Fenomena main hakim sendiri kian menjamur di kalangan masyarakat Indonesia. Kejadian yang paling fenomenal setahun belakangan ini adalah kasus Muhammad Al Zahra (30) alias Zoya yang dibakar hidup-hidup oleh warga Desa Hurip Jaya, Babelan, Bekasi, lantaran tudingan mencuri amplifier masjid padahal ia adalah seorang tukang reparasi barang elekronik.
Terjadi lagi bulan ini pada tanggal 10 Desember lalu, Muhammad Khaidir (23) dikeroyok warga di sebuah masjid di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hingga tewas karena dikira maling. Padahal, tidak ada fakta yang mengindikasikan bahwa korban adalah seorang maling.
Fenomena-fenomena ini adalah kenyataan pahit yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sikap ‘main hakim sendiri’ menunjukkan rendahnya budaya hukum dalam masyarakat dan kedangkalan berpikir para pelakunya. Ironis sekali, masyarakat ingin menegakkan hukum tapi justru malah sama-sama melakukan kejahatan yang kejam kepada orang lain tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari.
Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya sikap main hakim sendiri. Mulai dari sikap gegabah masyarakat hingga ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur hukum daerah setempat. Tindakan main hakim sendiri tidak boleh terjadi di kalangan masyarakat Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang beradab dan bermoral.
Perlu adanya kesadaran baik dari masyarakat maupun pemerintah. Harus ada kerja sama antara tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintahan, kepolisian, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya. Lalu, bagaimanakah cara mencegah terjadinya tindakan ‘main hakim sendiri’ di kemudian hari?
Pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat.
Penegak hukum harus memberikan kesadaran akan pentingnya mereka di tengah-tengah masyarakat. Intensitas komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Di samping itu, penegak hukum harus memberi teladan yang baik terkait hukum yang adil supaya masyarakat semakin percaya bahwa penegak hukum akan menyelesaikan suatu masalah dengan adil.
Penegakkan hukum yang tegas dan transparan dalam menegakkan hukum, para penegak hukum harus melaksanakannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tidak dikurangi dan juga tidak ditambah. Pelaksanaan hukum yang sesuai aturan akan memberikan kepuasan kepada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan.
Agar hukum dipercaya masyarakat, pemerintah dituntut serius membangun dan menguatkan sistem hukum yang berfungsi sesuai treknya; tidak ada diskriminasi terhadap siapa pun yang berurusan dengan hukum. Rakyat berharap hukum bukan sekadar produk politik untuk melindungi kepentingan tertentu, melainkan yang berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa diskriminasi.
Mengurangi prasangka buruk dan sikap gegabah
Masyarakat kerap kali berprasangka buruk. Seperti kasus Zoya pada tahun 2017 silam, masyarakat hanya berprasangka bahwa korban ingin mencuri amplifier masjid tanpa bertanya amplifier siapa dan untuk apa yang ia bawa. Belum ada klarifikasi dari korban dan masyarakat sudah saling provokasi dan timbul sikap gegabah untuk segera menghakimi tersangka dengan caranya sendiri.
Dengan mengurangi prasangka buruk dan sikap gegabah, masyarakat dianjurkan untuk bertanya terlebih dahulu untuk klarifikasi, apalagi jika belum ada bukti yang jelas bahwa tersangka melakukan kejahatan. Tabayyun nampaknya memang jadi PR bersama. Jika tersangka terbukti melakukan kejahatan, cukup laporkan kepada aparat penegak hukum resmi setempat dan biarkan mereka mengerjakan tugasnya.
Kita tentunya tidak ingin Indonesia hancur begitu saja karena masyarakatnya yang luntur moralnya. Jangan sampai kita menjadi bangsa seperti srigala yang saling memangsa antara yang satu dengan yang lainnya. Sisi kemanusiaan tetap harus dinomorsatukan.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”