Di setiap penggalan kisah yang kudapati pada seonggok hati yang memilur sendiri. Menyusuri hari demi hari yang meninggali sepi. Dalam rangkulan senja yang mendapati harinya. Engkau yang bertabur sepi. Meninggali raga seorang diri. Dan aku masih di sini. Merangkulmu dalam ilusi sendiri. Perpisahan berbalut air mata. Sepeninggal kasih yang belum engkau genapi. Meratap sayat membisu dihati.
Ku memulai meniti langkah melewati hari dalam rasa yang tak bertepi. Berbalur teduh sepeninggal senja.
Menatap bintang di kejauhan atas awan yang membiru. Langkah yang kudapati seorang diri dalam hangatnya senja. Langkah yang seakan sulit untuk berderas seirama.
Menata hati sepeninggal sepi dalam teka-teki. Meniti langkah untuk menggapai mentari. Kepingan hati yang mencari meraba dalam kesatuan hati. Bernyanyi seirama dalam paduan langkah yang kudapati. Meniti langkah dalam gegapnya hari yang merangkul indahnya hari dalam kecupan sisa usia yang membentuk kualitas diri.
Â
Menanti Tanpa JedaÂ
Senja kesekian setelah aku kehilangan. Menyayat serpihan kepingan demi kepingan yang engkau abaikan. Semudah itu engkau berucap perpisahan setelah ikrar yang engkau suarakan pada gemingnya hati kala itu.
Senja belum meredup. Senja belum menuntaskan akan pijakkan saat dua hati bertemu.
Menjadikannya kisah yang ingin engkau kembalikan dalam keabadian. Dalam sebuah kata ketulusan. Kembali dalam kata kita yang pernah bersatu. Kala engkau menyerukan bersatunya hati didalam dua jiwa. Tanpa tepi. Tanpa jeda. Memang sungguh benar aku masih menantimu tanpa jeda. Bergulirnya hari yang kudapati.
Aku masih menantimu menyuarakan penjelasan yang beralasan tanpa menyakiti hati. Menyerukan gamangnya logika pada hati yang belum engkau genapi. Disetiap goresan pena yang menari mengalun tiap rangkaian baitnya menyuarakan sajak tentang kisahnya. Namamu masih menguasai pilur hati. Ruang hati pun tak mampu untuk menghapusmu. Sungguh namamu yang masih berkuasa. Tersirat apa yang menjadi suratan.
Dari tiap lekuk bahasa isyarat yang melukiskan kisahnya. Tentang kita. Memang sungguh benar tak kuasa aku menampiknya. Tak berdaya diriku untuk membencimu. Sulit namamu untuk tergantikan. Melupakanmu adalah hal yang tak ingin aku lakukan. Biarlah tentangmu yang terindah mendapati biasnya sendiri direlung hatiku.
Di sudut hati ini. Sungguh merelakanmu adalah mimpi terburukku. Pada genangan linangan air di penghujung tiap sujudku. Di atas gelar sajadah yang senantiasa menjadi saksinya. Kepada siapa lekuk bibir ini berseru menyerukan kisah demi kisahnya. Pada gelar sajadah yang menjadi luapannya. Di sudut ruang hati aku masih seorang diri menyerukan suara akan penantian yang tak berjeda ini. Hati ini masih utuh untukmu.
By: Anggun Gerardine
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”