Menulis Itu Mudah, yang Rumit Itu Konsistensi

Perkenalanku dengan dunia literasi memang sejak kecil

Begitupun menonton kartun. Sialnya saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah yang liburnya Jumat. Otomatis saya tidak bisa menonton film kartun. Bisa menonton kartun pada hari minggu itupun kalau sudah libur panjang atau bolos tidak masuk sekolah. Bisa dibayangkan menunggu film yang tayang seminggu sekali dan durasinya cuma setengah jam.

Advertisement

Saya tetap menyukurinya karena waktu itu, kartun tidak terkena sensor seperti sekarang. Setiap adegan tidak ada yang dipotong maupun disensor. Malah dulu saya masih ingat di televisi ada tayangan smack down, itu saja tidak ada yang disensor. Apalagi sekadar kartun. Beda banget sekarang, kartun saja disensor, betapa absurd sekali.

Kembali ke topik awal, saya suka membaca buku tidak lepas dari kebiasaan membaca komik. Jadi memang membaca itu adalah kebiasaan yang terus harus dilatih dan diasah. Sampai titik dimana membaca adalah bagian dari hidup. Kalau sehari saja tidak membaca, maka ada puzzle kehidupan yang hilang. Membaca adalah pondasi utama dalam proses kreatif selanjutnya.

Kalau membaca sudah bisa konsisten. Apakah sudah selesai? belum dan itu masih modal awal untuk melanjutkan ke proses kreatif menulis. Banyak sekali buku teknik menulis, diiringi berbagai lokakarya kepenulisan. Mulai dari yang gratis sampai berbayar, dari yang durasinya hanya beberapa jam sampai yang berhari-hari. Berbagai teori menulis dijelaskan secara gamblang. Sebelum menulis harus membuat outline  ini itu sampai lupa esensi menulis itu sendiri. Dan kesimpulannya,

Advertisement


Menulis itu bukan soal teori kayak di kampus.

Menulis butuh komitmen dan konsistensi luar biasa.


Tulisan Ahmad Khadafi aja empat kali ditolak redaktur Mojok. Apalagi aku baru tiga kali ngirim sih. Jadi kurang satu lagi dapat jodoh. Hahaha. Setelah menulis selesai, baru dikirim ke penerbit atau koran dan lain-sebagainya. Eman banget kan kalau nulis hanya buat konsumsi pribadi. Mending dikirim aja, siapa tahu beruntung. Sebelum mengirim tulisan, si pengirim ini harus jeli. Kalau naskah tulisannya isinya balbalan berarti dikirimnya ke tabloid sepak bola atau website sepak bola. Jangan sampai tulisannya tentang sepak bola dikirimnya ke tabloid masak atau website wanita. Jadinya kan go-blok. 

Advertisement

Walaupun latar belakang menulis itu berbagai macam niat, baik itu kebutuhan atau keinginan. Alasan menulis karena ingin terkenal, ada pula karena benar-benar sebagai ajang sinau. Karena membaca dan menulis itu harus dijadikan sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Pokoknya tendensi menulis itu beraneka ragam.  

Seiring perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat, orang ingin mengirim tulisan tidak hanya di koran. Banyak sekali website yang siap menerima tulisan. Ada website yang senang hati menerima tulisan tanpa ada penyutingan yang ketat tetapi tidak memberikan honorarium. Ada pula website yang ketat menyeleksi naskah yang masuk tetapi memberikan honorarium.

Kalau sudah begini dikembalikan ke individu masing-masing. Niat menulis itu buat apa. Kalau aku sih dua-duanya. Buat belajar menulis sekaligus alhamdulillah banget kalau dapat honorarium. Adagium, “sekali dayung, dua pulau terlampaui”, atau “menyelam sambil minum air”. Harus dipraktekan sebaik dan semaksimal mungkin.

Hadirnya website-website seperti Mojok, Basabasi atau Qureta bisa menjadi oase bagi para penulis pemula sepertiku. Karena selain sebagai ajang mengasah konsistensi menulis juga mengirim tulisan ke koran sangat amat kecil peluang untuk bisa dimuat. Anak baru kemarin sore saja sudah berani mengirim tulisan ke koran-koran mainstream.

Apalagi dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang harus terus di rumah apabila tidak ada keperluan yang mendesak untuk keluar rumah. Momen seperti ini harus dimaksimalkan untuk terus produktif dengan membaca dan menulis. Istilah kerennya WFH (Write from Home) yaitu menulis dari rumah. 

Sebagai konklusi, saya tutup dengan kalimat motivasi dari Edi AH Iyubenu, CEO Penerbit Divapress dan Basabasi, “Mereka yang jadi penulis sejatinya bukan karena workshop. Tapi gigih menulis itu sendiri. Jadi menulis adalah tentang praktik menulis itu saja”.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Aku lahir di Kediri. Aku anak terakhir dari lima bersaudara. hobiku dari dulu membaca dan menulis. Aku sangat suka membaca buku-buku non fiksi. dan aku suka menulis esai, artikel dan opini.