Kumpulan kata yang dihimpun menjadi sebuah populasi aksara yang berjiwa, menyampaikan kesan penuh makna termaktubkan dalam sebuah buku. Tak heran jika banyak manusia yang mengaku merupakan makhluk berperadaban terdepan, menumpahkan segala tuah yang singgah di dalam kepala dan dada pada kanvas kertas dengan segala tinta ilmu pengetahuan dan keyakinan.
Mengutip goresan tangan dari seorang novelis yang berkarakter filmis dari sebuah akun instagramnya kiranakejora, “Buku itu air. Jika kadar hidrogennya berlebihan, ia bisa menjadi nuklir, menggetarkan. Bila kadar oksigennya jauh di atas normal, ia akan menjadi kanal, memiliki gelombang besar dan menghanyutkan. Menyeimbangkan keduanya butuh lelaku, sinau membumi, dan bisa jadi harus berkekasih sejarah.”
Menulis menjadi sebuah tantangan tersendiri memang, ketika harus berhadapan dengan hal seperti di atas. Sekolah dan praktik langsung bukan menjadi hal yang mudah untuk dilakukan. Akan banyak masalah yang berkelindan selain perkara pribadi. Namun, semuanya dikembalikan kepada nyawa jemari kita. Apa dan siapa yang menggerakkannya. Jika menulis hanya untuk dilihat, didengar dan dirasa maka ini laksana kita menulis di atas air. Namun, jika untuk melihat kebaikan yang terpendam, mendengar kebajikan yang tersembunyi, merasakan harus berbuat amal yang berfaedah lewat sentuhan jari tangan yang merangkai huruf bersukma. Maka, rekonstruksi bangunan pemikiran dalam menulis sudah berada pada jalur yang tepat.
Basis keilmuan yang membesarkan saya sama sekali tak berhubungan dengan sastra dan kepenulisan. Jauh berseberangan. Saya disapih dan ditimang oleh sains khususnya kimia. Tetapi, saya sangat menyukai puisi-puisi melayu klasik karya Ayahanda Tengku Amir Hamzah. Bagi saya, ekstrak energi berkekuatan tinggi pada sulaman kata yang terutama berirama sastra dan bermotif prosa adalah dialek puitika. Terkait dengan hal ini, saya kembali mengingat perkataan seorang penulis mahsyur yang sempat dikecam atas penghargaan Magsagsay yang diterimanya, Pramoedya Ananta Toer. Beliau bersua pada laman goodreads kumpulan quote (08/03/2018) bahwa, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai,” seru lelaki yang menghilangkan marga keluarga khas aristokratnya dari nama belakangnya ini.
Inilah yang melatarbelakangi saya awalnya untuk menggeluti dunia literasi. Dari sanalah prosesi iqra’ terus berjalan. Melahap segala jenis bacaan dan kemudian mengolahnya dengan rasa agar memiliki cita rasa ketika dibaca. Memunguti abjad satu per satu dan menyusupinya dengan karakter diri merupakan bagian dari jenis ekspresi yang menyembuhkan. Namun, jangan juga melupakan sisi lainnya yang juga tak kalah penting.
Hal ini juga dipaparkan oleh kang Maman (08/03/2018) yang dilansir dari forumtbm.or.id, “apakah tulisan kita setia pada pencerahan dan memperkaya pemahaman orang lain atau tidak,” ujar pria kelahiran Oktober 1965 ini yang menganggap gaya tulisannya terkontaminasi oleh virus nilai dari Arswendo. Selain itu, menurut kriminolog ini yang sudah malang melintang di media massa selama 18 tahun dan 16 tahun dikelompok Kompas-Gramedia, membuka pintu pikir agar sampai pada pola yang terang benderang sebaiknya seirama dengan filosofi literasi Dewi Sartika yang punya empat tangan dan memegang masing-masing benda yang berbeda. Tangan pertama memegang kitab suci artinya tulisan harus berisi kebenaran dan pengetahuan; Tangan kedua membawa tasbih pertanda rajutan kata sudah seyogyanya punya nilai spritualitas; Tangan ketiga menggenggam pot air yang menggambarkan sebuah cetakan rasa dalam tulisan harus jernih dan menyucikan pemikiran; dan tangan terakhir menenteng Vina-sebuah alat musik yang berasal dari India, diartikan bahwa nilai estetika juga harus disisipi dan tak hanya sekadar memberi imbuhan.
Dengan memenuhi keempat elemen tersebut meronce leter agar memberi penerangan dan nutrisi yang bergizi bagi wawasan para insan pembaca sudah cukup porsinya bagi penulis. Ini memang menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Akan tetapi, sinyal pengingat yang berdering untuk apa menulis terus berdengung kencang maka hal ini akan menjadi sesuatu yang tak begitu disoalkan lagi. Berdasarkan wawancara saya dengan seorang wanita yang punya sebuah event organizer, Jumat (08/03/2018) pukul 14.30 WIT. Beliau mengatakan bahwa, “menulis itu untuk menebar kebaikan dan sekaligus amal jariyah,” tukas perempuan yang saya panggil mbak Nawang ini ketika saya sambangi lewat percakapan pribadi media sosial.
Jadi, kasur penulis adalah kertas yang siap menampung keresahan pandangan atau bangunan ide. Menjadi diri sendiri dalam istana kata yang ditata itu penting. Dan sekali lagi, untuk apa dan siapa anak-anak panah yang dilepaskan dari busur gagasan kita yang kelak akan menjadi bintang penerang supaya mampu terbaca dan tak menyilaukan karena sulit untuk dipahami.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”