmu. Apakah sudah membaik? Apakah wajahmu sudah secerah langit hari ini? Apakah masih temaram seperti tadi malam?
Sesampainya di kamar, kau menghilang. Dan hanya sepucuk surat yang ku temukan. Ku ambil surat itu, entah apa maksudnya. Mengapa tak membangunkanku apabila hendak pulang? Aku semakin khawatir. Kemudian, ku buka surat itu, perlahan.
Bandung, 14 November 2018
Dariku untukmu, pria yang aku sayangi.
Entah ingin ku mulai dari mana. Belakangan ini, selalu ada yang mengganjal di kepalaku. Apa aku harus menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan, atau cukup aku pendam. Apabila menyatakan, entah kapan. Dan apabila terus kupendam, entah kapan akan dinyatakan. Pertemuan kita tak pernah ku lupa. Selayaknya cerita cinta, kau datang padaku dengan sederhana. Lucu dan kikuk. Masih ku ingat, kali pertama kau menyapaku, hari itu aku tau duniaku akan diisi olehmu. Kau ciptakan sebuah cerita tentang kita berdua, dan aku tokoh utamanya.
Senang apabila melihatmu tersenyum setiap hari. Karena setiap kali melihatmu tersenyum adalah setiap saat aku jatuh hati. Senyum yang membuatku selalu teduh dan tenang. Dan setiap kali ku ingat, kau orang yang akan selalu jadi pemenang. Menang, di sini, di dalam hatiku. Kau adalah penghilang sepi dan kau satu-satunya bunyi. Kau adalah lilin kecil yang ku bakar, yang nyalanya buatku tenang dari gelapnya malam.
Tapi maaf, kini aku telah membakarmu sampai habis. Mungkin kau tak akan bisa menyala lagi. Terangmu buatku tenang, dan kepergianku akan buatmu kehilangan. Tapi aku percaya, kamu lelaki kuat. Langkahmu tak pernah rapuh, karena kau telah temukanku dengan segala mungkin dan segenap yakin.
Kemarin saat aku datang dengan setumpuk tangis, aku tahu hatimu ikut teriris. Kau sangat resah karna tangisku tak kujung reda. Kau rawat aku dalam tangisku, tanpa pernah memaksaku menjawab setiap pertanyaanmu. Kau memang satu-satunya yang terbaik sampai hari ini. Dan itu akan selalu kuyakini. Kau tau bagian buruknya? Yang baik akan selalu menang dan yang terbaik akan selalu di kenang.
Tidak! Jangan pernah berfikir aku kejam. Sekali lagi kumohon jangan! Kemarin lusa dia datang lagi. Seorang dengan kehidupan yang mapan dan telah melamarku. Aku tak bisa menolak, musabab orang tuaku telah setuju. Haruskah aku melawan seorang yang telah membesarkanku atau mungkin kuminta mereka mengutukku jadi batu?
Berbagai cara telah kulakukan. Tapi tetap, aku tak bisa melawan. Harta membutakan mereka, padahal ini bukan lagi zaman siti nurbaya. Maaf sekali lagi. Kita tak bisa bersama.
Pada masanya segala sesuatu akan hilang. Yang tersisa hanyalah sebuah ingatan dari sebuah perjalanan. Entah simbol, gambar, pesan, atau bangunan. Semua akan menjadi bahan untuk kita menganyam sebuah kenangan. Termasuk kita yang sedang berbagi perasaan.
Percayalah, aku rindu saat kau kejar. Aku rindu saat kau buatkan puisi. Aku rindu saat kau cari. Dan aku rindu rasanya saat aku bersikap tak peduli. Semua perasaanku hanya untukmu, seorang yang aku cintai.
Dariku, wanita yang teramat kau sayang. Maaf ternyata pada akhirnya aku harus jatuh ke lain orang.
Hari itu aku lemas, hari itu aku menangis. Tragis! Kau buatku menyerah dan kehilangan arah. Kucoba menelponmu, tak ada satupun jawab. Ku temui semua temanmu dan tetap tak ada satupun harap. Kucari kau di rumahmu, di setiap persimpangan jalan, di setiap sudut kota, hingga di linimasa, sosokmu pun tak lagi ada. Detik, berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, dan bulan berganti bulan yang baru, tetap, hatiku hanya untukmu.
Aku gila karena kehilanganmu seorang, dan aku tak sanggup melihatmu dengan lain orang. Aku terus menunggu sebuah jawaban dan terus berdoa untuk setiap pengharapan. Semoga semua ini hanya mimpi, semoga semua ini hanya fantasiku sendiri. Hingga di temaramnya malam yang kesekian, ada sebuah pesan masuk darimu. Aku senang, kabar yang ku tunggu, akhirnya kunjung menemukan titik temu.
Kau yang tetap kunanti akhirnya akan kembali. Dengan senang hati kubuka pesan itu. Tapi nyatanya, setelah kubaca, hatiku tak lagi ada. Pesan singkat itu berbunyi bahwa kau telah meninggal, bahwa aku telah kau tinggalkan. Bergegas ku temui semua temanmu yang ada, agar aku tetap yakin kau hanya bercanda. Ternyata kabar itu benar.
Hari itu fajarku telah mati, bagiku hari itu, tak ada lagi mentari pagi. Kau sosok yang ingin kutemui di pelaminan bukan di pemakaman.
Sekarang aku disini, di lobby stasiun. Menunggu keretaku akan berangkat menuju Surabaya. Mengenang semua kenangan kita yang jatuh berguguran bersama hujan. Kau yang selalu ku tunggu untuk datang, nyatanya takkan pernah kembali pulang.
Kau yang kini ku rindu tak akan pernah berujung temu. Dan rasa rinduku kini padamu adalah satu-satunya jarak paling jauh untuk dituju. Mata kita pernah saling menatap. Tangan kita pernah saling menjabat. Hati kita pernah saling berharap. Kau sosok yang pernah buatku terbang bebas meski akhirnya harus kandas. Apakah aku boleh tetap menunggumu, meski aku tau di dunia kita tak mungkin bersatu. Jika kau jawab tidak, aku akan tetap memaksa. Untukmu aku rela, meski harus menunggumu entah dimana.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”