Dulu salah satu cita-citaku adalah ingin menikah di umur 25 tahun. Alasannya karena aku suka melihat pasangan muda yang pergi liburan berdua, ibadah bareng, nongkrong dan kumpul sama teman-teman, dan juga punya anak di umur yang masih muda. Intinya sih, supaya masih bisa ‘pacaran’ tapi dengan status yang sudah halal. Kedengaran dan kelihatannya asik, bukan?
Pada saat itu pun, aku sedang menjalani suatu hubungan. Aku selalu berpikir bahwa dia orang yang akan jadi teman hidup aku. Tapi kenyataan memperlihatkan cerita yang 180 derajat berbeda. Hubungan kami harus berakhir setelah mencapai tahun kelima. Kaget. Sedih. Bingung. Aku bahkan nggak tau harus berbuat apa selain menangis. Susah banget rasanya untuk bisa menerima kenyataan. Denial. Itu yang aku lakukan.
Denial adalah hal pertama yang biasanya dilakukan orang-orang waktu sedang menghadapi suatu kehilangan; meninggalnya orang tercinta, perpisahan dengan orang terdekat kamu di sekolah atau kantor, ataupun dalam hal yang aku alami ini, putusnya suatu hubungan.
Bagaimana pun bentuk kehilangannya, akan selalu ada pikiran-pikiran yang menolak untuk menerima kenyataan yang terjadi. Aku selalu berpikir bagaimana caranya supaya bisa barengan lagi. Aku masih mengirim dan menunggu pesan seperti biasanya, masih mencari tau apa yang sedang dia lakukan. Kalau dibandingkan dengan keadaan sebulan sebelum berpisah, komunikasi kami saat itu jauh lebih baik. Dari situlah aku masih berkeyakinan kalau “ini cuma sementara aja, nggak akan lama putusnya, pada akhirnya aku akan tetap end up sama dia”.
Aku sadar betul kalau manusia ditakdirkan untuk memiliki perasaan dan merasakannya. Merasa senang ketika mendapat kebahagiaan. Merasa sedih ketika mendapatkan kesulitan.
Jadi, kalau di saat bersedih seperti itu tapi aku malah berusaha untuk kelihatan tegar, memendam dan melupakan semua perasaan yang muncul, nggak akan membantu sama sekali untuk membuat diriku merasa lebih baik.
Karena itu berarti aku nggak memberikan kesempatan dan membiarkan diri aku untuk merasakan apa yang semestinya aku rasakan, pada saat mengalami hal yang menyedihkan. Pada akhirnya aku kasih waktu ke diri sendiri untuk menyendiri di kamar, menangis sejadi-jadinya sebanyak aku mau, mengeluarkan semua amarah yang ada karena nggak terima dengan keadaan ini.
Terkadang, ada waktu-waktu dimana kejadian sepanjang 5 tahun yang lalu tiba-tiba keputar dalam pikiran aku. Lagi naik bis waktu berangkat kerja, sambil mendengarkan lagu yang suka dinyanyikan bersama, setelah itu mataku berkaca-kaca. Dengan sengaja, aku baca lagi semua chat kami, yang belum bisa aku hapus pada saat itu. Folder yang berisi foto-foto kami dari awal pacaran pun sudah tamat aku lihat ulang satu persatu. Sahabat dan bahkan mama meminta aku untuk berhenti mencari-cari hal yang berhubungan dengan dia. Tapi aku memang sengaja mendekati rasa sakit itu, sampai akhirnya aku terbiasa.
Sampai akhirnya aku menyadari kalau aku udah nggak mau melihat apapun yang berhubungan dengan dia lagi, sambil mencoba menyadari kalau memang hubungan itu sudah selesai. Pada akhirnya, aku lelah dan sudah ‘puas’ dengan apa yang aku lakukan.
Aku berhenti memelihara ekspektasi yang aku buat sendiri.
