Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi anak yang santun dan tegar. Kita tumbuh dengan sebuah stigma bahwa menangis adalah untuk mereka yang lemah. Jika kamu harus menghitung, sudah berapa kali kamu diminta untuk “jangan menangis”.
Menangis diasumsikan sebagai suatu hal yang berkonotasi kurang baik. Kita diajarkan untuk menekan rasa sakit dalam-dalam agar tak merintih. Nantinya, kita akan menyusahkan Ayah Ibu, sedang mendapat label cengeng tentu bukan hal yang kita mau. Kita hampir takut meluapkan emosi meski lewat air mata, padahal gelas yang telah penuh dengan segala rupa air akan tumpah pada akhirnya.
Tak hanya untuk aku, seorang perempuan dengan stigma kelas yang lebih rendah di mata masyarakat, bahkan laki-laki sekalipun lebih dituntut untuk tak mudah meratap. “Jangan cengeng! Kalau jagoan tak boleh menangis,” katanya. Entah siapa yang memulai nasihat itu, pada akhirnya kita semua harus mengakuinya. Laki-laki kemudian ‘dipaksa’ untuk menjadi lebih kuat dengan tak menangis meski jatuh dan terluka. Hingga ia tumbuh dewasa, stigma itu tetap melekat pada dirinya.
Sering kali, emosi tak sampai pada tempatnya.
Dengan tak sadar, kita kerap menormalisasi segala perasaan negatif pada diri kita. Kita kerap bersikap baik-baik saja dan tersenyum dengan lebarnya, sedangkan dalam hati meronta. Sering kali, emosi tak sampai pada tempatnya.
Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa menjadi kuat bukan perihal menahan tangis di antara derita yang tak henti mendera. Ini perihal bagaimana kita bisa berdamai dengan segala sakit yang silih berganti. Tak semua emosi itu baik, tentu saja. Aku, kamu, kita, tentu pernah merasakan sedih, kecewa, iri, benci, terluka, dan segala hal yang diasosiasikan sebagai emosi yang destruktif.
Jika kamu merasakan semua hal itu, tak perlu takut.
Itu wajar.
Itu normal.
Karena kita manusia.
Argumen salah kaprah dan opini yang menyesatkan kadang jadi tolak awal bagi kita untuk menyembunyikan diri. Emosi bukan aib yang harus kita sembunyikan dan kubur dalam-dalam. Lebih dari itu, dia adalah reaksi atas segala persepsi pada setiap hal. Emosi hadir bukan untuk dipendam, dia lahir untuk disalurkan.
Kamu bisa memilih banyak hal untuk menikmati emosimu, menangis adalah salah satunya. Ada yang terbiasa menyalurkan emosi dengan menulis dan melukis. Ada pula yang menyalurkan rasa dukanya dengan berpesta, tak ada salahnya. Kita semua punya cara sendiri untuk berdamai dengan emosi. Tak ada benar atau salah dalam hal ini, selama kamu tidak menyakiti dirimu sendiri ataupun orang lain.
Karena kita adalah manusia yang sudah sepatutnya menikmati indahnya beraneka rupa emosi dari bahagia, bangga, hingga kecewa dan terluka. Ibarat sebuah kertas kosong, kita bisa mengisinya dengan warna-warna bahagia atau hanya menaburkan duka dengan sembarang warna.
Menangislah hingga air matamu mengering dan hatimu sudah lelah untuk luruh dan terjerembab.
Menangislah sebanyak yang kamu mau dan sepuas yang kamu bisa. Menangislah hingga air matamu mengering dan hatimu sudah lelah untuk luruh dan terjerembab. Nantinya kamu akan menemukan dirimu dalam versi yang lebih baru. Bukan lagi yang takut dalam mengekspresikan emosi, melainkan kamu yang siap berdiri dan melangkah.
Pesanku, jangan ragu ataupun malu untuk menangis. Setiap inci sakit yang kamu derita, bukan salahmu. Itu sepenuhnya karena kamu manusia.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”