[CERPEN] Menyeyumi Luka, Merengkuh Kebahagiaan Paripurna

Aku hanya ingin, kita bersama mengubur luka itu. Membuat monumen peringatan di atasnya, yang membuat kita bisa belajar banyak hal daripadanya.

“Mas, kamu pikir permintaan maafmu ini menyelesaikan semuanya? Kamu keliru.”

Advertisement

Ria masih tak menatapku. Setelah mengucapkannya, lantas ia membisu. Pandangannya menerawang, menembus pepohonan dari tempat kami berbincang.

“Jika apa yang aku lakukan ini pun keliru, maafkan aku Ria.”

“Kenapa  kamu mencariku, hanya untuk ini mas. Bukan kebahagiaan yang kudapat, tetapi kamu membuka luka itu Kembali.”

Advertisement

Ia menghentikan kalimatnya.

..

Advertisement

Tigapuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Terlalu lama untuk mengingat detil semua kenangan. Bayang-bayang itu telah memudar. Meski tidak seluruhnya menghilang sempurna, aku masih mengingat dengan jelas sosok yang hari ini ada disampingku.

Aku pernah meninggalkannya, ketika aku masih belum bisa memutuskan apa-apa untuk diriku sendiri.

“Bukan soal kamu pergi mas. Tetapi soal tak ada informasi apa pun darimu, itu yang membuatku terluka.”

Dia benar, aku tidak pernah berkabar, setelah kepergianku itu.

Ria adalah kisah putih biruku. Ia memberiku pelajaran sangat berarti bagaimana rasanya jatuh cinta. Rasa ajaib ketika menatap, dan menerima balasan tatapan itu Kembali. Dalam diam dan senyuman aku menjalani rasa yang aneh. Entahlah, bagaimana dengan dia.

Tanpa kata, aku bahagia menjalani hari-hari didekatnya. Meski hanya sesekali mencuri pandang dan mendengar suaranya. Aku tahu dia bicara bukan padaku, namun teman-teman yang ada di sekelilingku dan juga bersamanya. Tetapi itu sudah sangat berarti bagiku. Tetap saja mampu mengobrak-abrik perasaanku. Membuatku memiliki kegelisahan yang sulit kumengerti. . Dia adik kelasku.

Aku pergi saat orang tuaku pindah tugas. Di saat aku belum mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi padaku dan Ria. Kami tidak pernah berjalan berdua, selalu ada teman lain diantara kami Ketika bersama.

Aku menceritakan semua perasaanku pada teman-teman itu. Aku yakin Ria tahu perasaanku, meski aku tidak pernah mendengar bagaimana perasaannya terhadapku. Dari tatapan matanya, aku mencoba meyakini apa yang ada di hatinya. Tetapi sejujurnya, aku ragu dengan keyakinanku itu. Sehingga aku tak pernah memiliki keberanian memproklamirkan apa yang kurasakan padanya. Menjadikan urusan bersama ini menjadi urusan kami berdua. Tak pernah.

Aku takut kehilangan kebersamaan. Ia takut ia menghindariku dari pertemuan-pertemuan yang selama ini kunikmati. Aku beberapa kali mendengar dari teman-teman yang pernah mengalaminya. Ia dijauhi tanpa sebab. Aku tidak ingin itu terjadi padaku. Karena aku masih ingin menikmati setiap keajaiban yang membuatku memiliki banyak bahan untuk mengimajinasikan masa depan.

“Mas,  aku sudah mengubur semuanya dalam-dalam. Tetapi kamu mengangkatnya Kembali kepermukaan.”

Lagi, ia terdiam, setelah mengucapkannya. Barangkali ia berusaha Kembali ke masa lalu bagaimana ia merasakan kepedihan itu. Aku penyebabnya, kini ada di sampingnya. Bisa saja ia ingin meluapkan kemarahan yang telah ia pendam sangat lama itu. Seandainya itu yang ia lakukan, mungkin akan membuat hatiku lega. Setidaknya Ria punya kesempatan untuk marah pada orang yang membuatnya kecewa. Setelah itu, ia punya ruang untuk memaafkanku.

Aku percaya, waktu bisa menyembuhkan luka. Tetapi kesembuhan itu adakalanya tidak sempurna, aku hanya ingin kesembuhan itu sempurna. Tidak meninggalkan bekas luka yang dapat mengganggu keindahan. Ria terlalu istimewa untuk memiliki bekas luka itu.

“Ria, mungkin ini klise, tetapi aku ingin kita membuat penguburannya sempurna.”

Aku tidak salah bicara, memang begitulah yang kuinginkan. Aku tidak ingin ada rongga di sana, yang suatu saat dapat menjadi petaka. Karena aku juga bahagia dengan kebahagiaannya. Aku sama sekali tidak ingin mengusik itu.

 Memang salahku mengapa aku dulu ragu pada perasaanku. Aku butuh waktu lama untuk menyadari. Ketika keberanian itu ada, kudengar kabar Ria memang telah bersama dengan sosok istimewa lain. Itulah sebabnya aku tidak berani berkabar padanya. Ada begitu banyak surat yang kutulis untuknya, tetapi hanya berakhir di laci meja belajarku.

“Meski sudah sangat terlambat, kini aku tahu perasaanmu kala itu Ria. Aku juga mengerti, jika aku benar-benar pernah melukaimu. “

Kudengar Ria mulai menarik nafasnya dalam, mencoba melegakan dirinya. Entah dengan pikiran apa yang barangkali coba ia temukan.

“Aku hanya ingin, kita bersama mengubur luka itu. Membuat monumen peringatan di atasnya, yang membuat kita bisa belajar banyak hal daripadanya. Karena kita tidak pernah bisa melupakannya. Bukan untuk diulang, karena itu hanya membuat kita tidak pernah cerdas. Tetapi dikenang, agar hidup kita lengkap karenanya. “

Kulihat Ria perlahan mencoba tersenyum, meski kulihat bukan senyuman terbaik yang pernah ia miliki. Tetapi aku tahu, ia juga sedang berdamai dengan apa yang pernah ia rasakan. Seandainya pun kali ini aku salah memahaminya, setidaknya aku sudah berani mengatakan apa yang kurasakan. Aku bukan seorang pria pengecut lagi. Setelah kubiarkan waktu memprosesnya. Karena ada yang bilang bahwa ia bisa menyembuhkan luka, kuharap kesembuhan itu sempurna.

Untuk menikmati bahagia, tidak selalu harus menjadikan kenangan sebagai sesuatu yang harus berulang. Mengenangnya tidak harus menjadikan semuanya sama seperti dulu. Justru kebahagiaan terindah adalah mensenyumi luka. Keberadaannya dibutuhkan oleh pikiran, seperti vaksin yang melatih organ untuk mengatasi keadaan yang sama. Begitupun untuk urusan perasaan.

Kubiarkan Langkah Ria meninggalkanku, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Aku Bahagia ia menjalani takdir bahagianya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis lepas bisa ditemui di : juliusdeliawan@gmail.com