Aku berhenti menggali masa lalu, yang tanpa disadari membuat aku nggak memberikan perhatian untuk hal-hal yang aku punya dan yang seharusnya aku syukuri pada saat itu.Aku belajar untuk menerima keadaan.
Menerima bahwa memang jalan ini yang harus aku hadapi dan bukan malah mencoba membuat skenario lain yang di luar kendaliku. Menerima bahwa mungkin memang dia bukan jodoh yang tepat buat aku. Menerima bahwa Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih baik. Memang nggak ada waktu yang baku untuk menentukan berapa lama yang diperlukan sampai seseorang benar-benar siap menerima kenyataan.
Setiap orang punya timing-nya masing-masing. Saat berusaha bangkit lagi pun ternyata nggak semudah itu. Selain harus beradaptasi dengan status baru, dengan menjadi sendiri lagi berarti aku harus mencari sumber kebahagian lain. Karena jelas selama lima tahun terakhir, mantan pacar adalah salah satu sumber kebahagiaanku yang utama. Makanya pikiran seperti “mau ngapain gue pas weekend kalau nggak punya pacar gini?” atau “harus ajak siapa nih kalau mau pergi ke sana, nonton ini, makan itu…” sempat aku cemaskan.
Memang sulit awalnya untuk mencari dan menggantungkan kebahagian aku kepada hal lain. Tapi ternyata setelah dijalani sebenarnya nggak sesulit itu loh! Setelah itu aku lebih menggantungkan kebahagiaanku kepada hal-hal yang memang aku sukai, traveling, masak dan menulis. Karena quote “You are responsible for your own happiness” itu memang benar adanya. Jadi, aku bertanggungjawab sama diri aku sendiri untuk bisa bahagia lagi dengan melakukan hal-hal yang memang aku suka.
Pelan-pelan aku mulai membuka diri lagi dengan dunia luar, ikut berkumpul lagi bersama teman-teman lama, berkenalan dengan orang baru, ikut organisasi atau perkumpulan positif. Aku nggak menghubungkan membuka diri dengan mencari pasangan baru, dengan alasan supaya cepat move on atau supaya nggak sedih lagi. Karena aku sendiri berpendapat kalau move on dan mempunyai pasangan baru adalah dua hal yang berbeda. Move on nggak harus ditandai dengan punya pasangan baru dan menurut aku, yang cepat-cepat punya pasangan baru pun belum tentu sudah benar-benar move on. Pastinya ada orang yang menjalani hubungan baru dan bisa fokus dengan pasangannya tersebut tanpa melihat kembali ke cerita yang sudah lalu. Nah, yang harus dihindari adalah, kalau belum bisa sepenuhnya fokus dengan yang baru dan malah menjadikan pasangan yang baru sebagai pelarian. Jadi, akan jauh lebih baik untuk nggak menjalin hubungan baru kalau masih ada rasa yang mengganjal dengan mantan, entah itu rasa kecewa atau sayang.
Memang, yang namanya jodoh itu memang nggak tau dengan siapa orangnya, dimana dan kapan ketemunya. Aku pun jadi semakin percaya kalau memang orang yang tepat akan datang di waktu yang tepat, tidak akan datang lebih awal atau datang terlambat. Jadi, daripada pusing memikirkan kapan bertemu pasangan baru atau kapan nikah padahal temen-temen seangkatan sudah banyak yang nikah, aku rasa yang paling penting adalah berusaha untuk memperbaiki diri sendiri dan berusaha menjadi the best version of yourself.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar, bahkan bisa dibilang itu waktu yang cukup lama. Tapi aku nggak menyesal karena sudah menghabiskan banyak waktu untuk sebuah hubungan yang ternyata akhir ceritanya seperti ini. Bagaimanapun juga, banyak hal yang aku pelajari dan hal-hal yang baik bisa terus aku ingat untuk nantinya dibawa ke hubungan berikutnya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”