Dahulu ketika masih anak-anak rasanya ingin sekali untuk cepat-cepat menjadi dewasa. Benar sekali, kalau anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang besar dan orang tua selalu mengatakan "Kamu itu masih kecil, nanti ketika dewasa juga mengerti". Yaps banget, perkataan itu terkadang menyebalkan tetapi di usia 25 tahun ini rasanya ingin sekali untuk kembali ke masa kecil. Rindu dengan diri ini yang masih belum mengerti tentang kehidupan, diri sendiri, dan orang lain. Dari kecil kita sudah terlatih untuk belajar mengerti, padahal tidak segala sesuatu itu harus dimengerti.Â
Apa ini yang dinamakan quarter life crisis?
Quarter life crisis adalah tekanan manusia yang dihadapi dalam keadaan ketidakpastian seputar kehidupan yang akan datang, seperti rasa khawatir, cemas, bingung, ketakutan, overthinking dan kurang percaya diri, dsb.
Quarter life crisis biasa terjadi pada manusia di usia 20-30 tahun. Di mana, usia 20-30 tahun merupakan kehidupan terberat untuk mengambil keputusan di masa yang akan datang, seperti pasangan hidup, pekerjaan, hubungan interpersonal dan intrapersonal. Indonesia sendiri merupakan negara kolektivistik yang mana tanggapan dan penilaian dari lingkungan sekitar sangatlah berpengaruh pada kehidupan kita.
Istilah quarter life crisis dicetuskan oleh Robbins dan Wilner (2001) yang merupakan sebuah perasaan pada saat transisi dari kehidupan perguruan tinggi ke "dunia nyata". Menurut Dickerson (dalam Rosalinda dan Michael, 2019), lebih banyak dialami pada perempuan daripada laki-laki, karena perempuan memiliki tuntutan merawat keluarga meskipun berkarir dan kondisi finansial yang baik serta membangun kehidupan sosial. Menurut Arrnett (dalam Rosalinda dan Michael, 2019) wanita juga dituntut untuk menikah sebelum usia 30 tahun, yang mana Indonesia sendiri merupakan negara kolektivistik.Â
People changed.
Dua kata yang pasti akan terjadi pada manusia. Perubahan yang dialami beraneka ragam, seperti emosi, fisik, sosial maupun kepribadiannya. Perubahan belum tentu selalu positif, bisa juga negatif, tetapi balik lagi pada individu yang menjalankannya. Yang negatif ini menghambat proses perkembangan manusia, misalnya kegelisahan yang dirasakan saat ini, merasa takut, dan overthinking. Jika hal ini selalu terus-terusan berada akan mengakibatkan krisis emosional atau biasa disebut quarter life crisis.                    Â
Ketika berada dalam masa quarter life crisis ini akan menjadi sebuah bomerang bagi diri sendiri. Di saat usia yang tidak muda lagi (kata orang) harus segera menikah dan memiliki keturunan. Hal yang membuat ini semakin menjadi-jadi adalah ketika belum memiliki pasangan sedangkan orang lain sudah memiliki keseriusan dalam berhubungan dengan orang lain. That's my life!             Â
Sensitivitas bertambah bila membahas "pernikahan" dan "jodoh". Yang mana kedua hal ini berbeda, tetapi masyarakat pada umumnya menganggap nikah = jodoh, artinya bila menikah dengan seseorang, orang itulah jodoh kita. Padahal, pernikahan adalah sebuah ikatan janji kedua belah pihak di dalam suatu agama dan negara, sedangkan jodoh adalah komitmen yang dibangun selama kita hidup. Jadi, apakah kita sebagai manusia memahami makna arti pernikahan yang sesungguhnya? atau apakah kita telah menemukan makna pernikahan menurut versi kita sendiri?       Â
Membahas soal komitmen yang sangat gampang diucapkan tetapi menjalaninya butuh seumur hidup. Kenapa? karena memutuskan untuk bertanggung jawab dalam pilihan dan keputusan yang telah dibuat harus mau belajar setiap harinya. Begitu pula dengan pernikahan, ketika sudah memilih dan memutuskan untuk mengikat janji atas nama agama dan negara berarti harus siap dengan segala usaha, resiko, konsekwensi yang akan terjadi pada rumah tangga nantinya. Menjaga hubungan yang dibina selama bertahun-tahun (seumur hidup) tidak ada yang instan.
Balik lagi, apakah kita sudah siap dengan segala hal yang terburuk? dan apa yang akan dilakukan bila hal tersebut terjadi di dalam sebuah hubungan? Tanya pada diri sendiri, selama ini aku sudah berlaku adilkah? sudahkah aku bertanggung jawab atas kehidupanku sendiri?            Â
Suatu pagi terbangun dari tidur dan meraba-raba kasur untuk mencari sebuah handphone. Dengan mata hanya 5 watt, terkaget-kaget melihat beberapa teman-teman seusia sudah ada yang lamaran, menikah, dan memiliki anak. Kadang merasa di usia ini masih terlalu kecil, masih membutuhkan bantuan orang tua dalam hal apapun, tidak hanya itu saja, rasanya masih ingin mendapat perhatian lebih dari orang tua. Ternyata, belum siap. Bukan tentang "siap" tapi tentang "belum saatnya". Perasaanku senang ketika mendengar berita bahagia, di sisi lain ada beberapa hal yang masih membingungkan.
Apakah yang kalian pilih sudah yang baik untukmu? atau Apakah yang kalian pilih sudah sesuai dengan yang kalian butuhkan?
Dalam benakku bertanya
"Apakah kalian mengenal diri kalian sendiri dengan baik? Kalau iya coba jelaskan tentang diri anda sendiri?"
"Apakah kalian sudah mengenal pasangan anda dengan baik? Kalau iya, coba jelaskan tentang pasangan kalian".Â
Apakah kalian berdua sebagai pasangan sudah saling mengenal satu sama lain? Bagaimana kedekatan kalian sebagai pasangan? Menurut kalian, hubungan kalian memiliki jangka pendek dan jangka panjang yang seperti apa? Selamat ber-overthinking ria.
Kalau kalian bisa menjawab pertanyaan ini semua, coba gambarkan hubungan kalian berdua dalam 10-20 tahun ke depan? Apakah sudah memiliki gambaran tentang pernikahan kalian?
Apakah hidup ini tentang pasangan, jodoh dan menikah? Di antara kehidupan yang luas ini, mengapa hanya itu yang dipertanyakan dan dipermasalahkan              Â
Menuju usia 25 tahun tidaklah mudah, setiap keputusan yang kita ambil apakah itu sudah yang baik atau apakah itu yang dibutuhkan. Selintas di pikiranku, "apakah aku harus mengikuti prinsip yang ada pada diri ini? ataukah yang penting menikah saja dulu?". Sama halnya dengan "mungkin kamu terlalu berekspektasi terhadap pasanganmu sehingga dirimu masih single hingga saat ini? atau jangan terlalu tinggi masang target pasangan, jangan terlalu jual mahal, kalau kelamaan nanti tidak laku?"            Â
Terkadang, di pikiranku sempat terlintas kata-kata di atas atau menyalahkan diri sendiri karena terlalu memiliki prinsip. Apakah perempuan tidak boleh memiliki prinsip? Entahlah, bila ada yang mengatakan kalimat tersebut, selalu jawab dengan tegas dan lantang "Iya aku pemilih, karena menikah soal sekali seumur hidup makanya cari yang sesuai dengan keinginanku".  Menikahlah karena kamu ingin menghabiskan waktu dan hidupmu bersama seseorang yang diinginkan. Menikahlah kamu disaat yang tepat, disaat semua sudah siap bukan pada waktunya ataupun sudah umurnya. Selamat mencari seseorang yang sama-sama mau saling belajar memahami, mengerti, menerima dan menghargai dirimu.Â
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”